Keberanian

20 1 0
                                    

Keesokan harinya Dinda dan Al masuk kehalaman rumah Dinda. Semua anggota tertuju pada tangan Dinda dan Al yang saling bergenggaman. Seseorang ajudan nampak berlari, mungkin memberi kabar pada Tuan Park dan nyonya Dina karena mereka langsung keluar. Tuan Park meminta mereka mengikutinya bersama nyonya Dina. Tuan Park memberi kode kepada mereka untuk duduk.

“SEJAK KAPAN AKU MEMERINTAHMU UNTUK MEMBUAT ANAK ORANG LARI DARI PESTANYA?” Tanya Tuan Park keras, membuat mereka kaget.

“Maafkan aku Tuan, Nyonya… Aku mengaku ini kesalahan fatalku tapi tuan, aku tidak bisa membiarkan Ferdi memiliki Dinda tuan!”
ucap Al, dengan wajah sedikit takut.

“SIAPA KAU BERANI MELARANG ORANG LAIN MEMILIKI ANAKKU?”

“Aku memang bukan siapa – siapa tuan. Tapi, aku adalah orang yang mencintai anak tuan!”
Semua langsung memandang Al. Tak menyangka Al berani mengatakan itu.

“Nak… Kau memiliki rasa yang sama dengan Al nak?” tanya nyonya Dina lembut pada Dinda.

“Iya bu… Aku ingin bersamanya…” ucap Dinda lirih, menahan airmata.

“Sayang… Bisa kau buatkan aku teh hangat?”
Tuan Park mengatakannya dengan lembut pada istrinya. Istrinya yang mengerti maksud suaminya, ia langsung mengangguk dan pergi.

Tuan Park melangkah mendekat ke sebuah almari. Al hanya menunduk. Ia tahu persis di almari itu tersimpan dokumen – dokumen penting. Dari mulai data – data para anggota, surat pemindahan lokasi tugas, sampai kepada surat pemberhentian kerja. Al mulai menyiapkan hal terburuk, yaitu diberhentikan kerja. Tuan Park meletakkan sebuah surat, meminta Al untuk membukanya.

“KAU MASIH MEMEGANG TANGAN ANAKKU?”

Seketika tangan Dinda dan Al terlepas, dengan perlahan membukanya. Benar dugaan Al, itu surat pemindahan lokasi tugas.

“Ayah…”
Dinda memandang ayahnya dengan mata berkaca – kaca.

“Aku tidak bisa ayah…” sambungnya.

“Aku tidak memintamu berbicara, jadi diamlah!”
ucap ayahnya. Lalu kembali pada Al. Ia mengambil bolpennya lalu melemparkan tepat didepan Al.

“Kau sering kan melihatku memberikan surat ini pada yang lain? Jadi kau sudah tahu kan dimana kau harus tanda tangan?”

“Ayah… Kenapa seperti ini? Ayah, aku mohon, aku ingin bersama kak Al!” ucap Dinda dengan suara mulai bergetar.

“Tuan… Bertahun – tahun aku bekerja dengan tuan. Sehari – semalam hampir 18 jam tenaga dan pikiranku untuk tuan bahkan aku menomerduakan kesehatanku untuk tuan. Kali ini saja tuan, aku benar – benar memohon, aku ingin bersama Dinda tuan, aku yakin, aku bisa menjaga Dinda dengan baik tuan…”

“Tanpa kau, aku bisa menjaga anakku, lebih baik darimu.”
Al memandang Dinda. Dinda menggelengkan kepalanya, meminta Al jangan menandatangani surat itu.

“Lusa… pesawatmu akan berangkat pukul 3 sore. Itu artinya kau harus dibandara setidaknya pukul 1 siang. Karena aku berbaik hati, sebelum kau berangkat, aku ijinkan kau bersama anakku. Tapi ingat, jika sampai pukul 1 siang kau belum tiba di bandara, aku sendiri yang akan mencari dan menyeretmu!”
ucap tuan Park tegas lalu pergi.

“AYAH… AYAH…” Teriak Dinda pada ayahnya namun, tidak dihiraukan oleh ayahnya.

Al memandang Dinda yang menangis. Al meletakkan bolpointnya lalu memeluk Dinda hingga Dinda tenang.
******
Dinda didalam mobil bersama Al, dijok belakangnya ada berbagai macam keperluan camping. Malam ini, Al ingin mengajak Dinda untuk menyatu dengan alam. Namun, Dinda hanya diam saja, ia masih memikirkan kejadian pagi tadi yang membuatnya begitu sedih.

“Sayang… Lihat itu apa?”
Dinda melihat, mencari yang Al maksud. Tiba – tiba Al mencium pipi Dinda, membuat Dinda kaget dan tersenyum. Dinda langsung menggelitiki Al dan mereka tertawa bersama hingga lampu kembali hijau.

Tak lama, mereka tiba disebuah tempat yang begitu asri yang biasanya digunakan untuk lokasi camping namun karena ini bukan wekkend, lokasi nampak lebih sepi. Selama beberapa saat mereka tertawa bersama, menghabiskan waktu bersama, hanya berdua. Sampai pada malam hari, Al mengajak Dinda untuk masuk ke tenda dengan membawa 2 gelas minuman hangat.

“Dinda…”
Dinda menatap Al sambil meneguk minumnya.

“Kalau aku pergi, apa kau akan kembali dekat dengan Ferdi?”
Pertanyaan Al membuat Dinda menghentikan minumnya.

“Kau tidak percaya, jika aku sudah padamu? Kenapa kau begitu tidak percaya diri jika sudah membahas tentang Ferdi?”
Dinda meletakkan gelas

“Ehm… Tidakpapa… Ehm ada yang ingin kau tanyakan padaku?”

“Jika aku meminta sesuatu, apa kau akan melakukannya?”
Al mengangguk.
“Apapun?” sambungnya.

“Everything for you!”
ucap Al dengan senyum.

“Berdamailah dengan ayah tirimu!”
senyum Al langsung menghilang. Ia menarik jaketnya lalu tidur. Dinda menyentuh lengan Al, menanyakan apakah Al benar – benar sudah tidur. Al menarik tangan Dinda dan memindahkan kepalanya ke kaki Dinda.

“Apa yang kau pikirkan?”

“Tidak ada!”
jawab Al tanpa membuka mata.

“Kau yakin akan menghabiskan waktu bersamaku untuk tidur?”
sebenarnya Dinda masih ingin berbicara banyak pada Al. Bukannya bangun, perlahan Al malah melepas tangan Dinda.

“Huft… Mudah sekali dia tidur!” gumam Dinda kesal.

Dinda akhirnya berbaring, sedikit menjauh dari Al. Ia ambil hapenya, ia putar lagu tentang cinta dengan lirih. 1 bait sudah ia nikmati lagu itu. Tiba – tiba Al meraih hape Dinda, mematikan lagu itu. Dinda hanya diam. Al langsung mengambil tangan Dinda dan mengenggamnya, membuat Dinda menoleh dan memandang Al yang masih menutup matanya.

“Ku kira kau sudah tidur…”
lirih Dinda.

Al membalikkan badannya, menghadap Dinda. Kini mereka saling berhadapan. Dinda memandang Al, Al memandang Dinda. Namun, pandangan Al lah yang terlihat lebih dalam.

“Kenapa, kenapa kau mau menerimaku?”
Lirih Al. Dinda tetap diam.

”Aku ini hanya orang pinggiran, aku bahkan sebatang kara, aku tidak punya apapun. Mobil yang kita gunakan pun mobil dari ayahmu. Tidakkah kau malu memiliki seseorang yang tidak memiliki apapun?”

“Bukankah semua laki – laki yang pernah dekat denganmu adalah laki – laki yang memiliki segalanya? Dengan mereka hidupmu akan terjamin. Jika kau butuh liburan, kau tinggal meminta dan kau bisa liburan. Jika kau ingin tas, kau bisa langsung membeli. Kau tidak akan kehabisan uang. Kau juga bisa…”

“Tapi, mereka tidak selalu ada untuk aku!” sahut Dinda, membuat Al diam.

“Tapi mereka tidak pernah menemaniku disaat aku meminta mereka pergi. Tapi kau… Kau tetap ada bahkan disaat aku memintamu pergi, Itu membuatku merasa nyaman dan aman. Aku senang berdebat denganmu meskipun karena hal kecil. Aku bahagia saat kau tetap disampingku meski semua sifat burukku sudah kau ketahui.” Lirih Dinda.

“Sama halnya dengan kau. Aku ingin selalu ada untukmu. Aku ingin selalu ada untuk mendengarmu. Aku ingin selalu ada untuk mengemban beban bersama. Aku tahu selama ini kau begitu kesepian. Kau begitu menderita sendiri. Kau kehilangan ayahmu. Lalu kau harus berdamai dengan ibumu dengan cara seperti ini. Maaf, aku datang terlambat, membiarkan kau menderita sendiri selama ini. Aku benar – benar minta maaf tidak segera memberitahu tentang kebenaran yang ada sehingga waktumu bersama ibumu habis sudah.”
Al hanya memandang Dinda, matanya mulai berkunang. Dinda beranjak duduk.

“Ehm… habiskan kopimu…”
Dinda meneguk kopinya. Al hanya diam, tiba – tiba ia memeluk Dinda dari belakang.

Pundak Al mulai bergetar, sesaat Dinda terdiam, ia tidak tahu ucapan yang mana yang membuat Al menangis. Dinda melepas pelukan Al, ia menghadap Al yang mulai menangis. Dinda mengenggam tangan Al, membiarkan Al mengeluarkan segala kesedihannya.

Direkturku, Pasanganku!!!Where stories live. Discover now