Hold You In My Arms

9.3K 2K 405
                                    

"Papa, papa, peringkat Eunsang turun..."

"Terus kalau turun, kenapa? Eunsang udah berusaha kan?"

"Papa nggak marah?"

"Buat apa, sayang? Kamu udah berusaha. Papa lebih menghargai usaha kamu, jadi papa nggak akan marah. Ayo senyum dulu manisnya papa."

"Papa..."

Eunsang membuka matanya perlahan. Matanya terasa begitu panas, sementara kepalanya terasa seperti berputar. Ada beban berat yang menyakitkan di dalam dadanya, terasa begitu sesak dan nyaris membuatnya tidak bisa bernapas, sehingga ia harus memasakannya. Rasanya begitu menyakitkan pada tiap tarikan napas yang ia ambil. Bahkan untuk melepaskan napasnya, beban berat di dalam dadanya terasa semakin mengembang dan kian terasa berat menekan dadanya. Matanya semakin memanas, hingga beberapa bulir air mata kembali menuruni pipinya.

Dalam ingatannya, semalam ia berada di rumah sakit, jatuh lemas begitu saja entah dalam topangan siapa ia tidak ingat sesaat setelah ia menerima kenyataan bahwa papanya meninggal. Tapi begitu ia memaksakan matanya untuk terbuka meski belum sepenuhnya menyesuaikan dengan cahaya dan terasa teramat panas dengan air mata yang terus meleleh turun membasahi kedua pipinya, tempat yang dilihatnya adalah kamarnya di rumah. Bukan rumah sakit atau sejenisnya. Meskipun kepalanya pusing dan kesadarannya belum pulih benar, ia benar-benar menyadari kalau ruangan tempat ia berbaring saat ini adalah kamarnya, di rumah.

"Ssa..."

Pintu kamarnya perlahan terbuka dan Eunsang bisa melihat kakaknya dengan wajah sendu dan sembab masuk ke kamarnya dengan setelah hitam yang membuat dadanya kian terasa berat. Ia memaksakan diri untuk duduk, membuat kain kompres di dahinya terjatuh ke sisi ranjangnya. Ia menatap kakaknya lamat-lamat, terlalu takut untuk menebak, tapi juga terlalu takut untuk membuat dirinya seolah-olah tidak berani menerima kebenaran yang seharusnya telah ia terima sejak semalam. Jadi, ketika kakaknya tersenyum pahit ke arahnya, Eunsang memandangnya dengan nyaris menahan napasnya.

"Kakak mau ke mana?" tanyanya. Suaranya terdengar serak dan tercekat di tenggorokannya. Kepalanya berdenyut sakit tiap kali ia mengatakan sepatah kata dengan suara begitu lirih.

Midam tersenyum padanya, mengusap puncak kepalanya lembut beberapa kali. "Kamu masih demam, Sang. Suhu badanmu masih tinggi," jawabnya, mengalihkan topik pembicaraan.

Eunsang menggeleng. Bukan jawaban itu yang ia inginkan dari bibir kakaknya. "Semalam Eunsang mimpi buruk, kak. Bukan tentang mama, tapi tentang papa. Eunsang mimpi kalau papa... meninggal."

Midam memilih bungkam. Tidak menjawab. Namun kentara benar bahwa senyum pahit di bibirnya perlahan memudar begitu penuturan Eunsang mencapai final.

"Eunsang mimpi papa pergi, kak. Pergi buat nggak pernah kembali lagi. Pergi cuma buat ninggalin Eunsang berdua sama kakak. Eunsang mimpi kalau papa meninggal, kak." Eunsang kembali bersuara. Di ujung kalimatnya, suaranya nyaris tidak terdengar saking tercekatnya. Air matanya kian deras membasahi kedua pipinya dan semakin deras ketika Midam meraih tubuh hangatnya, kemudian mendekapnya begitu erat. "Kak, itu semua cuma mimpi kan? Mimpi Eunsang itu beneran cuma mimpi kan? Papa nggak beneran meninggal kayak di mimpinya Eunsang kan? Kakak, jawab..."

Midam, tentu saja tidak sanggup menjawab. Ia jelas menyadari bahwa adiknya benar-benar masih bisa membedakan mana mimpi dan mana kenyataan, hanya adiknya benar-benar terpukul dengan kepergian papa mereka. Bahkan jika dibandingkan kesedihannya, Eunsang mungkin saja jauh lebih bersedih. Ia terpukul dengan kenyataan yang menyakitkan.

Eunsang mengangkat kepalanya dari bahu sang kakak, menatap jauh ke dalam mata kakaknya dengan matanya yang berlinang air mata. "Kakak habis ini mau nyuapin papa kan? Terus nganter papa ke rumah sakit buat check up seperti biasanya kan?"

Midam menggeleng. Ia kembali menyandarkan kepala Eunsang di bahunya, membiarkan adiknya terisak dan terus berdenial hingga bisa menerima kenyataan di sana. Ia tidak bisa memaksa Eunsang untuk menerima kenyataan pahit itu sekarang. Ia tahu, adiknya butuh waktu untuk menerima kepergian papa mereka.

"Kakak, jawab Eunsang. Semua mimpi Eunsang tadi beneran cuma mimpi kan?"

Kali ini Midam menangkup kedua sisi wajah Eunsang dengan kedua tangannya. Ia membelai lembut kedua pipi basah Eunsang dan menyeka air mata adiknya perlahan. Ia menggeleng. "Papa udah nggak ada, Sang. Papa udah pergi, ke tempat yang lebih daripada rumah kita, ke tempat yang sama dengan almarhumah mama..."

Eunsang menggeleng. Air matanya meluncur kian deras, bibirnya terus mengucap kalimat penolakan bahwa papanya benar sudah tiada. Ia menolak kenyataan bahwa papanya telah meninggalkannya, seperti yang ia yakini sebelumnya sebagai mimpi. Bahkan jika mimpi itu lebih terasa baik baginya, Eunsang tidak ingin bangun dan membuka mata, sehingga ia harus menyadari bahwa benar orang tersayangnya sudah tiada.

Dan Midam tidak bisa melakukan banyak hal ketika adiknya menangis kian histeris. Ia tahu, adiknya terpukul. Sejatinya, mereka berdua sama-sama sedih. Tidak ada anak yang tidak bersedih dengan kepergian orangtua yang begitu mereka cintai. Maka ketika Eunsang menangis, ia hanya bisa memeluk adiknya, memberi sinyal bahwa ia masih di sana untuk menemani Eunsang dan Eunsang pun masih di sana untuk menemaninya. Mereka masih saling memiliki, tidak ada yang berubah.

Eunsang memejamkan matanya, membiarkan bulir air mata kembali lolos dari kelopak matanya. Dadanya terasa semakin sakit, napasnya mulai terasa berat. "Eunsang belum sempat bikin papa bangga, kak..." lirihnya.

Midam menggeleng. Air mata yang semula berusaha keras ia tahan, akhirnya ikut turun. Ia mengeratkan pelukannya di tubuh Eunsang yang bergetar dan mengusap lembut punggung adik kecilnya. "Papa selalu bangga sama kamu, Sang," balasnya.

Gelengen samar Eunsang berikan sebagai argumentasi pertamanya. Bibirnya masih meloloskan isakan-isakan menyakitkan yang membuat 2 orang yang tampak sedang mengintip di balik pintu - Jinhyuk dan Eunwoo - malah ikut berusaha keras menahan air mata mereka.

"Eunsang belum bisa ngasih yang terbaik buat papa, kak. Eunsang belum bisa bikin papa bahagia. Tapi papa harus pergi lebih dulu..."

"Kehadiranmu sejak awal lebih memberi kami kebahagiaan, Sang. Kelahiranmu adalah kebahagiaan buat papa. Kenapa kamu diberi nama Eunsang? Karena Eunsang berarti pengorbanan dan kesembuhan. Mama berkorban untuk melahirkan kamu dan kelahiranmu menyembuhkan luka-luka kami yang sebelumnya berduka. Kamu adalah kebahagiaan sejak kamu dilahirkan, Sang."

Tangisan Eunsang kian terdengar menyakitkan. Meski Midam berusaha meyakinkannya, Eunsang tetap tidak bisa menerima segalanya dengan mudah. Kesedihan atas kepergian papanya tetap terasa lebih besar dan menyakitkan baginya. Bahkan ketika Midam bertanya apakah Eunsang ingin ikut ke pemakaman papa mereka dan mengantar papanya ke peristirahatan terakhirnya untuk terakhir kalinya, sambil menangis, Eunsang menggeleng.

Ia menyatakan bahwa ia tidak ingin ikut ke pemakaman papanya, juga tidak akan ikut mengantar papanya ke peristirahatan terakhir untuk terakhir kalinya. Bukan karena ia tidak menyayangi papanya. Lebih daripada itu, ia tidak sanggup melihat jasad papanya dikebumikan.

"Kakak, tolong bilang sama papa. Eunsang sayang papa..."

Rencana jahat apa lagi yang enaknya direveal ya?😈🌹💙

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rencana jahat apa lagi yang enaknya direveal ya?😈🌹💙

Ini kok lama-lama jadi kayak sindikat kejahatan aja pakai rencana jahat? Rencana jahat mencuri resep Krabby Patty kesukaan pak sutradara Yunseong...😈🌹💙

COASS COOPERATE 4.0 (Part of 2.0 and 3.0)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang