Bukan Mimpi

22 1 0
                                    

Dinda mengambil hapenya lalu mengingat langkah melacak seseorang yang baru beberapa hari lalu Al ajarkan padanya dan berhasil. Dinda langsung menuju alamat dimana lokasi Al. 

Tiba disebuah apartemen, ia terdiam sejenak, ia kembali melihat apartemen itu, apartemen yang tidak terlalu besar, bahkan terkesan kumuh. Dinda keluar dari mobilnya, masih dengan baju pestanya. Meninggalkan bunga dan tas brandid dari Ferdi.

Setelah tiba didepan sebuah kamar, Dinda mematikan hapenya dan mengetuk pintu kamar itu hingga 3 kali tapi tak ada jawaban. Dinda menghampiri staf disana dan menanyakan bagaimana ia bisa mendapatkan kunci cadangan. Setelah berkelit, akhirnya dengan terpaksa ia menunjukkan Kartu Keluarga bahwa ia anak dari ketua polisi jadi manager disana mau memberikan duplikat kuncinya.  Perlahan ia masuk.

Ia terdiam, melihat Al dengan selimut tebal dan wajah pucatnya terbaring di ranjangnya. Dengan perlahan Dinda mendekati Al. Dinda duduk disamping Al dan menyentuh tangan Al, badannya terasa panas.

Dinda memanggil nama Al namun, Al sama sekali tidak menjawab. Dinda mengambil kompresan dan mengompres kening Al. Geraknya terhenti saat ia mendengar Al menginggau dan memanggil namanya. Dinda mengenggam tangan Al.

“Aku disini, aku disini, didekatmu.” Lirih Dinda.

Perlahan Al membuka matanya. Ia menatap Dinda dengan sendu, hanya beberapa saat lalu ia menarik tangan Dinda dan meletakkannya tepat diatas dadanya dan kembali tertidur.
******
Perlahan Al membuka matanya dan beranjak duduk, badannya masih terasa benar – benar lemas. Ia memutar bola matanya, mencoba mencari tahu apakah benar yang ia rasakan tadi. Ternyata itu memang mimpi, Dinda tidak benar – benar datang dan merawatnya.

Bibirnya melengkung, pikirannya mulai bermain apa yang sedang terjadi malam ini, apakah mungkin Dinda sedang bersama Ferdi saat ini. Mungkinkah mereka sedang tertawa, menikmati hari jadi mereka. Namun, pikirannya langsung berubah, ia mendengar suara keran dari kamar mandi dan benar saja, tak lama Dinda keluar sambil mengeringkan rambutnya dan tersenyum melihat Al yang terpaku menatapnya. Dinda keluar dengan kaos hitam dan celana pendek miliknya, ia terlihat tomboy tapi masih cantik. Kalung yang ia berikan juga masih melingkar di leher Dinda.

“Wajahmu masih pucat, istirahatlah lagi!” pinta Dinda lalu menyimpan handuknya. Namun, pandangan Al masih saja pada Dinda. Dinda yang menyadari langsung nyengir.

“Hehehe maaf aku meminjam bajumu, aku sungguh tidak tahan tidur dengan gaun.”

“Jadi benar semalam kau disini?”
Al dengan tatapan serius.

"Hah, kau tidak tahu bagaimana usaha kerasku untuk bisa masuk kesini."

“Lalu ketua? Nyonya Dina? Pesta itu? Dim…”

“Sudahlah, kau ini sedang sakit. Tidak usah memikirkan hal itu. Semuanya akan baik – baik saja.” Sahut Dinda lalu bercermin, memakai handbody di kedua telapak tangannya.

Al mencoba meraih hapenya lalu mengeceknya. Ada beberapa panggilan masuk setidaknya 23 panggilan masuk, termasuk dari Dinda, ketua, dan Dimas. Tapi Dinda langsung mengambilnya dan mematikan hape Al lalu menyimpannya di laci meja didekatnya. Ia datang membawa semangkuk bubur, segelas teh manis hangat dan air putih. Dinda memaksa Al untuk menerima suapannya. Baru beberapa suapan Al menyudahinya.

“Ferdi…”
Lirih Al tanpa meneruskan. Dinda meletakkan bubur itu dan mengambil nafas panjang.

“Bukankah semalam dia menyatakan perasaannya padamu?” sambungnya.

Dinda sama sekali tidak menjawab, dia meninggalkan Al dengan kesal mengambil remote dan menyalakan tv. Al menyibakkan selimutnya dan menyusul Dinda, memeluk manja Dinda dari belakang.

Direkturku, Pasanganku!!!Onde histórias criam vida. Descubra agora