"Mama, mama!"
Eunwoo kecil bangun dari posisi berjongkoknya dan berlari kecil ke arah mamanya yang datang dengan senyum secerah mentari siang ini. Tangan kecilnya terjulur ke depan, berusaha memeluk mamanya, dengan setangkai anyelir merah muda di tangannya, yang ia dapatkan setelah memetik sembarangan dari kebun anyelir milik neneknya. Berani taruhan, anak itu pastu akan dimarahi neneknya kalau sampai ketahuan.
Mamanya hanya tertawa, merentangkan kedua tangannya dan menyambut Eunwoo kecil dalam pelukannya. Anak itu memang masih 5 tahun, tapi tubuhnya tampak hampir setinggi kakaknya. "Eunwoo sedang apa, Sayang?" tanyanya. Diusapnya puncak kepala Eunwoo, sembari sesekali memainkan helaian rambut halusnya.
"Eunwoo ingin menangkap kupu-kupu cantik untuk mama, tapi kupu-kupunya tidak mau diam. Dia terbang tinggi sekali, Eunwoo tidak bisa menangkapnya. Jadi, Eunwoo ambil saja bunga cantik ini untuk mama." Senyum anak itu merekah, tangan kanannya mengulurkan setangkai anyelir merah muda cantik yang begitu tampak segar pada mamanya. "Mama menyukainya? Tapi Eunwoo tidak tau nama bunga ini. Tidak apa-apa ya?"
Sekali lagi mamanya hanya tersenyum. Diterimanya uluran bunga yang diberikan putranya, disimpan pada tangan kirinya, sementara tangan kanannya meraba perutnya. "Eunwoo tau mama dari mana?"
Eunwoo menggeleng. Sepasang netra polosnya memancarkan ketidakmengertian. "Mama dari supermarket? Kakak bilang, kita kehabisan sayur. Tapi kalau tidak ada sayur juga tidak apa-apa. Kakak selalu memberikan sayurnya padaku. Dia nakal sekali, Ma. Papa selalu membelanya."
"Tidak, Sayang. Mama tidak membeli sayur. Mama dari rumah sakit."
Seketika Eunwoo melotot. Pelukannya pada tubuh sang mama mengerat. Ia hampir menangis. "Mama sedang sakit? Kenapa mama tidak bilang pada Eunwoo? Mama pasti disuntik sama dokternya. Eunwoo akan memukulnya, lihat saja nanti!" Ia berteriak.
Tawa mamanya meledak. Ia memeluk Eunwoo erat-erat, kemudian menggapai satu tangan Eunwoo dan meletakkanya di atas perutnya. "Mama ke rumah sakit bukan karena mama sakit, Sayang. Dokternya juga tidak menyuntik mama. Untuk apa kamu takut pada rumah sakit dan dokter saat mama dan papa adalah dokter yang berkeliaran di rumah sakit setiap hari?"
Senyum malu-malu Eunwoo mengembang perlahan. Ia tidak jadi menangis.
"Mama ke rumah sakit karena ada adik di dalam sini."
"Adik?" Kini sebuah tanda tanya imajiner besar muncul di kepala Eunwoo. Ia menatap tangannya yang berada di perut mamanya. "Adiknya ada di perut mama?"
Mamanya mengangguk.
"Adik itu apa?"
Ekspresi mamanya berubah. Baiklah, meski tubuhnya bongsor, Eunwoo masih 5 tahun. "Adik itu teman yang harus Eunwoo jaga. Seperti Eunwoo dan kakak. Kalian saling menjaga kan?"
Eunwoo menggeleng keras. "Tidak. Kakak nakal sekali, Eunwoo tidak mau main dengan kakak. Dia menyebalkan, tapi papa selalu membelanya. Tapi mama, apakah nanti Eunwoo akan jadi kakak seperti kak Myungsoo? Lalu kalau Eunwoo jadi kakak, kak Myungsoo bagaimana?"
"Eunwoo akan jadi kakak seperti kak Myungsoo dan kak Myungsoo akan punya dua adik, Sayang. Kalau nanti Eunwoo menjadi seorang kakak, Eunwoo harus menjaga adik sebaik mungkin. Eunwoo juga harus menyayanginya karena kalian bersaudara. Eunwoo mengerti?"
Cha Eunwoo kecil mengangguk. Ia memandangi perut mamanya lekat-lekat. "Apakah adik Eunwoo laki-laki, Mama?" tanyanya lugu.
"Masih belum tau, Sayang. Memangnya kenapa kalau laki-laki?"
Senyuman Eunwoo merekah. Ia mengusap lembut perut mamanya. "Kalau laki-laki, Eunwoo akan mengajaknya bermain setiap hari dan mengajaknya berkeliling dunia. Eunwoo akan mengajaknya melihat banyak hal yang menakjubkan, Eunwoo juga akan mengajaknya mendaki gunung tertinggi di dunia dan naik roket ke bulan, Mama!"
Tawa mamanya kembali pecah. Diusapnya penuh sayang puncak kepala Eunwoo. "Jadi kalau adiknya perempuan, Eunwoo tidak mau mengajaknya bermain? Eunwoo juga tidak akan mengajaknya berkeliling dunia dan naik roket ke bulan?"
Eunwoo tampak berpikir. Kepalanya dimiringkan lucu. "Eunwoo akan mengajaknya bermain dan menjaganya dari orang-orang yang mengganggunya. Karena dia perempuan, dia akan jadi tuan puteri dan Eunwoo akan jadi pangerannya. Eunwoo akan melindunginya, Mama."
"Kamu anak pintar, Eunwoo. Jadilah kakak yang baik dan selalu jaga adikmu, apapun yang terjadi. Sayangi dia seperti kamu menyayangi mama dan dirimu sendiri, Sayang."
Sayangnya ketika adik itu lahir, bukan kehangatan dan tawa bahagia yang Eunwoo kecil lihat dalam keluarganya, melainkan dinding-dinding tinggi yang membuatnya nyaris tidak lagi mengenal siapa mama yang begitu dekat dengannya, siapa papa yang selalu membela kakaknya, juga siapa kakak yang selalu membuang sayuran ke piringnya. Suasana rumahnya berubah dingin dan hening, jarang sekali ada kehangatan yang membuat suasananya hidup. Ia mendengar orang-orang berteriak saling menyalahkan setiap malam, kemudian suara neneknya yang berusaha menengahi.
Dalam hening, ia seringkali mendengar adik bayinya menangis. Ia ingin sekali menggendongnya, tapi papanya selalu menarik lengan kecilnya dan menguncinya di dalam kamar. Ia tidak bisa berbuat apapun, selain mengawasi adik kecilnya dari jauh. Dinding di rumahnya terlalu tinggi, dan tubuhnya masih terlalu kecil untuk memanjat seorang diri. Mama di mana? Kenapa tidak memeluk adiknya? Kenapa papanya tidak pernah punya waktu untuk adik bayinya? Kenapa kakaknya tidak menjaga adik mereka?
"Saat nanti kamu sudah besar, kamu akan mengerti apa yang sedang terjadi pada keluargamu. Untuk sekarang, kamu boleh menutup mata untuk menjadi buta dan menutup telinga untuk menjadi tuli. Tapi saat kamu sudah besar dan bisa melakukan segalanya sendiri, hancurkan kebutaan dan ketulianmu. Adikmu membutuhkanmu, Sayang. Dia juga membutuhkan mama kalian. Berjanjilah pada nenek, jadilah kakak yang bertanggungjawab."
Eunwoo mengangguk. Ia masih menyimpan segala janjinya. Janji mengajak adik kecilnya bermain, berkeliling dunia, mendaki gunung, dan naik roket ke bulan.
"Eunwoo akan menjaga adik, tapi kalau nanti Eunwoo gagal, bagaimana?"
.................................. [[💌🕊]]
"Kalau aku gagal, bagaimana?"
Eunwoo membuka matanya perlahan. Kepalanya pening bukan main, tubuhnya lemas. Bahkan ketika ia berusaha keras untuk duduk, kepalanya nyaris seperti dihantam beton berton-ton beratnya. Namun sayangnya sebelum ia sempat menyadari apa yang mungkin saja telah terjadi dan di mana ia sekarang, Wooseok sudah lebih dulu menerjang dan memeluknya erat-erat. Bahkan saking eratnya pelukan Wooseok, ia hampir merasa sesak karenanya.
Wooseok menggeleng pelan, pelukannya mengerat, seakan mengabaikan erangan tertahan Eunwoo yang dipeluknya. "Aku kira kamu nggak bakalan sadar sampai nanti siang, Woo. Mana demam kamu tinggi banget, aku yang takut kamu kenapa-kenapa," lirihnya.
Dahi Eunwoo mengernyit dalam. Sembari membalas pelukan Wooseok perlahan, ia bertanya-tanya. Memangnya ia pingsan? Kapan? Di mana? Siapa yang membawanya ke IGD?
"Kamu tuh udah pingsan, demammu tinggi, tekanan darahmu juga rendah. Untung tadi ada perawat yang lewat. Kalau enggak, gimana coba? Chan mana kuat bawa kamu sendirian ke sini. Teleponku juga nggak dijawab. Kamu tuh kalau ada kejuaraan bikin khawatir orang kayaknya bakalan menang. Ngeselin banget jadi orang. Udah jomblo, gayanya sok punya pasangan lagi!" Wooseok mulai mengomel. Tidak jauh dari ujung bed yang ia tempati, Jinhyuk tampak bersandar pada dinding sembari melipat kedua tangannya di depan dada.
Eunwoo masih belum dapat berpikir jernih. Kepalanya masih terlalu pening, sementara badannya terlalu lemas. Bahkan untuk sekedar berkata-kata, rasanya ia tidak sanggup. Jika Eunwoo boleh jujur, ia tidak pernah merasakan fisiknya semenyebalkan dan selemah ini. Padahal ia kuat mengangkat satu lemari sendirian, tapi sekarang jangankan untuk mengangkat lemari, untuk berbicara sepatah kata saja rasanya ia sangat lemas.
Wooseok masih mengusapi dahinya yang dibanjiri keringat dingin dengan telaten, sementara ia memandang sekitarnya. Hiruk pikuk khas IGD. Ia sudah jauh sekali dari area ICU. Kepalanya makin pening dan ia nyaris ambruk ke samping kalau Jinhyuk tidak langsung melesat menahan tubuhnya di sisi yang lain.
"Junho... di mana?" Dengan sisa-sisa tenaganya, ia bertanya, sebelum akhirnya Jinhyuk kembali membuatnya berbaring. Kepalanya nyaris seperti akan pecah dalam waktu dekat. "Junho... di mana?"
Sayangnya, tidak seorangpun yang bersediah menjawabnya. Pasangan Wooseok dan Jinhyuk hanya diam, saling memandang tanpa bersuara. Bahkan Byungchan yang baru saja menyibak tirai dengan membawa tensimeter di tangannya pun memilih tidak menjawab.
Aku... masih belum gagal, kan?
Selamat pagi. Jangan skip sarapannya karena dengan sarapan, kalian lebih bertenaga dan lebih fokus untuk bekerja dan belajar. Pastikan kalian membawa air minum ya🙆
Ada yang paham maksud dari lingkaran persegi panjang?😐