Pukulan untuk Ferdi

45 1 0
                                    

Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Ferdi berjalan santai menuju halte bis. Entah kenapa, hari ini ia ingin pulang dengan bis. Sejak kemarin ia sengaja meninggalkan mobilnya di apartemen. Namun, langkahnya terhenti saat ia bertemu dengan Rendy. Ferdi menyapa Rendy dengan senyuman tapi Rendy malah memandang Ferdi sinis.

“Ada apa kau muncul dihadapanku?”

“Aku hanya ingin bertanya, sebenarnya apa salahku. Kenapa kau begitu membenciku?"

“Hahahaha rupanya kau mulai punya inisiatif untuk bertanya langsung padaku. Kupikir kau sudah tidak punya nyali untuk berbicara denganku…”
Rendy tertawa keras. Lalu menghentikan tawanya dan memandang Ferdi tajam.

“Kau ingin tahu kenapa aku benar – benar membencimu dan membuatmu menderita?”
Ferdi hanya mengangguk.

“12 Tahun yang lalu… APA YANG SUDAH KAU LAKUKAN PADA IBUKU? APA YANG KAU MINTA DARI IBUKU, KENAPA KAU MEMBUAT IBUKU PERGI DARIKU?”

“Ibumu? Apa maksudmu? Bagaimana bisa aku meminta sesuatu dari ibumu sedangkan aku tidak tahu siapa ibumu…”

“KAU INI BERPURA – PURA BODOH ATAU BENAR – BENAR BODOH, HA? KAU MEMBUNUH IBUKU, KARENA KAU IBUKU MENINGGALKANKU, KARENA INGIN MENJAGAMU IBUKU MENCAMPAKKANKU, KARENA INGIN MEMBERIKAN KAU HADIAH, IBUKU MENINGGALKANKU UNTUK SELAMA – LAMANYA, KARENA KAU HIDUPKU MENDERITA!”
Teriak Rendy dengan mata berkaca – kaca.

“Aku minta maaf jika aku benar – benar membuatmu menderita tapi, aku benar – benar tidak tahu siapa ibumu.”
Rendy mengambil dompetnya lalu menunjukkan foto seorang ibu cantik didalamnya. Mata Ferdi langsung berkaca – kaca, foto itu foto ibunya, nyonya Winda.

“KAU PEMBUNUH, KAU PEMBUNUH IBUKU, KAU PENJAHAT, KAU YANG MEMBUATKU KEHILANGAN IBU, KAU PEMBUNUH!”
Rendy terus menyalahkan Ferdi. Ferdi sama sekali tidak berbicara apa – apa. Ia masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa selama ini Rendy lah saudara tirinya.

“KAU PERUSAK HIDUP ORANG LAIN, KAU PENJAHAT, KAU MEMBUNUH IBUKU, KAU PEMBUNUH, KAU PEMBUNUH, KAU PEMBUNUH!”

Ferdi terjatuh, kedua kakinya benar – benar tidak mampu menahan tubuhnya. Kedua kakinya lemas seketika. Airmatanya mengalir hebat. Ferdi menutup kedua telinganya, ucapan Rendy yang mengatakan bahwa ialah yang membunuh ibunya sekaligus ibu Ferdi sendiri selalu terngiang ditelinganya.
###

Malam semakin larut, Dinda keluar dan berdiri dibalkonnya. Ia terus memandang ke arah kamar Ferdi, sejak tadi ia tidak melihat Ferdi kembali padahal, hujan semakin lebat. Hpnya pun tidak aktif sedari tadi. Ia semakin khawatir. Dinda langsung berlari menerjang hujan saat ia melihat Ferdi berjalan pelan dibawah derasnya hujan.

“Dinda…”
panggil Ferdi setelah Dinda tiba didepan wajahnya.

“Kenapa kau hujan – hujanan, cepatlah berteduh, nanti kau sakit!”
Dinda menarik tangan Ferdi dengan cemas. Namun, ketahanan Ferdi membuat Dinda malah terjatuh dalam dekapan Ferdi.

“Aku bukan pembunuh, aku bukan pembunuh, aku bukan pembunuh…”

“Hai, ada apa denganmu direktur?”

“Aku bukan pembunuh…”

Tubuh Ferdi terjatuh, Dinda langsung mengangkat kepala Ferdi. Ia mengambil hpnya dan memanggil Al. Al langsung keluar dan berlari saat melihat Ferdi pingsan.

Al langsung membawa Ferdi masuk ke apartemen Ferdi dengan bantuan Dinda. Al meminta Dinda mengganti pakaiannya, sementara dia mengganti pakaian Ferdi. Dinda mengangguk dan tak butuh waktu lama, Dinda sudah kembali, ditangannya sudah ada sebaskom kecil berisi air hangat dan handuk kecil.

“Ada sesuatu yang mengguncang hatinya, yang membuat dia sangat tertekan. Tapi, semuanya akan baik – baik saja, dia hanya butuh istirahat saja. Kau urusi dia ya, malam ini aku ada tugas, kau tidak papakan kalau ku tinggal?”
Dinda mengangguk.

“Gantilah dulu pakaianmu ya, aku tidak ingin kau sakit karena pakaian basahmu!”
Al mengangguk sambil tersenyum lalu pergi.

Dinda meletakkan baskom kecil itu dimeja samping Ferdi. Ia basahi handuk itu dengan air hangat lalu membersihkan wajah Ferdi dan mengompres kening Ferdi yang terasa panas. Dinda memandang Ferdi sedih.

“Ada apa denganmu direktur, apa yang membuat hatimu terguncang?”
Ferdi terbangun. Ferdi mengambil handuk kecil itu. Dinda langsung mengambilnya dari tangan Ferdi dan meletakkannya ke baskom.

“Aku bukan pembunuh…”
ucapnya parau.
“Sungguh aku bukan pembunuh…” sambungnya dengan mata berkaca – kaca. Dinda mengenggam tangan Ferdi.
“Aku bukan pembunuh…”

“Iya, aku percaya, kau bukan pembunuh… sebenarnya ada apa denganmu?”

“Aku lelah… Benar – benar lelah…” 
Dinda mengenggam kedua tangan Ferdi.

“Istirahatlah direktur, istirahatlah. Kau hanya butuh istirahat sekarang!”
Dinda mengusap lembut kepala Ferdi.

“Aku tidak ingin sendiri…”

“Aku menemanimu direktur, istirahatlah!”

“Jangan tinggalkan aku…”

“Aku disini, aku akan tetap disini hingga kau terbangun…”
Dinda memasukkan tangan Ferdi kedalam selimutnya. Perlahan, Ferdi menutup matanya. Ada beberapa bulir air keluar dari matanya. Dinda menghapus airmata itu lalu mengusap dahi Ferdi.
*****
Baper sendiri yang nulis...

Direkturku, Pasanganku!!!Where stories live. Discover now