Alasan di Balik Sikap Dokter Seongwoo

11.2K 1.7K 469
                                    

Yoon Seobin, mau tidak mau harus duduk anteng di depan pacarnya yang sibuk menandai banyak hal di dalam buku tepat di depannya. Kalau dihitung-hitung, belum sejam ia sudah menghabiskan 3 kotak susu sendirian dan 3 bungkus roti dengan selai melon sendirian. Perutnya benar-benar kekenyangan dan rintangan paling besar untuknya jika sudah kekenyangan adalah ia mudah mengantuk dan mungkin saja bisa tidur di sembarang tempat, padahal pagi ini, ia harus visit, jaga poli, belum lagi jika mendadak ada CITO. Bisa gawat kalau ia masuk ke OK dengan muka bantal. Yang mulia dokter Ong Seongwoo pasti akan meledeknya habis-habisan setelah operasi selesai.

Ia menguap, kemudian kembali menggigit roti selainya serampangan dan tanpa sengaja membuat selainya meleleh ke sudut bibirnya. "Kak, nggak bosan apa baca buku terus? Aku yang lihat aja bosan, masa kamu yang berhadapan langsung gitu, nggak bosan?" tanyanya.

Midam mengangkat pandangannya perlahan. Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman yang tak kalah manis dengan selai melon dari roti yang digigit Seobin. Ia mengangkat satu tangannya dan menyeka selai di sudut bibir pacarnya lembut. "Perutmu awas meletus lho, Bin. Dari tadi kamu makan terus. Udah makan banyak roti, masih minum susu 2 kotak. Kalau perutmu meletus, aku nggak tanggungjawab ya."

"Emangnya perut bisa meletus?" Dahi Seobin berkerut. Benar, ia sudah kekenyangan, tapi seakan tidak mau berhenti mengunyah, ia terus memasukkan makanan apapun ke dalam mulutnya dan membuat rahangnya terus berolahraga (paksa).

Kekehan Midam terdengar begitu halus di telinga Seobin. Dianggukkannya pelan kepalanya, kemudian direbutnya bungkusa roti berselai melon dari tangan Seobin. "Iya, kalau kamu kebanyakan makan, nanti perutmu meletus. Sama kayak balon kalau diisi udara kebanyakan, bisa meletus. Kamu udah minum 2 kotak susu, ditambah 3 bungkus roti, sebentar lagi jadi 4. Nanti kalau meletus, kamu mau cari perut cadangan ke mana?"

"Kamu bercanda ya? Mana pernah aku lihat perut meletus. Tapi, kak..." Seobin tanpa permisi malah menutup semua buku-buku Midam dan menyingkirkannya dari hadapannya. Perutnya sudah kekenyangan, ia tidak ingin kepalanya pusing melihat buku dengan tulisan sepadat ini. "Nggak bosen apa baca begini terus? Aku dari tadi duduk di sini, dianggurin. Apa perlu aku jadi buku orthopedi dulu biar dapat perhatian dari kamu? Padahal kita satu PPDS, tapi kita beneran jarang ketemu. Kadang kamu yang di OK, aku yang di poli. Kadang aku di poli, kamunya di OK. Kadang aku jaga malam, kamu datang dadakan buat CITO."

"Enggak pernah bosan tuh. Mungkin kamu harus jadi buku orthopedi dulu kalau mau dapat perhatian dari aku." Midam mengerling menggoda. Ia terkekeh sejenak begitu mendapati Seobin tampak menekuk wajah masamnya.

"Lagian kamu betah banget sih sama PPDS ini. Nggak pernah kepikiran buat resign aja apa? Ganti PPDS lain gitu yang lebih ringan. Aku aja baru 4 semester, udah gatel banget antara pengen resign atau pengen cepet selesai. Apalagi kalau udah berhadapan sama dokter Seongwoo, bawaannya pengen resign aja dari PPDS ini." Seobin bersungut-sungut sebal. Tadinya saat makan, ia merasakan perpaduan antara good mood karena perutnya yang terisi dan bad mood karena Midam terus berkutat dengan buku-bukunya. Tapi ketika ia menyebut nama dokter Seongwoo, ia mendadak sangat, sangat, sangat, sangat, dan teramat bad mood.

Midam tersenyum lembut. Diraihnya satu tangan Seobin yang berada di atas meja dan digenggamnya penuh kehati-hatian. "Bin, nggak ada PPDS yang ringan. Semua PPDS punya rintangannya sendiri-sendiri. Kadang kita ngelihat PPDS lain lebih ringan karena kita nggak melihat kerja dan proses belajar mereka. Sebaliknya, mereka juga menganggap kita PPDS ringan karena nggak melihat kerja dan proses belajar kita. Kalau kita terus membandingkan PPDS kita dengan PPDS lain, itu nggak akan pernah bikin kita berkembang dan lebih mau belajar. Lagian kenapa sih kamu tuh selalu aja ada bahan bertengkar sama dokter Seongwoo?"

Seobin mendadak dramatis. Ia meraung-raung tidak jelas, menumpukan dagunya di atas meja dan menatap Midam seolah pacarnya itu adalah seorang dewi yang turun dari khayangan untuk menolongnya. "Dia yang mulai, aku nggak pernah mulai. Lapkasku pernah diejek mirip tulisan anak preklinik, aku pernah dituduh copas lapkas dari koass, pernah dikatain kalau jatuh dari gedung nggak akan gegar otak karena nggak punya otak, sering dikata-katain, malah sering dikatain tanuki dalam ceret. Iya aku tau kalau belakangan ini aku gemukan karena berat badanku naik 4 kilo, tapi sebelah mananya sih aku mirip tanuki dalam ceret?"

COASS COOPERATE 4.0 (Part of 2.0 and 3.0)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang