Cerita Pilu

36 2 0
                                    

Siang itu, selepas jam makan siang, Tuan Park memanggil Dinda, Dimas, dan Al secara bersamaan. Biasanya jika seperti ini, ada keputusan besar yang akan tuan Park lakukan. Saat Dimas, Dinda dan Al datang, tuan Park meminta pengawalnya meninggalkan mereka. Semakin jelas bahwa ada sesuatu hal yang sangat serius yang akan tuan Park bicarakan.

"Aku mengundang kalian karena aku ingin membicarakan hal serius tentang rencanaku, entah itu kalian setuju atau tidak terhadap rencanaku tapi aku harus mengumumkannya pada kalian."
Suasana semakin tegang saat tuan Park mulai berbicara. Tanpa banyak bicara, tuan Park membagikan sebuah amplop berisi sebuah kertas kepada Dinda, Dimas, dan Al.

"Bukalah, bacalah baik - baik!"
pinta Tuan Park. Mereka mulai membuka selembar kertas itu.

Satu persatu mereka membukanya. Al dan Dimas menunjukkan ekspresi yang sama. Mereka benar - benar ingin mendengar alasan dari tuan Park membuat keputusan berat itu.

"Ketua ingin membuat Ferdi seolah - olah sudah meninggal?"
Dimas mengangguk, menyetujui ucapan Al.

"Akan kubuat Rendy berhenti memburu Ferdi!" jawab tuan Park tanpa memandang mereka.

"Apa keluarga Ferdi juga harus menerima kabar kematian Ferdi?" tanya Dimas. Tuan Park hanya mengangguk.

"Tugasmu hanya 1 Dinda, membuat Ferdi memahami situasi ini!"
perintah tuan Park sambil memandang anaknya.

"Tapi ayah, apakah harus kita menyembunyikan Ferdi dari keluarganya? Ayah, mereka pasti sangat sedih mendengar kabar ini. Tolong ayah, pertimbangkan lagi..."

"Tiga hari yang lalu paman Lee dan bibi Yuan mendapat ancaman dari hpnya, sedangkan Raisa hampir saja terluka karena sebuah mobil hampir menabraknya. Siapa lagi dalang dari semua ini kalau bukan Rendy." Sahut Tuan Park, memotong ucapan Dinda. Dimas menunduk. Itu Laporan satunya.

"Aku yakin, Rendy akan menghentikan kejahatannya kalau kabar meninggalnya Ferdi menyebar!"
Dinda berdiri, memandang ayahnya kesal dan...

"Sungguh, aku tidak mengerti dengan pikiran ayah!"
Dinda membanting kertas surat kematian Ferdi lalu pergi meninggalkan mereka tanpa salam. Al hormat pada tuan Park lalu menyusul Dinda.

"Tuan Park, bolehkah aku berbicara sebagai keponakanmu?"
Tuan Park mengangguk.

"Sebenarnya apa yang terjadi paman, kenapa paman memilih jalan seperti ini?"
Tuan Park menghembuskan nafas berat.

"Aku hanya ingin melindungi putiku. Sampai kapan kita seperti ini hanya karena ingin melindungi 1 orang saja?"
tuan Park menjawab tanpa memandang Dimas.

"Apakah paman mulai menyesal melindungi Ferdi?"

"Putriku Dinda memang bukan anak kandungku tapi, sejak tuan Rahmansyah mengangkatku sebagai wakilnya, aku sudah menganggap Dinda sebagai anakku sendiri. Sedangkan sekarang Dinda sangat dekat dengan Ferdi. Pilihannya hanya ada 2, mengirim Ferdi keluar negeri atau membuat surat kematian ini. Jika aku harus mengirim Ferdi keluar negeri, akan sangat menyedihkan untuk Dinda. Sedangkan aku tidak mungkin membiarkan Dinda pergi bersama Ferdi berdua saja. Aku juga tidak bisa memintamu atau meminta Al untuk menjaga Ferdi dan Dinda disana. Kalian ini aset berharga untukku, aku tidak bisa jauh - jauh dari kalian."
tuan park memandang Dimas.
"Suatu saat jika kau sudah menjadi ayah, kau akan mengerti tentang semua ini nak!"

"Lalu apa rencana paman setelah kabar kematian Ferdi tersebar paman?"

"Aku akan menjadikan Ferdi sebagai Putra. Aku akan mengirimkan Ferdi dengan Dinda kedesa. Desa yang saat itu kita kunjungi, kau masih ingat?"
Dimas hanya mengangguk.

"Aku akan meminta Al menjaga mereka selama disana. Jika keadaan disini sudah membaik, aku akan meminta Ferdi kembali bersama tuan Wibawa. Aku akan menyatukan kembali keluarga Ferdi. Jadi, aku minta tolong untuk mengurus rumah tinggal mereka selama di desa ya!"
Dimas mengangguk, paham. Tuan Park tersenyum, Dimas membalasnya.

"Kau mau kemana nona?"
Al mengejar Dinda.

"Aku tidak tahu, aku sangat marah pada ayah. Aku akan pergi kemana saja asalkan tidak bersama ayah!" kesal Dinda sambil terus berjalan. Al mengejar Dinda dan langsung mengenggam Dinda dan meminta Dinda ikut dengannya.
###
Kuil...

Al menghentikan mobilnya didepan sebuah kuil. Bukan kuil itu tujuan Al tapi pemandangan dibelakang kuil itu. Al mengenggam tangan Dinda. Mereka menaiki sebuah menara setinggi 15 meter. Al baru melepaskan tangan Dinda setelah mereka tiba di atas menara. Dinda menghirup udara sejuk itu sambil menikmati pemandangan itu. Dinda mulai tersenyum. Al ikut tersenyum.

"Terimakasih sudah membuatku semakin baik." Dinda memandang Al.

"Terimakasih sudah menarik aku dari kesulitan." Balas Al.

"Tidak masalah, lagipula kau cukup bisa dihandalkan. Aku tidak rugi membawamu."
Dinda tersenyum senang.

"Tapi kenapa tiba - tiba kakak seperti ini. Jika kau sedang mellow seperti ini, pasti ada sesuatu yang menganggu pikiranmu kan?"
Al hanya menatap kedepan, senyumnya menghilang.

"Sejak kecil aku hidup dengan ayahku. Kami hanya hidup berdua, aku tidak tahu dimana ibuku karena sejak ibu meninggalkan kami, ayah tidak pernah lagi membahas ibu denganku. Meskipun aku hidup dengan ayah, aku cukup bahagia. Jadi, setiap aku melihat Ferdi dengan tuan Wibawa, pikiranku seperti flashback saja."
Al tersenyum mengingat hal itu yang terus memandang kedepan. Dinda terus memandang wajah Al.

"Tapi saat aku bekerja tiba - tiba aku mendapat kabar, ayah pingsan dikantornya. Aku langsung menyusul ke rumah sakit. Dan hatiku benar - benar hancur saat dokter mengatakan padaku, kanker mulai mengrogoti tubuh ayah. Dokter mengatakan untuk memperpanjang umur ayah, maka harus dilakukan tindakan operasi. Aku setuju tapi ayah menolak. Ayah hanya mengatakan, semua hanya akan sama saja. Dioperasi atau tidak, dia juga akan meninggal. Demi ayah aku bekerja lebih keras. Kesana kemari aku mencari pinjaman demi memenuhi perawatan ayah. Akhirnya, kuliahku sukses. Ayah terlihat sangat senang saat aku memberikan surat kelulusanku pada ayah."
Al menarik nafas panjang sebelum akhirnya melanjutkan ceritanya.

"Dihari wisudaku, ayah terlihat sangat tampan. Ia menggunakan jaz biru dongker dan memakai dasi senada dengan dasiku, bahkan, ayah sendiri yang menyiapkan semua keperluan wisudaku. Ia sama sekali tidak terlihat sakit. 2 jam lebih prosesi wisudaku tapi, ayah sama sekali tidak mengeluh. Dia terlihat begitu bangga, dia terlihat terharu saat namaku di seru - serukan di depan semua hadirin. Bahkan setibanya dirumah ayah dengan semangat memasak untukku. Malam itu, kami benar - benar bahagia. Kami berfoto bersama, kami menghabiskan waktu bersama."
Cerita Al mulai dengan suara parau. Dinda terus memandang Al yang sama sekali tidak memandangnya, sesekali melihat keatas, mencoba menahan airmatanya, begitupun dengan Dinda.

"Tapi aku benar - benar tidak menyangka. Itu menjadi foto terakhir kami, menjadi makan malam terakhir kami, menjadi tawa terakhir kami. Paginya ayah meninggal. Hari itu juga aku memutuskan untuk menjual rumah kami untuk mengembalikan pinjamanku. Mulai sejak itu, dimana kakiku lelah, disitulah aku tidur. Sejak saat itu, kardus menjadi alas tidurku dan langit menjadi atapku sampai akhirnya kau dan Dimas menemukanku!"
Al tersenyum. Ia memandang Dinda, Dinda menarik nafas panjang lalu tersenyum.

"Maafkan aku kak, membuatmu mengingat ayahmu." Al hanya tersenyum sambil mengusap kepala Dinda.

"Tapi aku senang kakak mau berbagi kisah hidup kakak denganku."
Dinda dengan senyum manisnya.
*****
Yah, hati - hati Din entar baper lho. Ferdi mau ditaruh mana? Eh, tapi kisah Al dan Ferdi sama sama menyedihkan ya....

Direkturku, Pasanganku!!!Where stories live. Discover now