Hari gelap Al

22 1 0
                                    

Sudah 2 hari Dinda dan Al tidak tatap muka secara langsung. Dan lagi – lagi felling Dinda membawanya kerumah sakit tempat ibu Al dirawat. Kemarin saat Al pergi dipagi hari, Dinda langsung mengikuti Al. Ia ingin tahu ada apa dengan cuti Al yang mendadak. Namun, pikirannya berubah kacau saat ia melihat Al menuju rumah sakit.

Segala pertanyaan muncul di pikiran Dinda. Sudah hampir 10 menit Dinda disana mengawasi ruang rawat ibu Al tapi tidak ada tanda – tanda jika Al akan keluar dari ruang rawat itu. Dinda mengambil hapenya dan menghubungi Al dan yaps, Al keluar dari ruang rawat ibunya.

“Kau dimana kak?” lirih Dinda.

“Ehm… Ehm… Aku baru bertemu dengan seseorang. Bagaimana, apakah ada sesuatu yang terjadi?”
Al terus melihat keruangan ibunya dengan cemas.

“Tidakpapa kak, hanya ingin bertemu kakak saja!” rengek Dinda.

“Ehm… Maafkan aku ya, hari ini aku sangat sibuk. Setelah semua urusanku selesai, aku akan menghubungimu. Sekarang aku tutup teleponnya ya!”
Al menutup teleponnya lalu kembali masuk.

Dinda terdiam lalu berjalan menuju kantin, perutnya sangat lapar. Sambil menunggu pesanan datang, Dinda terus berpikir sebenarnya apa sakit yang ibu Al derita sampai – sampai Al ingin segera mematikan teleponnya dan menolak bertemu.

Pesanan datang, Dinda mulai memasukkan makanannya ke mulutnya, otaknya masih saja berpikir, ada apa dengan ibu Al. Ia memandang jam tangannya, 1 jam sudah ia berada dikantin rumah sakit itu. Ia membenahi barangnya lalu kembali mengawasi ruangan ibu Al.

Tiba – tiba ia melihat 2 orang dokter dengan 2 orang perawat wanita berlarian masuk keruangan ibu Al, entah kenapa jantungnya juga berdegup lebih kencang. Seperti sesuatu yang buruk akan terjadi.

Satu jam sudah 2 orang dokter dan 2 orang perawat didalam. Tiba – tiba Al keluar. Ia terduduk dan terjatuh didepan ruang rawat ibunya. Airmatanya mengalir deras. Dinda menutup mulutnya dan menatap Al dengan mata berkaca – kaca, menahan tangis. Apa yang terjadi? Kenapa airmata Al mengalir Deras? Apakah ibu Al…

Tak lama, 2 orang dokter dan perawatnya mendorong ranjang ibu Al dengan kain putih menutupi seluruh tubuh ibu Al. Airmata Dinda langsung mengalir, apa lagi melihat Al yang langsung memeluk ibunya dan menangis kencang.

“Dok… Ibuku masih hidup dok. Perawat, ibuku ini masih hidup. Dia tadi hanya mengatakan padaku bahwa ia lelah dan ingin tidur. Dok… Percaya padaku, dia ini hanya tidur dok!” larang Al. seorang Dokter menenangkan Al sementara yang lain membawa jenazah ibu Al ke ruang jenazah.

Hari ini Dinda menggunakan pakaian serba hitam dengan sedikit strip putih dilengan kanannya. Dengan wajah sedih ia mengarahkan mobilnya ke makam, tempat ayah Al disemayamkan. Bukan untuk berziarah ke makam ayah Al namun, untuk menghadiri pemakaman ibu Al.

Kemarin ia sudah menanyakan pada perawat jam berapa dan dimana ibu Al akan dikuburkan. Entah kenapa hatinya ikut kacau saat ia mendengar kabar kematian ibu Al. Itu tandanya Al hidup sebatang kara mulai sekarang. Ia melihat Al berdiri sambil menatap makam ibunya, airmatanya masih saja menetes deras dimatanya. Al langsung menghapus airmatanya saat melihat Dinda datang.

“Kakak rindu pada orangtua kakak?”
Al tersenyum kecil. Dinda memandang Al sedih, mengambil tangan kanan Al dan mengenggamnya.

“Tidakpapa kak, tidak perlu menghapusnya. Aku mengerti memang tidak mudah!”

Al melepas tangannya dan memeluk Dinda. Airmatanya mengalir begitu deras. Mungkin itu juga airmata yang ia tumpuk selama bertahun – tahun setelah kehilangan ayahnya dan buruknya hubungan dengan ibunya. Tanpa Dinda sadari, airmatanya ikut mengalir. Dinda terus mengusap punggung Al. Seketika Al jatuh terduduk. Al melepas pelukan Dinda. Dinda kembali mengenggam tangan  Al dan mengusap lembut punggung tangan Al.

“Tidakpapa kak, tidakpapa… Menangislah, keluarkan semua bebanmu!” lirih Dinda sambil terus mengusap punggung tangan Al.

Dinda menunggu Al yang masih saja menangis. Sesekali Dinda terlihat mengusap lengan Al hingga Al mulai tenang.

“Dulu aku begitu senang saat ibu sehat – sehat saja. Artinya, aku masih bisa membenci ibu sesukaku. Tapi, sekarang? Bagaimana aku bisa tetap membenci ibu kalau ibu sudah tidak ada?”

“Aku tahu kak, aku tahu kak. Aku tahu kau sangat merindukan ibumu kak!”
Dinda malah menangis disaat Al sudah mulai tenang.

“Maaf karena kau harus melihatku di titik paling rendah seperti ini!” lirih Al sambil menghapus airmata Dinda.

Dinda dan Al tiba dirumah tanpa bicara apapun. Al langsung masuk ke kamarnya dan menutup rapat pintunya. Dinda terdiam sambil menatap kamar Al. Sungguh ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk menghibur Al yang baru saja ditinggalkan ibunya untuk selamanya. Dinda menghela nafas panjang lalu mempersiapkan untuk makan malam.  

Setelah selesai masak, Dinda berniat mengantarkan makanan itu untuk Al. Ia tahu sejak kemarin ia belum makan nasi. Dinda mengetuk pintu kamar Al, tak lama Al membukanya. Dinda langsung menanyakan apakah ia boleh masuk. Al hanya mengangguk. Al hanya duduk dikasurnya. Wajahnya masih nampak sedih. Tidak ada sedikitpun siratan senyuman.

“Kau harus makan kak!”
Tangan Dinda sudah siap menyuapi Al.

“Darimana kau tahu aku sedang dimakam hari ini?” Dinda menurunkan tangannya, bersamaan dengan senyum Dinda yang menyusut.

“Mendengarmu meminta cuti pada ayah, membuatku khawatir. Feelingku kau sedang ada masalah. Jadi, beberapa hari ini aku mengikutimu. Maaf kak, maafkan aku, aku tidak bermaksud ikut campur dalam urusanmu…”

“Maafkan aku yang slalu menyusahkanmu. Tapi sungguh aku tidak tahu harus bersama siapa aku berbagi cerita. Dulu, saat ayah meninggal aku merasa sendiri tapi kini, aku benar – benar sendiri!”
Lirih Al tanpa memandang Dinda. Dinda meletakkan makanan itu dimeja.

“Aku tidak tahu lagi kepada siapa aku harus membenci. Selama ini aku senang karena ku pikir aku masih memiliki alasan hidup yaitu untuk membenci ibu. Tapi sekarang, aku bahkan tidak tahu aku hidup untuk siapa!”

Dinda hanya diam, ia bukan tidak mau menanggapi ucapan Al tapi ia takut jika ucapannya justru membuat Al semakin sedih dan mengingat ibunya. Malam itu, ia menenangkan hanya dengan mengenggam tangan Al.
*****
Wah, sabar Al...

Direkturku, Pasanganku!!!Where stories live. Discover now