Bertemu Raisa

22 1 0
                                    

Dimas meminta Putra untuk segera merapikan pakaiannya. Hari ini ia akan berpindah tempat, menjauh dari tempat mereka saat ini berada. Putra memandang Dimas kesal. Membuat dia seperti seorang murid dan Dimas adalah guru killernya jadi harus menuruti segala keinginan dan perintah.

“Mau kemana lagi ini?” kesal Putra.

“Sudahlah diam saja, nanti kau juga akan tahu kemana tujuan kita!”

“Bolehkah aku menolaknya?”
Dimas menggeleng tegas.

“Sudah nikmati saja perjalanan kita. Aku yakin nanti kau akan berterimakasih padaku. Lagipula Dinda juga memintamu mengikuti semua perintahku kan!”

“Dinda tahu tujuan kita selanjutnya?”

“Iya, dia tahu. Karena itu, dia memintamu untuk menurutiku. Jadi sudah, ikuti saja aku!”
Dimas mulai kesal. Ferdi hanya mengangguk malas.

Setelah menempuh perjalanan panjang. Dimas menghentikan mobilnya didepan sebuah butik yang cukup ternama. Putra memandang kesal Dimas dan…

“Hah, apa maksudmu berhenti didepan butik seperti ini. Kalau kau ingin belanja, belanjalah sendiri, jangan mengajakku, aku tidak minat berbelanja!”

“Kau yakin tidak ingin masuk dan bertemu dengannya?”
Dimas menunjuk seseorang.

Putra mengikuti telunjuk Dimas dan kekesalannya langsung buyar. Ada Raisa disana, sedang membuat sebuah gaun. Sesekali ia terlihat bergurau dengan sang bos. Ia mengeluarkan nafas berat. Pertama kali ia melihat Raisa setelah hampir 6 bulan ia tidak melihat adiknya itu. Dinda benar, ia bekerja di sebuah butik bahkan ia sudah bisa membantu membuat sebuah gaun.

“Kau yakin tidak masuk dan bertemu dia?”
Dimas memastikan.

“Apa kau yakin tidak akan jadi masalah jika aku bertemu dengannya?”
Putra memastikan apakah aman. Ia tidak mau membuat masalah yang membuat dia semakin lama kumpul dengan keluarganya.

“Asal kau ingat, bahwa kau ini Putra bukan Ferdi lagi!”

“Iya, aku tahu!” sahut Putra, memakai kacamatanya lalu keluar dan masuk butik bernama Indah itu. Seorang pelayan menyambut Putra ramah.

“Aku ingin membeli sebuah gaun tapi aku ingin wanita yang sedang mengerjakan gaun itu yang melayaniku!” pinta Putra. Pelayan tadi mengangguk dan meminta Putra untuk menunggu.

“Ada yang bisa ku bantu Tuan?”
tanya Raisa ramah.

Raisa langsung menutup mulutnya saat melihat wajah Putra. Raisa terus memandang Putra. Wajah yang membuat ia mengingat Ferdi. Putra berdiri dengan senyumannya dan bertanya sesuatu pada Raisa apakah ada yang salah dengan dirinya.

“Tidak, tidak tuan. Hanya saja melihat tuan membuatku mengingat kakakku. Maafkan aku tuan!” Raisa membungkuk untuk meminta maaf.

“Memangnya ada apa dengan kakakmu?”

“6 bulan yang lalu surat kematiannya beredar tuan. Ehm… Maafkan aku tuan. Mari tuan, apa yang bisa ku bantu?”

“Aku berencana mencari gaun untuk wanita berumur sekitar 19 tahunan. Apa kau bisa membantuku mencarinya?”

“Tentu tuan. Mari ikut aku!”
ucap Raisa ramah.
“Menurutku ketiga gaun ini sesuai jika dikenakan untuk wanita berumur 19 tahunan tuan!” sambungnya sambil menunjukkan ketiga gaun itu. Sebenarnya ketiga gaun itu memiliki 1 model namun, berbeda warna.

“Ehm coba kau pakai ini!”
Putra memberikan sebuah gaun berwarna biru dongker. Raisa menolaknya tapi Putra terus memaksa. Akhirnya, Raisa memakainya. Putra melihatnya.

“Ehm… Sepertinya lebih elegan yang putih. Dia selalu mengatakan bahwa dia ingin sekali dihari pernikahannya nanti menggunakan pakaian dan pernak – pernik pernikahan serba putih dan aku yakin, dia akan sangat cantik jika memakai gaun putih itu.” Sambungnya.

“Jadi, tuan pilih yang ini?”
Raisa menunjuk gaun putih itu. Putra hanya mengangguk. Raisa tersenyum, meminta Putra menunggu lalu ia mengganti pakaiannya dan mengemas gaun putih itu.

“Kau sudah lama bekerja disini?” tanya Putra.

“Hampir 6 bulan tuan. Ada yang bisa ku bantu lagi tuan?”

“Ehm… Ya, bantu aku mencari 1 gaun lagi untuk wanita berusia 22 tahunan. Yang elegan tapi tidak terlalu banyak aksen ya, dia tidak terlalu suka gaun yang terlalu ramai!”
Putra santai mengikuti Raisa.

“Raisa, tidak sia – siakan kakakmu mencarikan uang jajanmu untuk berguru ke luar negri!”
Putra membuat Raisa menghentikan langkahnya.

“Ehm… Maaf tuan apa kita pernah bertemu sebelumnya? Tuan meminta aku yang melayani tuan lalu namaku dan dari mana tuan tahu kalau kakakku lah yang membantu biayaku untuk keluar negri?” Raisa menatap curiga. Putra menelan ludahnya, ia terlalu asyik hingga tidak sadar kalau dia sudah keceplosan dalam berbicara.

“Namamu, aku bertanya pada temanmu. Dan di awal kau bilang kan kalau kau memiliki kakak? Aku juga mempunyai adik. Aku kira semua kakak ingin terbaik untuk adiknya. Lalu tentang keluar negri itu… Ehm… Apa tebakanku salah nona?”
Putra menjawab sekenanya. Raisa hanya meminta maaf.

Raisa mengantarkan Putra menuju kasir untuk membayarnya. Raisa menyampaikan salam lalu kembali kepada pekerjaannya.

“Nona, tolong berikan ini pada nona Raisa ya. Katakan saja hadiah dariku!”
Putra memberikan 5 lembar uang 100 ribuan pada kasir itu. Kasir itu mengucapkan terimakasih.

“Kau sudah siap?” tanya Dimas dengan senyumnya pada Putra.

“Mau kemana lagi kita?” tanya Putra dengan mood yang baik setelah bertemu Raisa.

“Bertemu paman Lee dan bibi Yuan!” membuat Putra terdiam.

“Jika jam - jam begini paman dan bibi akan kepasar untuk membeli sayuran segar. Kau akan bisa melihat mereka!”  rangkul Dimas lalu mengajaknya pergi.

Putra terdiam saat melihat paman dan bibinya sedang berbelanja di pasar dekat rumah mereka. Ingin rasanya ia menghampiri dan memeluk mereka tapi, tetap ada yang menahannya. Akan sulit baginya untuk seperti ini, hanya sekedar melihat paman dan bibi dari jauh namun, ia juga tidak ingin melihat paman dan bibi kembali bersedih karenanya. Putra terus mengikuti paman dan bibi Yuan hingga mereka kembali ke rumahnya. Hari itu tidak ada sedikitpun senyum diwajah Putra meskipun Dimas sudah beberapa kali membuat lelucon dan gagal.
*****
Sabar ya Direktur, sebentar lagi...

Direkturku, Pasanganku!!!Where stories live. Discover now