Lacrymosa

8.8K 1.8K 206
                                    

They took you away from me but now I'm taking you home
Mereka membawamu menjauh dariku tapi sekarang aku akan mengantarmu pulang

Junho tahu bahwa Eunsang sedang memikirkan sesuatu yang sengaja tidak dikatakan padanya. Ia bisa membaca gelagatnya lewat bagaimana cara Eunsang berkonsentrasi dan bagaimana cara Eunsang menanggapi setiap orang yang berbicara padanya. Anak itu hampir melamun di sepanjang ujian akhir stase dan hampir tidak pernah berkonsentrasi terhadap apa yang dikerjakannya. Bahkan ketika dokter-dokter penguji bicara padanya, Eunsang tidak lantas menjawab secepat biasanya, namun terpekur beberapa saat dalam lamunannya.

Juga ketika setelah ujian akhir stase mereka selesai, Dongpyo mengajak mereka nongkrong sebentar di Burger King, Eunsang menolaknya halus tanpa mengatakan alasan jelasnya. Sebenarnya nyaris seluruh dari mereka menolak dengan alasan masing-masing. Yohan yang akan segera [ulang ke apartemen dokter Yuvin, Minhee yang bilang akan menjaga mamanya di rumah, Minkyu yang akan langsung ke kamar rawat Wonjin, dan mungkin Eunsang satu-satunya yang tidak mengatakan alasannya dengan jelas. Anak itu hanya tersenyum, kemudian menggeleng dan pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun. Dan Junho bisa melihat ada ketegangan dalam setiap langkah yang diambil Eunsang, seperti ada kecemasan yang tidak bisa dikatakan, meski hanya sesaat.

Namun ketika Eunsang melangkah kian jauh mendekati ICCU, ia bisa memahami cepat apa yang terjadi. Ia bisa membaca situasi buruk yang membuat Eunsangnya lebih banyak diam dan melamun, juga membuat Eunsangnya yang periang menjadi lebih murung seperti terkepung mendung dalam dirinya. Tapi Eunsang tidak sampai benar-benar memasuki wilayah ICCU, anak itu membawa dirinya duduk di kursi panjang yang tersedia di lorong, kemudian menunduk dalam-dalam menatap ujung kedua sepatunya. Junho tahu, tidak semua orang diperbolehkan masuk ke ruang ICCU karena ruangan itu membutuhkan kestrerilan lebih tinggi dari pada ICU.

Ia membawa dirinya mendekati Eunsang. Langkahnya berderap nyaris mengendap, tapi Eunsang sepertinya tidak menyadari kehadirannya. Bahkan ketika ia mendudukkan diri di samping Eunsang, anak itu tetap memilih diam dan bungkam. "Kenapa kamu nggak cerita apapun?" tanyanya lirih.

Jarak beberapa sekon kemudian, Eunsang mengangkat kepalanya perlahan, pandangannya bertemu dengan pandangan Junho yang menatapnya dengan arti yang lebih rumit daripada situasi kali ini. "Pagi ini, Eunsang panik, jadi nggak sempat cerita apapun ke Juno," jawabnya.

Junho mengangguk mengerti. Ia menatap lurus ke depan, menerawang jauh pada sesuatu yang tidak mungkin tidak diketahuinya. Kedua tangannya terkepal perlahan. "Padahal aku berharap bisa sedikit mengurangi bebanmu kalau kamu punya beban pikiran. Kamu selalu jadi sandaranku kalau aku jatuh, tapi ternyata aku belum bisa jadi sandaranmu saat kamu butuh," katanya.

"Bukan begitu. Eunsang beneran panik sampai nggak bisa berpikir apapun, selain keadaan papa. Bahkan untuk ujian akhir stase tadi, Eunsang juga dimarahin dokter penguji karena banyak melamun karena sebenarnya Eunsang takut, Jun. Eunsang kepikiran papa."

"Sang, kamu percaya aku kan?" Junho menoleh, menatap Eunsang lekat-lekat. Helaan napasnya terasa lebih pelan dan berat. "Kamu percaya kalau aku juga bisa jadi sandaran kamu sewaktu kamu butuh tempat bersandar kan? Please, bilang kalau kamu percaya aku bisa jadi sandaran kamu saat kamu butuh tempat bersandar. Seenggaknya dengan kamu percaya, aku juga percaya kalau aku bukan hanya benalu yang merepotkan."

Eunsang terdiam, lalu meraih satu tangan Junho dan menggenggamnya lembut. "Dari dulu Juno kan udah selalu jadi sandaran buat Eunsang, juga buat yang lainnya. Jadi, buat apa Eunsang bilang lagi kalau Eunsang percaya sama Juno? Semua udah terjawab, Jun."

"Karena aku takut kalau kehadiranku hanya jadi benalu yang merepotkan, termasuk buat kamu selalu mau nerima aku apapun keadaanku. Selama ini, aku bergantung habis-habisan ke kamu, jadi beban yang mungkin bikin kamu lupa kebahagiaanmu sendiri. Tapi saat kamu sedih begini, aku merasa nggak berguna karena nggak bisa jadi sandaran kamu, nggak bisa kamu ajak berbagi kesedihan. Padahal aku mau. Aku mau kamu berbagi ke aku, walaupun cuma sedikit." Junho tanpa sadar meremat perlahan tangan Eunsang yang mengenggamnya. Rematannya mungkin saja pelan, tapi terasa agak bergetar dan penuh dengan kecemasan yang lain.

Eunsang mati-matian memaksa kedua sudut bibirnya terangkat ke atas, membentuk senyuman pahit yang justru membuat hatinya terasa makin sakit. Ia membawa kepalanya bersandar di bahu tegap Junho, kemudian menutup matanya perlahan. "Sekarang Juno percaya kalau Juno selalu jadi sandaran buat Eunsang?" tanyanya.

Junho hanya diam. Tidak mengangguk, tapi juga tidak menggeleng. Ia hanya benar-benar diam dan membawa kepalanya bersandar di atas kepala Eunsang, dan membiarkan tangan mereka saling berpegangan. Memegang harapan dan ketakutan, juga kecemasan mereka masing-masing.

"Sang..." panggilnya lirih.

Eunsang bergumam kecil. Matanya masih terpejam, kepalanya tetap berada di bahu Junho. Helaan napasnya yang tadi seberat helaan napas Junho, perlahan berubah menjadi lebih tenang dan rileks.

Junho memandangi tautan tangannya dengan Eunsang, lalu melirik ke arah Eunsang yang tengah memejamkan mata bersandar pada bahunya. Ia tidak bergerak sama sekali, takut menganggu kenyamanan yang baru saja Eunsang rasakan. "Aku pengen kenalan sama papa kamu, terus bilang terima kasih karena anaknya selalu jadi malaikat dalam hidupku," katanya.

Eunsang terkekeh. Matanya terbuka perlahan, menampilkan manik indah yang berpendar penuh kelembutan ketika menatap Junho. "Juno berlebihan banget. Eunsang bukan malaikat. Tapi kalau Juno pengen kenalan sama papa, nanti ya setelah papa lebih sehat dan sembuh," balasnya.

"Aku juga pengen ke makam almarhumah mama kamu. Paling nggak buat bilang terima kasih karena udah ngelahirin Lee Eunsang yang sabar banget."

Eunsang kembali tersenyum, kali ini ia tertawa ringan saat mendengar perkataan Junho. Baginya, terdengar begitu cheesy dan terkesan dilebih-lebihkan. Namun ketika ia baru saja akan membalas perkataan Junho, ponsel di dalam saku celana Junho berdering panjang. Bukan jenis dering lagu yang begitu berisik dan menganggu, hanya sebuah dering yang lirih, panjang, melenakan, dan kalau Eunsang boleh mengatakan, agak menyayat jika didengarkan sendirian.

"Itu dering telepon atau..."

"Alarm. Pengingat waktunya minum obat. Karena aku biasanya lupa, makanya aku kasih alarm. Baru kuganti tadi pagi sebelum ke rumah sakit. Kamu suka?" Junho menjawab cepat sebelum Eunsang selesai dengan pertanyaannya, kemudian segera mematikan alarmnya dan kembali menyimpan ponselnya ke dalam saku celananya.

Eunsang terdiam sejenak. Ia menandangi gerak-gerik Junho saat mematikan alarm dan menyimpan kembali ponselnya ke saku, kemudian tanpa sadar menggigit bibir bawahnya perlahan. "Itu... lacrymosa kan?" tanyanya lirih.

Junho tersenyum, lalu mengangguk.

"Punya Evanescence atau..."

Junho tetap tersenyum, rematan di tangan Eunsang dalam genggamannya kian mengerat. "Mozart," jawabnya.

Eunsang menahan napasnya beberapa saat, kemudian menggeleng dan memaksakan bibirnya untuk kembali mengulas senyum sesaat setelah ia menyadari bahwa senyuman di bibir Junho tidak kunjung memudar.

Eunsang menahan napasnya beberapa saat, kemudian menggeleng dan memaksakan bibirnya untuk kembali mengulas senyum sesaat setelah ia menyadari bahwa senyuman di bibir Junho tidak kunjung memudar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat siang dan semoga akhir pekan kalian menyenangkan. Jangan lupa makan siang ya...😈🌹💙

COASS COOPERATE 4.0 (Part of 2.0 and 3.0)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang