Salah Paham

27 1 0
                                    

Al menyambut kedatangan Dinda dengan senyuman apalagi sudah seharian ia tidak bertemu Dinda. Tadi, pagi – pagi sekali bahkan ketika Al membuka matanya Dinda sudah tidak ada di kamar.

“Kau dari mana, lama sekali meninggalkanku?”

“Hanya di café saja. Sekarang tutup matamu, biarkan aku mengusap wajahmu dengan tisu basah!”
Al tersenyum lalu menutup matanya. Dinda membersihkan wajah Al, sesekali memandang wajah Al.

“Setelah ini pulanglah, tidurlah dirumah ya!” lirih Al.

“Kenapa? Kau tidak nyaman aku disini kak?”

“Bukan begitu, aku tidak mau ayah dan ibu mempermasalahkan ini!”
Dinda hanya terdiam, Baru kali ini Al memanggil ayah dan ibunya dengan sebutan ‘ayah dan ibu’.

“Ehm… Maksudku tuan Park dan nyonya Dina. Aku tidak mau kau kena marah mereka!” sambungnya, menjelaskan.

“Ehm… Tidak papa, aku sudah ijin pada mereka. No problem. Sudah, jangan kakak pikirkan ya, cepetlah sembuh dan ayo kita jalan – jalan!”
Dinda berucap dengan semangat.

“Iya, kalau aku keluar dari rumah sakit kita jalan – jalan ya!”
Al mengusap kepala Dinda pelan. Dinda hanya tersenyum.

“Ya sudah, aku kesana dulu ya kak!”
Dinda menunjuk majalah. Al mengangguk.

Dinda mengambil majalah lalu duduk dan membukanya. Tapi lama – lama hanya tangannya saja yang terus membolak – balikan lembar demi lembar majalah itu.

Baru semenit, pikirannya sudah terbang kemana saja. Hanya seharian saja tapi sudah banyak kejadian yang terjadi. Tadi pagi Dimas datang menjemputnya, mengajak sarapan bersama tapi pada pointnya, Dimas membicarakan antara Al dan Ferdi. Meminta Dinda untuk segera memilih antara Al dan Ferdi. Dimas meminta dirinya untuk kembali meyakinkan dirinya apakah Dinda benar – benar menyukai Al atau sekedar menganggumi Al saja.

Kedua, saat ia berjalan dengan Dimas, ia bertemu Chelsea yang masih saja berusaha kembali mendekati Al bahkan setelah Dinda mengetahui semuanya. Bahkan Chelsea memaksa Dinda untuk memberikan nomer Al padanya, untung saja Dimas dengan cepat mengambil tangan Dinda dan mengajaknya pergi. Setelah lepas dari Chelsea, ia dan Dimas berpisah.

Dinda berjalan pelan sambil terus memikirkan apa yang baru saja terjadi padanya. Entah itu ucapan Dimas dan perlakuan Chelsea. Langkahnya terhenti didepan sebuah rumah makan. Ia berjalan masuk, perutnya mulai berbunyi.

Sejenak Dinda terdiam saat melihat seseorang lelaki paruh baya. Laki – laki itu yang ia lihat bersama Al saat menjaga ibu Al di rumah sakit. Paman itu terlihat lebih kurus dari yang ia lihat sebelumnya. Dinda memesan sesuatu. Pesanan datang setelah 15 menit menunggu.

Dinda terus memutar bola matanya, warungnya terlihat ramai tapi, ia hanya mempekerjakan 1 orang saja. Dinda mempercepat makannya dan membantu paman itu untuk mengantarkan makanan kepada para pelanggan. Saat warung mulai sepi, sebagai ucapan terimakasih, paman memberikan gratis makanan itu bahkan paman itu menawarkan 1 lagi tapi Dinda menolak. Paman itu memperkenalkan diri dengan nama Rahman.

“Paman, seharusnya paman memperkerjakan 1 orang lagi agar tidak kelelahan seperti ini!”

“Benar nak, saran yang bagus. Tapi masih banyak kebutuhan paman. Paman yakin, paman hanya kurang olahraga jadi cepat lelah. Besok jika ada waktu, paman akan berolahraga.” Ucap paman Rahman dengan semangat.

“Paman hanya tinggal dengan pegawai paman disini?”
Paman Rahman mengangguk dengan senyuman.

“Istri paman kemana?” sambung Dinda.

“Istriku meninggal kurang lebih sebulan yang lalu.”

“Ehm maaf paman..."
Paman Rahman hanya tersenyum.

"Tapi bukankah paman bisa meminta anak paman untuk membantu dan tinggal bersama?”

“Aku dan istriku tidak punya anak kandung. Tapi, sebelum bersamaku, istriku sudah mempunyai anak laki – laki. Tapi, dia begitu membenciku. Dia mengira aku merebut ibunya dari ayahnya. Padahal aku menikahi ibunya setelah perceraian antara ayah dan ibunya terjadi. Huft tapi tidakpapa, aku senang sekali. Setidaknya dia sudah sukses, sudah memiliki mobil sendiri, bekerja dengan baik dan memiliki bos yang menyayanginya.” Ucap paman Rahman dengan senyumnya.

Dinda terdiam. Apakah benar Al adalah anak tiri paman Rahman. Kalau memang benar berarti Al salah paham kepada hubungan ibu dan paman Rahman. Itu artinya, Al telah salah karena membenci dan menuduh paman Rahman perusak keluarganya. Dinda mengangguk dan berbicara dengan diri sendiri bahwa ia harus meluruskan semua fakta yang ada. Jika Paman Rahman benar ayah tiri Al, Al harus tahu bahwa ayah dan ibunya sudah lama bercerai.

Al terdiam, pandangan matanya hanya kepada Dinda. Memikirkan apa yang sebenarnya ia pikirkan. Bahkan, panggilannya saja tidak membuat Dinda sadar dari lamunannya. Al menghubungi nomer Dinda. Tanpa melihat nama penelepon, Dinda mengangkatnya. Dinda langsung menoleh pada Al setelah tahu bahwa itu suara Al. Al hanya tersenyum.

“Apa yang kau pikirkan?”
Dinda hanya menggelengkan kepalanya dengan senyum sembari melangkah mendekati Al.

“Apa paman yang bersamamu saat menjaga ibumu dirumah sakit itu ayah tirimu?” pertanyaan Dinda membuat Al terdiam sejenak.

“Ayahku hanya satu dan dia sudah meninggal.”
Dinda hanya mengangguk, tidak memaksa Al untuk bercerita. Ia akan cari tahu semuanya sendiri.
*****
Wah udah nih, salah satu tanda kamu menaruh berat seseorang dalam hidupmu adalah kepo dengan kehidupan orang itu.

Direkturku, Pasanganku!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang