Every Stalks of Sunflower is A Hope - 1

11K 2.2K 459
                                    

Minkyu membuka pintu ruang rawat Wonjin perlahan setelah ia memberi kode deretan orang di belakangnya untuk tidak ribut karena ini masih jam 6 pagi dan tentu saja Wonjin masih tidur. Di belakangnya, Eunsang tampak memegangi tangan Yohan sambil menempelkan satu pipinya di bahu Yohan, sementara Yohan hanya melongok di belakang punggung Minkyu, si kembar Dongpyo dan Hyungjun saling melongok ke samping akibat terhalangi tubuh Eunsang dan Yohan, Minhee berjalan mengendap di belakang si kembar sambil berusaha menggapai Junho yang berjalan di belakangnya, dan Junho di belakang Minhee hanya memasang wajah tanpa ekspresi.

Suasana kamar rawat Wonjin benar-benar hening. Anak itu masih tertidur layaknya putri tidur dengan kedua telapak tangannya di atas perut dan sebuah beanie berwarna biru muda yang menutupi kepalanya. Tidak jauh dari ranjang dan tiang infus Wonjin, tampak nenek Wonjin sedang tidur di sofa dengan wajah lelah, tidurnya terlihat sangat tidak tenang.

Satu-satunya suara yang benar-benar terdengar hanyalah detikan jarum jam yang diletakkan di atas televisi mini dan derak AC yang tidak berhenti bekerja mendinginkan ruangan, sampai akhirnya dari belakang sana, terdengar Junho dan Minhee mulai membuat keributan.

"Tangan lo ngapain sih anjir? Aset gua kepegang sialan!"

"Habisnya lo jalan lambat banget, Jun. Mana gue tau yang kepegang aset kebanggaan lo? Kan gue niatnya narik snelli lo."

Minkyu sontak menoleh ke belakang dan menempelkan telunjuk di bibirnya. "Jangan berisik dulu," bisiknya.

Junho mencibir beberapa kali dan membuat gesture menjitak kepala Minhee saat cowok itu sudah berbalik. "Tangannya nggak ada adab, main pegang-pegang aset orang. Awas aja sampai gua dicerai Eunsang, gua jual semua organ tubuh lo," desisnya.

Tepat begitu Junho selesai menyumpahserapahi Minhee, nenek Wonjin yang semula tertidur dengan kepala terkulai pada sandara sofa lantas membuka matanya dan menatap Minkyu yang berdiri paling depan lamat-lamat.

"Minkyu? Itu kamu, nak?" Nenek Wonjin menyipitkan sedikit matanya demi memperjelas apa yang tengah dilihatnya. Hingga beberapa detik kemudian setelah Minkyu hanya memberi jawaban dengan mengangguk, nenek Wonjin tersenyum. "Kemarin kamu dicari Wonjin karena seharian nggak ke sini. Kayaknya anaknya kangen."

Minkyu tersenyum dan mengangguk, kemudian memberi isyarat kepada keenam temannya untuk masuk. "Kemarin baru awal kegiatan di stase baru, nek, jadi masih ngumpulin perbekalan buat ke depannya. Nenek di sini dari semalam?"

Wanita berusia lebih dari setengah abad itu mengangguk, berdiri, dan berjalan ke arah Minkyu kemudian. "Karena kamu nggak ke sini, jadi nenek nemenin Wonjin dari kemarin, takut dia kenapa-napa lagi. Tapi untungnya kemarin dia cuma muntah-muntah efek dari kemoterapinya. Ini mau dilihat hasil perkembangan tumornya gimana, nanti baru diputuskan tindakan lanjutannya tetap harus dikemoterapi sama radioterapi beberapa kali, atau kalau keadaan memungkinkan, mau diambil tindakan bedah. Nenek juga nggak begitu paham, Kyu."

Minkyu mengangguk beberapa kali. "Dulu waktu pertama kali Wonjin didiagnosa glioblastoma, dokter Minhyun juga pernah bilang akan dipertimbangkan tindakan bedah buat mengangkat tumornya setelah tumor ganasnya dilemahkan sekitar beberapa puluh persen. Kemoterapi dan radioterapi sekarang juga goalnya untuk melemahkan tumornya yang waktu itu udah menyebar ke beberapa bagian otaknya Wonjin karena gimanapun juga, glioblastoma lebih ganas daripada kanker paru-paru yang dari jaman dulu emang udah terkenal ganas."

Nenek Minkyu tersenyum. Ia lantas menoleh ke belakang dan menatap cucu pertamanya yang telah tertidur pulas. "Biaya operasi itu pasti nggak sedikit. Walaupun nenek nggak berpendidikan tinggi, dari nama prosedurnya pun, nenek udah tau kalau biayanya nggak akan murah. Begitu juga dengan biaya kemoterapi dan radioterapinya selama ini. Juga biaya rawat inapnya Wonjin. Apalagi biayanya pasti membengkak setelah kanula nasal itu dipasang. Makanya bundanya Wonjin belum bisa pulang dari Taiwan."

Seketika ketujuh koass itu tertegun, terutama Minkyu yang telah lebih dulu mengetahui tentang keberadaan bunda Wonjin.

"Bundanya Wonjin, sayang banget sama Wonjin. Pertama kali dengar Wonjin didiagnosa tumor seganas itu dan ada di stadium yang membahayakan, dia terpukul. Dia udah mau pulang ke sini buat mendampingi Wonjin, tapi dia tau kalau kami nggak bisa menjamin pengobatan dan mungkin biaya operasi Wonjin kelak kalau kami nggak memiliki cukup uang. Jadi dia bertahan di Taiwan, bekerja di sana sambil terus memikirkan Wonjin dan berharap Wonjin baik-baik saja. Tapi kondisi Wonjin terkadang bisa turun drastis sampai di hari di mana Wonjin gagal napas, harus masuk ICU, dan hampir meninggal. Ibu mana yang nggak terpukul dengan keadaan anaknya yang kritis begitu?" Nenek Wonjin menunduk, menatap kedua tangan keriputnya yang saling bertautan.

Minkyu tidak menjawab apapun. Matanya menatap lurus ke arah Wonjin yang masih terlelap dengan kanula nasal yang menghiasi sekitar wajahnya, tangan yang terinfus dengan selang yang terhubung dengan tabung infus di tiang infus, selimut putih yang menutupi sebagain besar tubuh ringkihnya, juga sebuah beanie yang membuat Wonjin tidak pernah lagi mau berhadapan dengan cermin.

Wonjinnya mengalami hari-hari berat yang menyakitkan. Fisiknya boleh saja lelah dan sakit karena pertumbuhan dan perlawanan tumor ganas di otaknya, tapi psikisnya juga pasti lelah setiap saat terkepung cemas, takut, minder, sedih, kecewa, dan marah.

"Buat aku, depresi adalah efek samping sekarat, Kyu. Nggak ada yang bisa diharapkan dari orang sekarat kayak aku, selain kematian. Mungkin saat ini aku masih hidup, tapi mungkin besok udah enggak."

"Kyu, kalau seandainya suatu saat nanti aku udah nggak mau berjuang lagi, aku boleh pergi kan? Pergi buat nggak menyusahkan siapa-siapa lagi."

"Aku capek berjuang buat sesuatu yang aku tau bakalan gagal. Hasilnya nggak akan bagus. Aku tau itu, Kyu. Kalau suatu saat nanti aku gagal, tolong bilang terima kasih banyak ya buat dokter Yena, dokter Minhyun, dokter Minki, dokter Sira, dokter Dongho, dokter Yunseong, dokter Yuvin, sama semua perawat yang mau ngerawat aku yang cuma nyusahin begini. Bilangin terima kasih juga buat petugas kebersihan rumah sakit yang selalu bersihin kamarku dan selalu nyapa aku walaupun aku udah jelek begini hehehe..."

"Dan yang terpenting, terima kasih buat bunda, ayah, adik-adikku, nenek, teman-teman koassku, juga kamu. Maaf ya kalau suatu saat nanti aku nggak bisa foto bareng kalian saat kalian disumpah dan maaf kalau aku nggak bisa ngerubah panggilan akrab kita jadi dok. Apapun itu, aku nggak pernah menyesal kenal kalian semua dan aku nggak pernah menyesal dilahirkan karena kalau aku nggak dilahirkan, aku nggak akan pernah tau kalau Tuhan bisa menciptakan manusia sebaik kalian."

Minkyu mendongakkan kepala, berusaha menahan air matanya begitu ia mengingat kembali apa yang dikatakan Wonjin sesaat setelah kanula nasal itu dipasang lagi akibat pernapasan Wonjin yang kembali terganggu dan kalimat saat kondisi Wonjin sempat drop beberapa saat lalu, yang pasti memukul telak keadaan psikis Wonjin yang sejak awal sudah tertekan.

Tapi jika Minkyu boleh jujur, ia belum siap kehilangan Wonjin. Atau bahkan ia sama sekali tidak akan pernah siap jika harus kehilangan Wonjin dengan cara yang begitu menyakitkan setelah ia menyaksikan bagaimana beratnya hari-hari yang dialami Wonjin, juga seberapa keras sinar mentarinya itu berjuang.

 Atau bahkan ia sama sekali tidak akan pernah siap jika harus kehilangan Wonjin dengan cara yang begitu menyakitkan setelah ia menyaksikan bagaimana beratnya hari-hari yang dialami Wonjin, juga seberapa keras sinar mentarinya itu berjuang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat pagi dan selamat beraktivitas. Jangan lupa sarapan dan semoga hari kalian menyenangkan🌻💛

COASS COOPERATE 4.0 (Part of 2.0 and 3.0)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang