This Pain is Just Too Real

10.6K 1.8K 350
                                    

Warning: This chapter contains content about the effects of violence on children, suicidal thought and behavior, mental health issues, poor self-control, toxic family, and other content that might cause uncomfortable feelings. It's forbidden to link the profession with characterizations. If you feel uncomfortable, please skip. Take care of yourself.

🌹Read at your own risk🌹

Junho kelihangan akal sehatnya, lebih daripada malam-malam buruk sebelumnya. Ia tidak bisa berpikir jernih. Setelah memaki-maki Seungyoun, dadanya justru terasa semakin sesak. Untungnya, ia masih bisa bernapas dan mengangkat kakinya untuk sekedar menyusuri jalanan yang semakin malam, semakin gelap. Pikirannya nyaris penuh, seperti tertahan tanpa bisa dimuntahkan, kepalanya pening dan ia tidak mengerti pikiran mana yang harus menjadi satu-satunya pegangan untuknya agar tetap pada langkah yang benar. Ia kehilangan pikirannya.

Hidupnya berantakan, semuanya hancur dalam sekejap mata. Semua kekuatan dan dinding pertahanan yang dibangunnya hancur tidak berbentuk, tidak tersisa. Ia tidak bisa lagi berpegangan pada runtuhan dinding pertahannya sendiri. Ia hanya bisa berdiri di atas kedua kakinya, yang bahkan sudah gemetaran untuk menahan dirinya sendiri. Sejujurnya, ia ingin hidup tenang, sehari saja memiliki hidup yang benar-benar hidup, bukan hidup yang seperti sudah mati di dalam, tapi sepertinya ia tidak bisa.

Ditatapnya lurus-lurus pria berjambang gelap dengan seragam necis di depannya. Pikirannya kosong dan penuh di waktu bersamaan. Tangannya terangkat, menunjuk sembarangan. "Berikan aku apapun," katanya memerintah.

Pria itu menggeleng ragu. Ia menatap deretan botol di belakangnya, kemudian menggeleng makin tegas ketika melihat pemuda berantakan berparas arogan yang baru saja memerintahnya. "Tidak. Kamu sedang berantakan, Nak. Jangan pernah minum saat kamu sedang berantakan. Semuanya malah akan jadi makin berantakan. Pulang dan tidurlah."

Junho berdecih, senyum sarkasnya timbul. Seringainya terlihat licik. "Aku bukan anak kemarin sore yang bisa kamu larang untuk minum. Usiaku hampir 23 tahun. Biarkan aku minum."

Namun pria itu dengan tegas tetap menggeleng. Ia menolak. Tatapannya tajam, menatap lurus ke dalam netra coklat penuh gurat emosi Junho. "Aku tidak tau kamu siapa, Nak. Beberapa orang pergi ke kelab ini untuk melepas penat, kurasa kamu salah satunya. Tapi untukmu, aku tidak akan memberi minuman apapun. Pulanglah, selesaikan masalahmu. Jangan melarikan diri dan berusaha membuat dirimu mati rasa. Aku tau, kamu kesakitan."

Sepasang mata Junho memincing tajam. Raut arogan di wajahnya kian mengeras, membuatnya sedikit banyak mirip dengan sang papa. Ia terkekeh, penuh ejekan di dalamnya. "Kalau saja semuanya bisa diselesaikan seperti menyelesaikan sengketa tanah, sudah kuselesaikan sejak kemarin-kemarin. Tapi nggak. Semuanya mungkin akan selesai kalau aku mati."

"Pulanglah, kamu masih terlalu muda untuk mabuk di sini. Usiamu bahkan tidak lebih dari 25 tahun. Pulanglah, jangan berharap aku akan memberimu minum. Kalau aku jadi ayahmu, aku tidak ingin putraku datang ke tempat seperti ini ketika dirinya berantakan, meski aku bekerja di sini."

Junho tertawa terbahak-bahak, entah bagian mana yang terdengar lucu. Ia hanya tertawa keras, menggebrak meja bar, dan membuat beberapa orang mabuk, setengah mabuk, dan belum mabuk memusatkan perhatian padanya. "Pak, anakmu beruntung. Tapi sayangnya, aku nggak seberuntung anakmu. Papaku nggak akan peduli. Bahkan aku overdosis obat pun, dia nggak akan peduli. Jadi, berikan aku minum dan aku nggak akan mengganggumu, pak."

Pria itu menyerah. Ia menghela napas berat, kemudian memunggungi Junho. Untuk sejenak, ia tidak bicara apapun. Tangannya meraih sebuah botol besar di salah satu raknya, meraih satu gelas berukuran kecil dan menuangkan sesuatu di sana. Di belakangnya, Junho tersenyum remeh. Ia selalu bisa membuat orang lain menyerah dan memberikan apapun yang ia inginkan. Setidaknya, minum malam ini bisa membuatnya lepas sejenak dari beban berat di kepalanya.

COASS COOPERATE 4.0 (Part of 2.0 and 3.0)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang