Defibrillator

27 2 0
                                    

Sudah 3 hari Dinda dan Al menikmati suasana liburan mereka. Banyak hal sudah yang mereka lakukan bersama mulai dari diving bersama, mencoba bermain musik angklung bersama komunitas angklung disana, makan makanan khas disana, sampai hanya sekedar diam untuk melihat sebuah pertunjukkan live music disana. Dinda merasa sangat sedih saat tiba waktunya mereka harus check out dan kembali. Padahal waktu masih panjang namun, Al meminta pulang hari ini.

Setelah Dinda mengemasi seluruh barangnya, ia keluar dengan seluruh barang bawaannya. Ia ketuk pintu kamar Al namun, tak ada jawaban. Ia kembali mengetuknya namun tetap tak ada jawaban. Ia ambil hapenya, mencoba menghubungi nomer Al tapi tetap saja tak ada jawaban. Dinda berlari meninggalkan barang – barangnya menuju resepsionis, meminta kunci cadangan untuk kamar Al. Dinda bersama seorang karyawan kembali dan membuka pintu kamar Al.

Dinda langsung berlari panik saat melihat Al tergeletak pingsan. Dinda dengan panik berteriak meminta karyawan untuk membawa Al kerumah sakit. Beberapa karyawan berdatangan dan membantu Dinda membawa Al kerumah sakit.

Setibanya di rumah sakit, 2 orang suster datang dan membawa Al keruang ICU. seorang dokter laki – laki terlihat masuk keruang ICU untuk segera melakukan tindakan terhadap Al. Sementara Dinda hanya bisa melihat Al dari luar dengan perasaan yang cemas.

Dokter itu menyiapkan alat defibrillator, alat pemacu jantung. Dinda menutup mulutnya, perlahan airmatanya mulai mengalir. Kecemasan Dinda memuncak saat Dokter itu bekerja keras untuk membuat jantung Al berdetak dengan normal lagi.

Setelah berusaha keras, akhirnya jantung Al kembali normal. Dokter keluar dan mengabarkan kondisi Al yang mengalami kelelahan yang luar biasa. Dinda mengucapkan terimakasih. Dokter itu hanya tersenyum lalu pergi.

Beberapa suster mengatur ruang rawat Al. Setelah suster keluar, Dinda masuk ke ruang rawat Al. Dipunggung tangannya tertancap jarum infus, tetesan infusnya pun terhitung lebih cepat dari pada umumnya. Ada alat bantuan pernapasan juga yang menutup mulut dan hidungnya.

Dinda terus memandang Al yang tergolek lemah di ranjang rumah sakit. Dinda memegang tangan Al dengan tangisannya hingga membuat dia benar – benar sesegukan. Ia benar – benar merasa bersalah karena telah memaksa Al untuk mengikuti kemauannya untuk berlibur. Ia terus menangis hingga akhirnya ia tertidur.

Dinda terbangun lalu memandang jam dinding. Jam itu menunjukkan pukul 7 malam. Ia terus memandang Al, mengusap lembut punggung tangan Al. Ia langsung keluar saat melihat jari tangan Al bergerak. Ia langsung keluar memanggil dokter.

Saat Dinda kembali bersama seorang dokter, Al sudah membuka matanya. Dokter itu langsung memeriksa seluruh tubuh Al. Ia tersenyum pada Dinda, mengatakan bahwa masa kritis Al sudah terlewati. Dokter itu tersenyum pada Dinda dan mengatakan bahwa Al harus banyak minum lalu pergi.

Dinda tersenyum saat memandang Al namun, Al hanya memandang Dinda tanpa senyuman. Rasanya badannya sangat lemas dan lelah sekali.

“Aku pikir seorang pelatih taekwondo tidak bisa sakit!” Dinda tersenyum.

Dinda lebih mendekat saat Al akan mengatakan sesuatu, suara sangat kecil jadi ia harus lebih dekat.

“Jangan katakan siapapun kalau aku disini, termasuk Dimas!” pinta Al. Dinda hanya mengangguk, untung saja ia belum menelepon Dimas.

“Sekarang istirahatlah!”
Al hanya mengangguk lalu menutup matanya kembali.
*****
Huft... Alhamdulillah, Al tertolong tapi artinya Ferdi tetep punya saingan. Tapi, eh... Begitulah, kita lihat saja, pada siapa Dinda berlabuh ea....

Direkturku, Pasanganku!!!Where stories live. Discover now