Sisi Berbeda

28 2 0
                                    

Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Ferdi terus bertanya pada Al dimana Dinda. Al hanya mengatakan bahwa Dinda dalam perjalanan pulang. Ferdi tersenyum senang lalu menyiapkan semua makan malam untuk mereka. Senyum Ferdi mengembang saat melihat Dinda datang. Ferdi langsung mengajak Dinda untuk makan bersamanya.

“Maaf direktur tapi aku sudah makan!”
Dinda mengatakannya tanpa senyum sedikitpun. Senyum Ferdi meredup sejenak lalu kembali mengembang.

“Baiklah… Kalau begitu temani aku makan ya!”
Ferdi dengan senyumnya.

“Direktur… Kenapa kau begitu manja. Tidak bisakah kau makan sendiri? Kalau seandainya hari ini aku tidak pulang, apakah kau juga tidak akan makan? Aku disini bukan hanya untuk menemanimu makan. Kau ini seorang direktur, kau tidak bisa menunggu ada orang yang menemanimu baru bergerak!”
Senyum Ferdi menghilang, ia meletakkan piringnya kembali, tersenyum lalu pergi.

“DIREKTUR…”
Dinda memanggil keras namun, Ferdi terus berjalan. Dinda dengan wajah kesal hanya duduk di kursi makan.

“Bagaimana diluar sana, baik – baik saja kan?”
Al menyadarkan Dinda. Dinda hanya mengangguk.

“Kau pulang malam, kau pasti sangat lelahkan, aku buatkan minum untukmu ya!”
Al pergi kedapur.

“Terimakasih kak, coklat nya membuatku lebih relax.”

“Kau tahu, sejak pagi Ferdi sudah menunggumu. Sejak tadi dia menyiapkan makan malam untuk makan malam bersamamu.”

“Tapi kak… Dia harus bisa makan sendiri. Dia harus tahu, tidak selamanya aku bisa stay didekatnya. Aku juga ingin pergi bersama yang lainnya tanpa harus memikirkan apakah dia sudah makan atau belum.”

“Iya… Aku mengerti maksud ucapanmu…”
Al tersenyum.
“Tapi sepertinya kau lupa…”
Dinda menoleh, mencari tahu apa yang dia lupakan.

“Dinda aku mengerti, tapi apakah kau pernah sangat ingin memeluk orang – orang yang kau cintai tapi tidak bisa, kau ada tapi dianggap tidak ada. Kau tahu rasanya? Itu sangat sakit!”
Al dengan senyum kecilnya.

“Kau tahu, bagaimana Ferdi sangat mencintai Raisa, Paman Lee, Bibi Yuan, Diandra, Alex, dan semua orang – orang terdekatnya? Dia sangat ingin berkumpul dengan mereka, tapi dia tidak bisa melakukannya. Semua orang hanya tahu kalau dia sudah meninggal. Sedangkan tuan Wibawa? Dia sangat senang tahu ayahnya masih hidup. Tapi, apa yang kita lakukan sekarang padanya? Kita berjanji akan mempertemukan tuan Wibawa dengannya tapi apa yang kita berikan padanya. Setelah tuan Wibawa sadar, kita malah menekan dia, memaksa dia menyembunyikan identitas aslinya.

“Disaat dia seharusnya berkumpul, bersuka cita bersama keluarganya, kita malah membuat dia kehilangan semuanya. Kita membuat dia kehilangan keluarganya, pekerjaanya, bahkan identitas aslinya. Dulu, saat dia masih berkumpul dengan keluarga dan teman – temannya, banyak yang memberikan perhatian padanya. Tapi setelah dia kehilangan semuanya, apa yang bisa dia harapkan. Harapannya hanya kita.

“Dinda… Seperti sekarang, kalau kau suntuk, kau bisa bermain hape, menelepon siapapun dan berhaha hihi, kau bisa pergi dan bertemu siapapun, kau bisa merawat diri ke salon, kau bisa menikmati kopi di café, bercanda asyik dengan teman – temanmu, kau bisa memeluk orangtuamu, kau dilingkari oleh orang – orang yang kau sayangi, kalau kau butuh apapun, kau hanya tinggal meminta, lalu semuanya ada. Tapi bagaimana dengan Ferdi?

“Mana bisa dia melakukan yang kita lakukan. Jangankan pergi untuk bercanda asyik bersama teman – temannya, keluar dari rumah ini pun dia harus memakai penyamaran. Dinda, kakak tidak memintamu untuk selalu ada untuk Ferdi tapi cobalah untuk memandang semuanya dari sudut Ferdi, bayangkan kita yang ada diposisi Ferdi, kita pasti belum tentu sekuat Ferdi. Dinda, Ferdi disini juga karena kita.”
Al mencoba menyadarkan Dinda. Dinda terdiam.

Kak Al benar, tidak seharusnya aku terlalu keras padanya.

“Aku mengerti kak, aku mengerti…” lirih Dinda dengan wajah menyesal.

“Aku tau, kau sudah tau apa yang harus kau lakukan sekarang!” ucap Al sambil menyentuh pundak Dinda. Dinda tersenyum.

“Terimakasih kak, kau memang yang terbaik!” ucap Dinda dengan senyumnya, lalu ia membawa makanan dan jaket lalu menyusul Ferdi.

Senyum Al menghilang saat Dinda menghampiri Ferdi. Dinda meletakkan makanan dimeja dan memberikan jaket pada Ferdi. Ferdi hanya menerimanya. Sejenak Al melihat Dinda dan Ferdi dari jauh.

Seharusnya aku tidak melakukan ini yang jelas – jelas akan membuatku sakit. Hah, aku memang bodoh, berpura – pura semuanya baik – baik saja. Tapi Din, apapun akan kulakukan untuk membuatmu tersenyum.’

Al kembali tersenyum dan pergi ke kamarnya.

“Masuklah, kau pasti lelahkan!”
Dinda hanya menggelengkan kepalanya.
“Diluar dingin jadi, lebih baik kau didalam…”

“Aku sudah memakai jaket!”
Dinda dengan senyumnya. Ferdi hanya tersenyum.
“Maafkan aku direktur… Aku tidak bermaksud seperti ini…” sambungnya, dengan wajah menyesal.

“Tidakpapa, Kau benar, aku yang salah. Seharusnya aku tidak menunggu seseorang untuk menemaniku untuk sesuatu. Seharusnya aku bisa melakukan semuanya sendiri! Kau benar, aku terlalu manja!” Ferdi menunduk dengan suara parau.

“Direktur, lihatlah ada burung diatas!”
Dinda menunjuk langit. Ferdi langsung melihat keatas. Mencoba mencari burung yang Dinda maksud.

“Mana, tidak ada?"

“Mulai sekarang, jika kau ingin menangis, lihatlah langit!”
Dinda dengan senyumnya. Ferdi ikut tersenyum.

“Katamu kau sudah makan, kenapa membawa makanan kemari?”

“Aku mendadak lapar, tapi aku tidak mau makan sendiri, temani aku makan ya!” rengek Dinda. Ferdi tertawa kecil melihat wajah Dinda saat merengek.
******
Nahlhoh, Al juga suka Dinda? Yah, gimana tuh Din, jadinya, yang mana?

Direkturku, Pasanganku!!!Where stories live. Discover now