Beautiful Bucket, Beautiful Hopes

8.9K 1.6K 313
                                    

Minkyu nyaris tersentak kaget saat ia membuka pintu kamar rawat Wonjin dan menemukan dokter Minhyun sedang berdiri di sisi ranjang Wonjin, tampak mengobrol dengan pacarnya. Ia lantas segera menyembunyikan sesuatu yang ia bawa di balik punggungnya dan melangkah mengendap setelah ia menutup pintu perlahan, bermaksud tidak menganggu apa yang sedang dibicarakan dokter Minhyun dengan Wonjin, karena kelihatannya, Wonjin senang mendengarkan cerita dokter itu.

Ia baru saja akan menyapa setelah merasa dirinya cukup dekat, namun dokter Minhyun lebih dulu berbalik dan menatapnya, kemudian mengulas senyum untuknya. "Pagi, Kyu," sapanya.

Mau tidak mau, Minkyu mengunggingkan seulas senyum kikuk dan membungkuk beberapa derat. Ia masih menggenggam sesuatu di balik punggungnya erat-erat. Semoga saja dokter Minhyun tidak melihatnya. "Selamat pagi, dok."

"Maaf ya kalau saya ganggu waktu kamu mau membesuk Wonjin. Saya cuma mampir sebentar karena kebetulan istri saya masaknya kebanyakan hari ini, jadi saya bawain aja buat Wonjin. Kebetulan juga, istri saya masaknya makanan yang boleh dan baik buat perkembangannya Wonjin. Sekalian ngantar Jinyoung ke tempat renang, saya langsung ke rumah sakit. Mumpung makanannya masih hangat." Dokter Minhyun menjelaskan.

Di nakas samping ranjang Wonjin, ada 3 kotak makan dengan warna-warna yang berbeda. Walaupun wadahnya tertutup, ia bisa mencium aroma lezat dan hangat yang menguar dari sana. Aromanya benar-benar menggugah selera makan, tapi juga masih berada dalam tataran jenis sarapan sehat yang tidak hanya lezat di lidah, tapi juga ramah bagi kesehatan. Sebenarnya kalau dipikir-pikir, Wonjin tidak begitu suka dengan makanan yang ramah bagi kesehatan karena rasanya pasti  agak menyebalkan. Tapi melihat sepasang mata Wonjin yang berbinar, sepertinya anak itu senang mendapat makanan yang dibawakan dokter Minhyun.

Minkyu mengangguk beberapa kali, menggumamkan kalimat terima kasih di sela-sela anggukannya. Di hadapannya, dokter Minkyu hanya mengulas senyum hingga matanya yang sipit - mirip putri sulungnya - menjadi satu garis lurus. Dokter konsultan bedah onkologi itu kembali menatap Wonjin, mengulurkan satu tangannya dan mengusap lembut puncak kepala Wonjin beberapa kali.

"Saya pamit dulu ya? Nanti sore kalau ada waktu, saya ke sini lagi. Sekalian ambil kotak makannya. Kamu makan yang banyak, istirahat yang cukup. Kalau ada keluhan, langsung panggil perawat. Jangan banyak berpikiran negatif, nanti malah nambah beban pikiran kamu dan berefek ke perkembangan fisik kamu. Kalau bosan, nyalain aja televisinya. Tonton apapun yang kamu mau. Rileks, banyak orang yang sayang kamu."

Sesaat kemudian, dokter Minhyun berpamitan pada Minkyu, lalu keluar dari ruang rawat Wonjin, meninggalkan Minkyu benar-benar hanya berdua dengan Minkyu. Dan beberapa kotak makanan yang baru saja diantarkan dokter Minhyun. Ia beberapa kali melirik ke pintu setelah kepergian dokter Minhyun, kemudian mengalihkan pandangannya pada sosok Wonjin yang duduk bersandar di ranjang sambil menatap ke luar jendela kamarnya yang terbuka dan menunjukkan suasana pagi yang menyegarkan di awal tahun.

Minkyu mendekat perlahan, masih setia menggenggam sesuatu di balik bahunya erat-erat. Tadinya ia antusias, tapi setelah bertemu langsung dengan Wonjin, ia sedikit ragu untuk mengatakan dan memberikan apa yang ada di balik punggungnya. Tanpa sadar, ia menggigit bibir bawahnya perlahan dan menahan napasnya untuk sesuatu yang tidak begitu ia mengerti.

Wonjin menoleh perlahan ke arah Minkyu, mengulas senyum saat melihat pacarnya tampak segugup saat harus sidang skripsi, kemudian berdeham pelan. "Kamu kenapa, Kyu? Sini deketan. Jangan kayak orang baru kenal gitu dong," katanya.

Minkyu mengulas senyum gugup, membawa dirinya mendekati ranjang Wonjin yang diatur sedikit lebih tinggi untuk membuat pacar mungilnya itu bisa melihat keluar jendela lebih leluasa. "Tahun baruan kamu gimana?" tanyanya.

"Tahun baruanku gimana? Euhm... tahun baruan pertamaku di rumah sakit?" Wonjin mengangkat sebelah alisnya. Ia meremat selimut yang menutup sebagian kakinya, kemudian menatap kembali ke luar jendela. "Bukan sebagai koass sih, tapi sebagai pasien. Kamu juga tahun baruan di rumah sakit, tapi kamu koass. Aku pasien. Dan rasanya masih seperti pasien, Kyu. Nggak bebas dan rasanya lebih sepi," lanjutnya.

COASS COOPERATE 4.0 (Part of 2.0 and 3.0)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang