In The Aftermath of The Destructive Path

10.6K 2.4K 1.5K
                                    

╔════•😈🌹💙•════╗
Read on your own risk
╚════•😈🌹💙•════╝

Reminder : Cerita ini hanyalah rekaan. Memiliki konflik yang cukup berat dan alur lambat, maka dibutuhkan kebijakan pembaca saat membaca.

[💌]..................[🕊]

"

Mama sama adikmu dua-duanya sakit, Chan."

Byungchan seketika menghentikan langkahnya tepat di pintu keluar bagian depan rumah sakit. Bahunya seperti melesak ke bawah begitu saja seiring dengan hatinya yang terasa mencelos mendengar penuturah papanya di ujung sana. "Mama sama adik-adik sakit apa, pa?" tanyanya.

Jeda cukup lama di ujung sana. Satu-satunya yang terdengar di ujung saat hanyalah papanya yang menghela napas berat, kemudian disusul suara rengekan yang terdengar seperti rengekan adik keduanya dan beberapa barang jatuh. Lalu samar-samar ia bisa mendengar suara mamanya sedang mengatakan sesuatu yang ia sendiri tidak bisa tangkap dengan mudah.

"Adikmu dua-duanya flu berat, kalau mama tekanan darah tingginya kambuh, kadar gula darahnya juga lumayan tinggi. Kemarin habis kontrol ke rumah sakit, udah lebih baik kok, Chan. Jangan terlalu kepikiran ya?"

Bohong kalau Byungchan tidak kepikiran keadaan mamanya, juga adik-adik dan papanya. Usia mamanya sudah tidak muda lagi, begitupun dengan usia papanya yang 5 tahun lebih tua daripada usia mamanya. Ditambah dengan mamanya memiliki riwayat tekanan darah tinggi dan kadar gula darah yang tinggi, sementara papanya memiliki riwayat asam urat yang tinggi pula. Dan mereka tidak bisa benar-benar beristirahat di rumah saat sedang sakit karena ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mempertahankan hidup, juga membiayai pendidikan kedua adiknya. Sedikit banyak, sebagai anak pertama yang sudah tumbuh lebih dewasa daripada adik-adiknya dan dianggap dapat membantu keluarga, ia pasti kepikiran dengan keadaan kedua orang tua dan adik-adiknya.

Kalau saja ia punya banyak uang, ia akan memberikan sebagian uang miliknya pada mamanya dan meminta mamanya berhenti bekerja sampai setidaknya kesehatannya pulih. Hanya saja mamanya tidak pernah mau menerima sedikit uang yang ia berikan dengan alasan sederhana bahwa uang itu adalah miliknya dan seharusnya uang itu ia gunakan untuk membiayai PPDS-nya. Ia paham, meskipun mamanya sedang dalam kesulitan, mamanya tak pernah ingin menyusahkannya. Walaupun sejujurnya, ia sama sekali tidak merasa bahwa mamanya adalah kesulitan karena hal ini tetap tanggungjawabnya sebagai anak sulung yang usianya terpaut lumayan jauh dengan kedua adiknya.

"Chan, kamu udah makan malam? Kalau belum, cepetan makan malam ya? Jangan sampai kamu juga sakit karena pekerjaan kamu lebih berat daripada kami."

Byungchan mengulas sedikit senyum. "Udah kok, pa. Ini mau keluar sebentar beli minum buat jaga malam. Papa sendiri udah makan?"

"Belum sempat, Chan. Papa juga nggak bisa masak. Mamamu kasihan kalau harus masak sewaktu sakit begini. Enaknya malam-malam begini papa makan apa ya?"

Tanpa sadar Byungchan melirik jam tangannya. Sudah jam setengah 8 malam, harusnya papanya sudah makan malam karena makan malam paling ideal adalah di bawah jam 7 malam. Tapi papanya belum juga makan malam.

"Kamu mau jaga malam ya? Ya udah papa tutup aja ya teleponnya. Besok kalau ada waktu, papa telepon lagi ya? Papa mau keluar sebentar. Kamu di sana baik-baik ya? Jangan lupa makan, jangan lupa istirahat, jaga diri, dan kalau ada apa-apa bilang ya, Chan. Kalau kamu udah punya waktu yang bener-bener longgar, pulang sebentar ya, Chan."

Byungchan hanya menjawab dengan beberapa kalimat pendek sebelum akhirnya sambungan telepon itu dimatikan dan membuatnya terdiam untuk beberapa saat hanya demi mencerna perkataan demi perkataan papanya, sementara kakinya mulai melangkah gontai. Bahkan untuk beberapa detik ketika ia berusaha keras mencerna perkataan papanya, terkadang ia ingin menertawakan dirinya sendiri atau mengatakan sesuatu yang terdengar sarkas bagi dirinya sendiri.

COASS COOPERATE 4.0 (Part of 2.0 and 3.0)Where stories live. Discover now