Hutang Ibu

26 1 0
                                    

Hari ini Al dan Dinda bersama dalam satu mobil menuju café Dinda. Setibanya di café, Al langsung turun dan masuk untuk membuat coklat hangat. Sedangkan Dinda keluar perlahan dengan wajah sedikit murung. Tak ada senyuman sama sekali. Ia menyusul Al didapur. Dinda hanya berdiri disudut dapur, ia hanya diam sambil melihat Al yang bahkan sibuk menerima panggilan masuk tanpa memperdulikan Dinda disana.

“Kita bicara diruanganku!” lirih Dinda setelah Al selesai menerima panggilan masuknya.

“Masuklah dulu, ada seseorang yang harus aku hubungi!”
Dinda hanya mengiyakan lalu ke ruangannya. Setelah hampir 15 menit menunggu, akhirnya Al datang.

“Ada apa?” Al duduk didepan Dinda.

“Aku yang harusnya bertanya padamu. Sejak tadi kau hanya diam bahkan kau tidak masuk café bersamaku. Ada apa?” lirih Dinda.

“Katakan padaku, apa Ferdi tahu mengenai kita?”

Dinda hanya menggelengkan kepalanya. Tersirat sedikit emosi di wajah Al.

“Aku tahu, kau senang kan kalau dia terus – terusan mengejarmu jadi kau tidak akan kesepian jika kita sedang tidak bersama!” kesal Al.

“Ehm… Aku hanya belum punya waktu yang tepat untuk mengatakan ini padanya. Lagipula dia sedang fokus menaikkan omset perusahaannya. Aku tidak mungkin memberitahu ini padanya, ini akan membuat pendapatan kantornya kembali menurun.”

“Astaga…”
Al berdiri sambil mengusap wajahnya dan mengalihkan pandangannya sesaat.
“Kau memikirkan dia tapi tidak memikirkan aku?”

“Bukan seperti itu…”

“Bukan seperti itu apa?” sahut Al kesal.
“Kau sengaja membiarkan dia tidak tahu tentang hubungan kita, itu sama saja kau membiarkan dia terus mengejarmu. Ini sama saja kau membiarkan dia mengambil hatimu lagi!” ucap Al, sedikit emosi.

“Kau tidak percaya padaku?” lirih Dinda, membuat Al mengurangi emosinya.

“Percayalah, aku tetap padamu!” lirih Dinda.

“Iya… Tapi…” ucapan Al terhenti karena bunyi hape. Ada panggilan dari rentenir atas hutang ibunya. Al langsung menerimanya. Al hanya diam saja dan mematikan teleponnya.
“Aku harus pergi!”ucap Al, dengan wajah lebih emosi.

“Ada apa?” tanya Dinda cemas.

“Rentenir itu memintaku membayar hutang ibu. Kau disini dulu ya, setelah urusanku selesai, aku akan segera kembali.” Ucap Al lalu pergi.

Bagaimanapun ia tidak bisa membiarkan Al pergi sendiri. Dinda langsung berlari menyusulnya dan tanpa ijin dari Al, ia langsung masuk mobil dan memaksa ikut. Akhirnya, Al mengiyakan Dinda ikut dengannya.

Al langsung ke bank untuk menarik uang lalu pergi menuju alamat yang dikirim oleh ketua rentenir itu. Rentenir itu mengajak Al bertemu didepan sebuah gedung yang sudah tidak berfungsi sejak setahun yang lalu. Al menghentikan mobilnya 5 meter dari tempat mereka berdiri. Ada 7 orang dengan 2 mobil didepan gedung itu.

“Dinda, apapun yang terjadi kau tidak boleh keluar dari mobil ini ya. Biar aku temui mereka sendiri saja ya. Kau janji padaku, kau akan tetap disini?”
Al memandang Dinda.

“Aku akan ikut bersamamu!”

“Hai... Orang yang aku sayang tidak boleh keras kepala ya!” rayu Al dengan senyumannya.

“Janji padaku ya, jangan keluar dari mobil ini!”

Dinda hanya mengangguk, wajahnya nampak begitu cemas. Al mencium kening Dinda lalu mengusap kepala Dinda sambil tersenyum. Setelah itu, ia mengambil tas berisi uang itu dan pergi menemui mereka.

“HAHAHA BESAR JUGA YA NYALIMU ANAK MUDA!” Teriak seseorang bertubuh kekar dan berdiri di barisan paling depan.

“Tujuanku kemari hanya untuk membayar hutang ibuku. Aku hanya ingin membayarnya jadi, kita bisa kan berbicara dengan baik – baik.”

Laki – laki bertubuh kekar itu tersenyum sinis. Sedangkan ke 6 lainnya hanya berdiri, menunjukkan wajah sangarnya. Al memberikan tas kecil pada laki – laki kekar itu. Laki – laki itu memberikan tas kecil itu kepada salah satu anak buahnya, memintanya untuk menghitung.

“Kau ingin menipu kami? Ini hanya 80 juta. Hutang ibumu pada kami 100 juta, mana 20 jutanya?” ucap orang yang memeriksa tadi dengan sedikit hentakan.

“Kau pikir aku bodoh? Dalam surat perjanjian ibuku dengan kalian, ibu hanya meminjam uang 60 juta dan Bunga 20 juta yang kalian bebankan itu juga sudah aku bayar. Semuanya pas 80 juta, bukan 100 juta!”
Al menunjukkan surat perjanjian antara ibunya dan ketua rentenir, lengkap dengan tanda tangan keduanya diatas materai 6000.

“Jadi kau menantang kami?” gertak ketua rentenir.

“Aku tidak menantang kalian kawan, aku mengatakan yang sesungguhnya!” ucap Al, masih berusaha menahan emosinya.

Tanpa aba – aba, ketua rentenir itu maju dan langsung memukul Al namun, Al langsung menepisnya. Dinda yang melihat dari mobilnya terlihat begitu cemas tapi ia juga tidak mungkin turun. Ia tahu jika ia turun akan membuat keadaan lebih runyam.

Beberapa kali Al bisa menepisnya namun kali ini mereka bermain keroyokan sehingga membuat Al kalah. Al terus memberi kode pada Dinda untuk tetap di mobil. Setelah Al mulai melemah dan tergeletak, mereka pergi dengan tawa. Dinda langsung berlari menghampiri Al. Ia membantu Al untuk masuk mobil.

“Kita kerumah sakit ya!”
Dinda menyeka airmatanya.

“Tidak… Kita kerumah tempat kita tinggal bersama Ferdi!”

“Tapi keadaanmu…”

“Kita kesana ya.” Ucap Al sambil menahan sakit. Dinda hanya mengangguk.

Setelah tiba di kamar Al, Dinda membantu Al melepas sepatunya lalu mengambil semangkuk air, handuk kecil, segelas minuman, dan kotak p3k. Perlahan sekali Dinda membersihkan wajah Al. Al hanya meringis kesakitan.

“Kita kerumah sakit ya…” ajak Dinda sedih.

“Tidak usah... Oiya sayang, jangan katakan pada siapapun ya tentang kejadian hari ini.” Pinta Al sambil menahan sakitnya.

Dinda hanya mengangguk lalu melanjutkan mengobati luka Al. Setelah selesai, Dinda membantu Al duduk untuk minum.

“Pulanglah!” pinta Al pada Dinda namun, Dinda menolak. Al mengambil tangan Dinda.

“Tuan Park dan Nyonya Dina pasti mengkhawatirkanmu. Pulanglah, aku akan menyusulmu besok. Bilang saja pada mereka kalau aku sedang ada urusan jadi tidak bisa menginap dirumah.”
Al mengenggam tangan Dinda.

“Aku sudah mengatakan pada ibu kalau malam ini aku tidak bisa pulang. Ibu mengiyakan. Jadi tenanglah!”

“Sejak kapan kau pintar berbohong?”

“Hai, aku tidak berbohong. Aku kan hanya mengatakan pada ibu bahwa aku tidak bisa pulang malam ini. Lagipula ibu tidak menanyakan ada apa. Jadi, kalimatku yang mana yang bohong?” ucap Dinda membalas senyum Al.

“Dinda…” lirih Al. Dinda menoleh, memandang Al. Al memandang Dinda dalam.

“Setelah bapak dan ibukku meninggal, sampai sekarang hanya kaulah satu – satunya orang yang aku sayangi. Aku tidak tahu kalau kau tidak bersamaku, aku akan seperti apa. Terimakasih karena kau bersedia bersamaku.” Lirih Al.

“Kau baru sadar kalau kau butuh aku?” tanya Dinda dengan lembut. Al hanya mengangguk.

“Iya, aku tidak akan membiarkanmu sendirian lagi. Kalau begitu, kau harus mengikuti ucapanku. Kau harus istirahat, tidurlah!”

Al hanya mengangguk, Dinda membantu Al merebahkan badannya lalu menutupi ½ tubuh Al dengan selimut. Lalu ia mencium kening Al dan Al mulai tertidur.

Direkturku, Pasanganku!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang