Laki-Laki Yang Menjual Cerita

10K 2.2K 2.9K
                                    

This chapter contains the theme of infidelity, poor self-affection, poor self-control, toxic relationships, manipulative character, and several other things that trigger discomfort. It's forbidden to link the profession with characterizations. If inconvenience arises in reading or after reading, please skip. Take care of yourself.

🌹Read on your own risk🌹

Jinhyuk memutuskan memilih segelas soda gembira dan sepiring soto, sementara Hangyul yang sudah ia iming-imingi traktiran akhirnya memilih memesan segelas besar kopi susu dan sepiring rawon spesial yang memiliki beberapa potongan dadu daging sapi yang terlihat menggiurkan, beberapa potong tempe tipis, dan 2 kerupuk udang yang diletakkan di pinggir-pinggirnya. Bahkan ketika akhirnya pesanan mereka sampai, Hangyul langsung menyantapnya tanpa tedeng aling-aling tanpa merasa sungkan dengan kehadiran Jinhyuk yang duduk di seberangnya dan memilih menyantap minumannya lebih dulu.

Jinhyuk menggeleng beberapa kali sambil mengaduk-aduk minumannya, menatap Hangyul yang menyantap penuh nafsu rawonnya sampai beberapa tetes kuahnya tidak sengaja menetes ke kemeja bagian dada di balik snellinya. "Dek, kamu suka rawon?" tanyanya basa-basi.

Hangyul mengangguk. Ia mengunyah cepat sesuap nasi rawon dalam mulutnya, kemudian memelannya dan Jinhyuk rasa, kunyahan itu belum terlalu halus. "Suka banget, dok. Kalau ada yang mau masakin saya satu panci besar, saya rela jadi tukang ojeknya selama seminggu. Soalnya rawon itu enak banget. Biasanya saya makan nasi sama kuah doang. Itu aja udah enak banget, apalagi ada dagingnya begini. Saya pengen sungkem aja sama dokter Jinhyuk."

Mendengarnya, Jinhyuk terkekeh. Ia meraih mangkuk sotonya, bimbang sejenak apakah lebih baik diaduk untuk mencapur lauk bagian atasnya atau tidak mengaduknya. Ia butuh beberapa detik untuk memutuskan dan ia memilih tidak mengaduknya. "Dek, kamu udah lama naik citulmu itu? Kelihatannya masih bagus. Jarang kamu pakai atau gimana?" tanyanya.

"Oh, saya udah pakai citulnya sejak masih preklinik, dok. Waktu masih koass juga saya pakai citul itu. Saya nggak punya kendaraan pribadi selain citul itu, jadi ya ke mana-mana, naiknya citul itu, dok. Maklum masih iship, belum punya banyak uang buat beli mobil."

Jinhyuk mengangguk beberapa kali. Ia menyuapkan sesendok nasi soto ke dalam mulut, mengecap rasanya beberapa saat, kemudian mengunyahnya cepat dan memastikan cukup halus untuk ditelan, sehingga tidak membuatnya tersedak. Kemudian kembali menatap Hangyul yang sibuk memotong tempe dengan sendok. "Tahun baruan kemarin ada kumpulan pengemudi motor lawas. Katanya sih, kebanyakan citul sama vespa. Mau konvoi kayaknya, bantu pengamanan pergantian tahun. Kamu nggak ikut?"

"Enggak, dok." Hangyul menggeleng pelan. Ia mengumpulkan sisa-sisa nasinya menjadi satu bagian ke pinggir piringnya. "Saya pengen ikut acara gitu sesekali, tapi biasanya budgetnya tinggi, dok. Biasanya mereka yang ikut emang udah anggota komunitas dan biasanya rutin kumpulan. Bisa seminggu sekali atau sebulan sekali, dan biasanya kalau udah kumpul, pasti bakalan keluar uang banyak. Kan saya nggak bisa hedon begitu, dok. Antara saya masih iship yang waktunya belum fleksibel dan uangnya mending ditabung buat PPDS nanti. Walaupun masih bingung mau ambil PPDS apa."

"Ambil forensik aja, dek.  Kami masih kekurangan tenaga forensik di jaman yang tingkat kejahatannya gila-gilaan seperti jaman sekarang."

Hangyul terlihat menatap Jinhyuk bingung, kemudian menggeleng. "Enggak deh, dok. Nonton film horror aja saya teriak-teriak sampai dilihati satu bioskop, apalagi jadi dokter forensik. Belum mulai autopsi, pingsan duluan saya, dok. Terima kasih sarannya, tapi kayaknya enggak deh, dok. Kurang kuat nyali saya."

Jinhyuk tertawa terbahak-bahak. "Kamu kira tugasnya dokter forensik cuma autopsi jenazah?"

Hangyul mengangguk.

COASS COOPERATE 4.0 (Part of 2.0 and 3.0)Where stories live. Discover now