The Fourth Diagnosis - Panic Disorder

10.1K 1.7K 175
                                    

Warning: This chapter contains content about the effects of violence on children, suicidal thought and behavior, mental health issues, poor self-control, toxic family, and other content that might cause uncomfortable feelings. It's forbidden to link the profession with characterizations. If you feel uncomfortable, please skip. Take care of yourself.

🌹Read at your own risk🌹

"Dokter Chaeyeon, boleh minta waktunya sebentar?"

Lee Chaeyeon mengangkat pandangannya dan sontak meletakkan kembali cangkir teh hangatnya. Seulas senyum hangat perlahan timbul di wajah psikiater cantik itu. "Kenapa? Kok tumben pagi-pagi begini sudah menghadap saya, dek," tanyanya.

Eunsang mengangguk ragu sambil mendudukkan diri di hadapan Chaeyeon perlahan. "Beberapa waktu lalu, koass atas nama Lee Jinwoo tidak sengaja menemukan satu blister Alganax di depan ruang koass, tapi tidak tahu siapa pemilik Alganax itu. Setahu saya, Alganax dengan kandungan alprazolam adalah kategori obat resep yang hanya boleh dibeli dan dikonsumsi berdasarkan resep," jelasnya.

"Jadi, kamu mencurigai kalau ada salah satu di antara kalian yang mengkonsumsi Alganax secara bebas tanpa resep dari dokter? Atau justru kamu malah mencurigai ada orang terdekatmu yang mengkonsumsi Alganax secara bebas?" Chaeyeon menyingkirkan cangkir tehnya ke samping dan menumpukan kedua tangannya di atas meja, sementara tatapannya masih terasa begitu tenang ketika menatap lurus ke dalam mata Eunsang.

Dengan penuh keraguan, Eunsang mengangguk samar. Ia menelan ludahnya susah payah. "Dari duabelas orang di antara kami, termasuk keempat adik tingkat saya, orang yang memiliki riwayat mengkonsumsi obat dari psikiater hanya Junho. Tapi kalau saya ingat, Junho tidak memiliki Alganax dalam daftar obatnya. Apa mungkin Alganax itu memang milik Junho dengan resep resmi dari dokter sebagai psikiater yang menangani dia atau justru bukan milik Junho dan dibeli secara sembarangan dari oknum-oknum tidak bertanggungjawab? Mengingat kalau alprazolam adalah jenis benzodiazepin yang banyak disalahgunakan, dok. Daripada saya menduga-duga dan menuduh tanpa bukti, ada baiknya ka—"

"Alganax itu milik Junho." Chaeyeon menyela cepat. Ia menumpukan dagunya di atas kedua tangan selama beberapa saat, kemudian kembali duduk dengan kedua tangan terlipat di atas meja. "Saya yang meresepkan Alganax itu untuk gangguan paniknya dan sebenarnya Junho sudah mengkonsumsi Alganax lumayan lama."

Napas Eunsang tercekat seketika. "Gangguan panik?"

Chaeyeon mengangguk. "Gangguan panik itu masih tergolong dalam gangguan kecemasan yang ditandai dengan terjadinya serangan panik secara tiba-tiba, bisa di mana saja, kapan saja, dan berulang-ulang. Panik dan cemas sebenarnya adalah kondisi alami yang kita rasakan kalau kita sedang dalam posisi stress atau banyak tekanan, baik karena tuntutan pekerjaan, pendidikan yang keras, ataupun tekanan lain. Tapi pada penderita gangguan panik perasaan cemas, panik, dan stress terjadi bersamaan tanpa mengenal waktu dan situasi sekitar, juga terjadinya berulang-ulang. Sebenarnya gangguan panik itu lebih banyak dialami perempuan, tapi laki-laki juga tidak menutup kemungkinan bisa memiliki gangguan panik."

"Tapi Junho tidak pernah cerita kalau dia memiliki gangguan panik. Selama ini saat dia terkena serangan panik, saya kira itu hanya karena dipicu oleh gangguan stress pasca traumanya. Saya sama sekali tidak tau kalau Junho juga memiliki gangguan panik."

Chaeyeon menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Junho sendiri punya beberapa faktor pemicu yang akhirnya menjadikan dia memiliki gangguan panik. Pertama, dia sering stress karena terlalu banyak tekanan dalam hidupnya yang tidak bisa dia atasi. Kedua, dia memiliki kejadian traumatis. Ketiga, dia memiliki riwayat kekerasan fisik. Dia memang sering mengalami serangan panik, tapi dia sudah mengalami lebih dari 3 kali serangan panik dan terus merasa takut kalau serangan panik itu terjadi lagi. Dan ketika saya harus meresepkan alprazolam untuk Junho, saya sudah memutuskan kalau pengobatan dengan alprazolam itu tidak akan saya berikan dalam jangka waktu panjang dan Junho harus benar-benar ketat dalam pengawasan saya karena saya tidak hanya berhadapan dengan gangguan paniknya. Bipolar, PTSD, dan gangguan depresi mayornya juga harus ditangani secara tepat. Saya tidak bisa hanya berfokus pada gangguan paniknya, sementara urusan 3 lainnya belum selesai."

"Jadi, Alganax itu bukan pengobatan jangka panjang untuk gangguan paniknya? Hanya jangka pendek?" Eunsang bertanya lagi. Ia tidak tahu harus bertanya apa lagi. Kepalanya mendadak blank seperti tidak diisi. Terlalu shock dengan pernyataan dokter Chaeyeon sebelumnya.

Chaeyeon mengangguk lagi. "Saya membatasi pengonsumsian alprazolam untuk Junho dan memutuskan untuk tidak melakukan psikofarmakoterapi jangka panjang dengan alprazolam, baik dengan Alganax ataupun Xanax. Ada masalah lain yang mengintai kalau Junho diberikan alprazolam untuk jangka panjang, yaitu ketergantungan dan penyalahgunaan. Maka dari itu ketika saya mendiagnosa Junho dengan gangguan panik dan meresepkan alprazolam sebagai salah satu obatnya, saya memutuskan kalau anak ini juga harus mendapatkan terapi untuk mengatasi gangguan paniknya, juga pengawasan ketat untuk penggunaan alprazolamnya. Malah saya berpikir untuk merehabilitasi Junho sekali lagi."

Kali ini napas Eunsang benar-benar tercekat. Ia menelan ludahnya susah payah. Kedua tangannya mengepal perlahan. "Rehabilitasi lagi?"

"Junho sama sekali belum membaik, Eunsang. Mungkin di mata sebagian orang, Junho terlihat membaik, tapi berdasarkan apa yang saya lihat, apa yang terapisnya lihat, dan apa yang psikolog lihat, Junho belum membaik. Salah satu tanda paling mudah dilihat kalau Junho belum membaik adalah dosis obatnya yang belum bisa diturunkan. Seharusnya pada check up terakhir, saya bisa menurunkan dosisnya. Tapi ternyata dia justru punya keluhan-keluhan baru dan dengan berat hati, saya harus memeriksa dan mendiagnosanya dengan gangguan panik. Karena gangguan paniknya, dia sering merasa kalau semua orang akan pergi meninggalkan dia, sering merasa kalau dia memiliki penyakit kronis di jantung meskipun sebenarnya tidak, dan sering merasa berada di ambang kematian. Dia sering merasa panik dan ketakutan, bahkan kalaupun ketakutan itu sama sekali tidak nyata. Dia juga tidak bisa berada di situasi yang terlalu ramai dengan orang yang saling berteriak atau bertengkar karena dia merasa kalau dialah yang menjadi sumber pertengkaran itu. Dia panik bukan main, tapi dia juga merasa kalau dialah penyebabnya."

"Junho selama ini tidak pernah cerita kalau dia merasakan hal seperti itu. Kadang kalau saya peluk, dia langsung nangis. Tapi saya juga tidak tahu kalau sampai sejauh itu, dok."

Chaeyeon menepuk bahu Eunsang perlahan. "Tentang kamu, ada satu pertanyaan yang pernah dia tanyakan ke terapis dan psikolognya," katanya.

Eunsang mengerjap beberapa kali. "Pertanyaan tentang saya?"

Chaeyeon mengangguk. "Kalau seandainya kalian tidak pernah bertemu, mungkinkah kamu bisa hidup bahagia tanpa harus merasa khawatir kepada dia yang bahkan tidak pantas dikhawatirkan? Dia selalu berpikir kalau kamu mungkin akan pergi karena tidak tahan dengan dia. Kadang dia berpikir kalau hal itu mungkin yang terbaik untuk kamu, tapi seringnya dia yang sama sekali tidak mau ditinggal kamu. Dia tenggelam dalam pikiran, kecemasan, dan kepanikannya sendiri."

"Tapi saya sama sekali tidak pernah berpikiran buat meninggalkan Junho, dok. Saya tau, dia butuh saya dan sebenarnya saya selalu siap mendengar semua ceritanya."

"Junho bilang, dia pernah mimpi buruk dan gangguan paniknya berulah lagi. Tapi dia bilang, dia tidak takut dengan mimpi buruk karena bagaimanapun, realita dalam hidupnya sudah lebih buruk dan lebih menyeramkan. Dia juga pernah bertanya ke psikolognya, kenapa dia dilahirkan di bulan juli kalau mamanya hamil dirinya di bulan desember? Dia juga pernah bertanya, apa sampai dia mati, dia nggak akan mendapat pelukan dari papanya? Dia selalu bertanya banyak hal, tapi pertanyaannya justru membuat kami khawatir."

Eunsang memandang lurus ke depan. "Dokter Young Ae tau kalau Junho memiliki gangguan panik?" tanyanya lirih.

Untuk kesekian kalinya, Chaeyeon mengangguk. "Dokter Young Ae tau, tapi Eunwoo tidak tau apapun. Kami pernah membicarakan tentang rencana psikoterapi dan psikofarmakoterapi untuk Junho, juga tentang kekhawatiran saya bahwa Junho mungkin tidak bisa melanjutkan studinya."

Selamat pagi dan selamat hari sabtu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat pagi dan selamat hari sabtu. Kalian punya rencana apa hari ini?🌹

COASS COOPERATE 4.0 (Part of 2.0 and 3.0)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang