Decisions and Considerations

10.5K 1.8K 122
                                    

Midam membuka perlahan pintu kamar adiknya. Ia mengintip ke dalam dan menyunggingkan seulas senyum ketika adiknya tampak duduk di balik meja belajar, sibuk dengan aktivitasnya. "Lagi belajar?" tanyanya pelan. Ia membuka lebih lebar pintu kamar adiknya dan mendekat beberapa langkah.

Eunsang yang semula sibuk dengan beberapa textbook terbuka di samping laptopnya menoleh. Senyum lembutnya mengembang seperti biasanya. "Enggak kok. Lagi ngerjain referat, kak," jawabnya.

"Kakak ganggu sebentar boleh?" Midam mendudukan diri di tepi ranjang, tepat di belakang kursi belajar tempat Eunsang duduk berhadapan dengan banyak buku terbuka. Ia tersenyum sesaat ketika melihat adiknya akhirnya memilih bangkit dan duduk di sebelahnya. "Maaf ya kalau ganggu waktu kamu belajar. Ada yang pengen kakak bicarain berdua sama kamu, Sang."

Eunsang mengangguk mengerti beberapa kali. Ia memutar tubuhnya berhadapan dengan Midam. "Kakak mau ngomong apa?"

Setelah pertanyaan Eunsang, Midam terlihat ragu sejenak. Ia membuka mulutnya, kemudian menutupnya. Dan mengulangnya beberapa kali.

Eunsang menyentuh pelan lengan kakaknya, berusaha menyalurkan ketenangan. "Kakak mau bilang apa? Eunsang pasti dengerin kok," katanya.

Midam menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. "Kakak berencana buat jual rumah ini, Sang."

Pada akhir perkataan Midam, tangan Eunsang yang semula mengusap pelan lengan Midam, jatuh ke tempat tidur. Ia menantap kakaknya tidak mengerti, tatapannya terletak antara definisi bingung, meminta penjelasan, menolak, dan penuh kesenduan.

Sepasang netra Eunsang terlihat gugup, kebingungan saat itu juga. "Eunsang salah dengar?" tanyanya lirih.

Midam menggeleng pelan. "Kakak udah mempertimbangkan berulang kali sebelum bilang ke kamu dan kakak pengen kamu tau semuanya, Eunsang," jawabnya.

"Kenapa?"

Sebelah alis Midam terangkat. "Kenapa?" Ia balas bertanya.

"Kenapa kakak mau jual rumah ini? Ini satu-satunya rumah yang kita punya," Eunsang kembali bertanya. Suaranya tercekat, gurat kesenduan semakin tampak jelas di matanya.

Midam berusaha meraih tangan Eunsang, tapi untuk pertama kalinya, adiknya bersikap agresif dengan menarik lengannya menjauh. "Eunsang, dengerin kakak dulu..."

"Eunsang selalu dengerin kakak, tapi kakak nggak pernah dengerin perasaan Eunsang. Kakak punya kenangan sama mama, sedangkan Eunsang nggak punya, kak. Rumah ini satu-satunya tempat Eunsang merasa mama sama papa masih di sini tanpa ninggalin Eunsang. Rasanya setiap pulang, Eunsang selalu merasa papa masih hidup, mama juga masih di sini, meskipun Eunsang nggak pernah lihat langsung wajah mama. Di rumah ini, Eunsang dibesarkan. Ada banyak kenangan berharga di rumah ini buat Eunsang. Dan sekarang setelah papa meninggal, kakak mau jual rumah ini?"

Midam menggeleng pelan. Ia masih berusaha meraih tangan adiknya, tapi Eunsang kembali menarik menjauh tangannya. Raut wajah Eunsang di matanya tak ubahnya anak kecil yang berusaha memprotes, menyampaikan perasaannya, dan menyuarakan apa yang diinginkannya. Tapi Midam tahu, Eunsang tidak ingin lagi dianggap anak kecil yang tidak tahu apa-apa dan selalu dilindungi.

Eunsang menatap kakaknya lamat-lamat. Makna tatapannya tidak dapat terbaca. Matanya memerah, ada air mata yang berusaha ia tahan. "Rumah ini tempat Eunsang besar, kak. Ada banyak kenangan di sini dan Eunsang nggak mau kenangan itu hilang karena papa udah nggak ada. Meskipun Eunsang nggak pernah ketemu mama, di rumah ini, Eunsang selalu merasa mama masih ada, kak."

Midam bisa merasakan dadanya terasa sakit ketika setetes aid mata akhirnya kembali jatuh dari sepasang netra lembut adiknya. "Eunsang, dengerin kakak. Ada hal yang pengen kakak bagi berdua bareng kamu. Sekarang hanya tinggal kita berdua, dan kakak nggak bisa mengambil suatu keputusan tanpa melibatkan kamu karena kamu berhak punya argumentasi."

COASS COOPERATE 4.0 (Part of 2.0 and 3.0)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang