Kedilemaan Dinda

22 1 0
                                    

Dinda berjalan lebih cepat dari sebelumnya. Hari ini ia sudah lebih dari 5 jam meninggalkan Al untuk mengambil pakaian, bertemu teman, mengecek laporan kafe dan masih banyak lagi. Rasanya ia ingin segera menemui Al. Ditangan kanan dan kirinya terlihat membawa kantong. Ia langsung masuk saja, hanya melihat Al yang tertidur. Ia tata kantong itu dengan rapi, lalu ia mengeluarkan bubur dan meletakkannya dimeja. Ia sengaja membuat bubur itu untuk Al makan.

Wajah Dinda berubah saat ia melihat kening Al yang tertutup plester pembalut luka, dipipi kirinya ada sedikit memar. Bukan hanya itu saja tapi tangan kanannya terbungkus kassa. Ia langsung keluar menanyakan pada perawat yang ada, kejadian apa yang terjadi selama dia tidak di rumah sakit. Perawat menjelaskan sesuai yang ia ketahui.

“Kenapa tidak menelpon aku, aku disini walinya?”

“Maaf nona, kami sudah mencoba menelfon nona tapi, sepertinya hape nona tidak aktif.” Ucap Perawat itu dengan sopan. Dinda mengambil hape disakunya dan benar saja hapenya mati.

“Maaf nona, apa masih ada yang ingin ditanyakan, kalau tidak ada pasien lain yang harus diperiksa.”

Dinda hanya mengangguk dan mengucapkan terimakasih sebelum akhirnya kembali ke ruangan Al.

“Kau mau minum?”
Dinda dengan senyuman pada Al yang baru saja bangun. Al mengangguk. Dinda membantunya.

“Ehm… Ada yang ingin kau tanyakan padaku?” lirih Al, sedikit gugup.

“Kau mau bubur? Aku membuatnya khusus untukmu, kau pasti rugi jika menolaknya!” rayu Dinda. Al hanya tersenyum. Dinda pun menyuapi Al hingga habis ½ mangkuk.

“Kau kesal padaku?” lirih Al. Dinda hanya menggelengkan kepalanya.

“Kau marah padaku?”
Lagi – lagi Dinda kembali menggelengkan kepalaku.

Dinda tersenyum memandang Al lalu menyibakkan poni Al yang menutup luka dikeningnya. Untuk beberapa saat, Dinda hanya tersenyum.

“Aku bukan marah padamu tapi, aku marah pada petugas medis disini. Hanya aku tinggal sebentar saja tapi mereka sudah menambah luka di badanmu. Benar – benar rumah sakit yang tidak professional. Huft… Aku bisa menuntutnya!” kesal Dinda.

“Kau tidak kesal pada mereka tapi kau kesal padaku kan!” sahut Al.

“Tidak bodyguardku!” tepis Dinda.

“Kau dengar, aku tidak mau menanyakan apa yang terjadi saat aku tidak ada disini. Aku akan menunggumu untuk berbicara dan mengatakannya sendiri. Aku hanya ingin menanyakan, apa kau percaya pada bos kecilmu ini?”
Dinda bertanya senyum mengancam.

“Aku selalu percaya padamu bos!” lirih Al.

“Baguslah, kau istirahat ya! Aku harus menemui perawat dan merubah nama untuk walimu!”

“Kau tidak mau menjadi waliku lagi?” sahut Al. Dinda hanya tersenyum.

Al langsung menahan Dinda. Ia memegang erat tangan Dinda dan meminta Dinda kembali duduk disampingnya untuk mendengar ceritanya.

“Seseorang pergi dari rumahnya membawa sebuah senapan…” lirih Al, Dinda mendengar dengan serius.

“Tak lama, segerombolan orang membawa gergaji mesin menyusulnya. Mereka berencana untuk menghancurkan sesuatu. Mereka berusaha untuk menghancurkan tempat tinggal mereka.” Lirih Al. Dinda semakin serius untuk menyimaknya.

“Mendengar hal itu, raja simba marah dan mengumpulkan semua bala tentaranya untuk…”

“Kau pikir aku anak SD yang butuh cerita tentang raja simba?” kesal Dinda, membuat Al tertawa kecil. Setelah sekian detik akhirnya Al menyudahi tawanya.

“Baiklah, maafkan aku nona cantik. Kali ini aku serius, dengarkan aku!” pinta Al.

“Sejak kemarin aku mendapat pesan tak dikenal dari seseorang. Orang itu selalu membahas tentang ibu. Setiap aku mencoba menelepon, nomor itu tidak pernah mengangkatnya.” Lirih Al, Dinda mendengarkan dengan baik.

“Sampai akhirnya, orang itu mengatakan kalau ibu mempunyai hutang puluhan juta padanya. Dan aku tidak tahu kenapa ibu meminjam uang padanya hingga puluhan juta. Padahal jumlah nominal di atm ibu lebih dari hutangnya. Diakhir pesan, mereka mengajakku untuk bertemu dan membahas semuanya…” lirih Al.

“Tadi pagi, setelah kau pergi aku langsung mengganti pakaianku dan kabur menemui mereka. Awalnya aku pikir mereka bisa berbicara baik – baik tapi seseorang dari mereka langsung memukulku. Saat kami berkelahi, beberapa orang datang membantuku termasuk orang yang mengaku sebagai ayah tiriku!” lirih Al. Suaranya melemah saat menyebut kata ‘ ayah tiriku.’

“Huft… Tadinya aku sangat ingin mencaci maki laki – laki itu tapi, tubuhku sangat lemas jadi aku mencari taksi dan langsung kemari!”

“Kau sangat membenci ayah tirimu?” lirih Dinda.

“Dia bukan ayah, aku tidak punya ayah lagi. Dia hanya orang yang dengan tega mengambil ibu dari ayah. Sungguh, aku benci sekali melihatnya!” kesal Al.

“Sudah – sudah… Apa ini saja lukamu?” tanya Dinda sudah dengan senyumannya.

“Ada juga disini!” lirih Al sambil memegang dadanya dengan ekspresi manja.

“Disini?”
Dinda meletakkan tangan Dinda diatas dada Al lalu kembali ditutup tangan Al. Dinda dengan kesal menekan dada Al. Ia tahu, Al hanya manja saja. Namun, dugaannya salah. Al benar – benar mengeram kesakitan.

“Dadamu benar – benar terluka?” tanya Dinda, cemas.
Al mengangguk, kembali menetralkan nafasnya setelah menahan sakit. Dinda membuka 3 kancing teratas baju pasien Al dan benar saja, ada luka lebam disana.

“Maaf, aku benar – benar minta maaf. Aku kira kau bercanda!” ucap Dinda menyesal.

“Tidakpapa…“
Dinda kembali mengancingkan baju pasien Al namun, Al langsung mengambilnya dan meletakkannya didada. Dinda terdiam, kali ini ia bisa merasakan detak jantung Al yang begitu cepat.

“Aku sudah mengatakan semuanya, termasuk jantungku yang berdetak kencang untukmu. Bagaimana hubungan kita, ku serahkan padamu. Tidak akan jadi masalah jika kita sama saja. Kau bosku dan aku bodyguardmu. Aku akan menunggumu hingga kau benar – benar mengakui perasaanmu padaku!” lirih Al, membuat Dinda terdiam.
*****
Wah wah, Al mulai berani menyatakan cinta nih...

Direkturku, Pasanganku!!!Where stories live. Discover now