Junho Tidak Ikut?

9K 1.7K 209
                                    

Sepanjang sore menjelang malam ini, Wonjin menghabiskan waktunya untuk kangen-kangenan dengan bundanya. Barang sebentar saja, ia tidak mau lepas dari bundanya. Bahkan setelah menghabiskan makanannya, ia kembali berbicara panjang lebar dengan bundanya, menceritakan apapun yang ingin ia ceritakan sejak lama, menanyakan semua yang ingin ia tanyakan sejak dulu, dan bercanda tentang apapun yang membuat senyumnya terus mengembang tanpa mengenal pegal. Televisi atau bahkan ponsel yang menyala pun tidak memiliki eksistensi apapun bagi Wonjin. Ia sibuk bermanja pada bundanya. Bahkan ia menggeser sedikit tubuhnya agar bundanya bisa duduk seranjang dan dekat dengannya.

Seakan tidak keberatan, bunda Wonjin hanya tersenyum dan menuruti setiap permintaan putra sulungnya. Ia mendengarkan penuh antusias setiap cerita yang dikatakan Wonjin, meski terkadang alurnya memang tidak jelas, menjawab semua pertanyaan Wonjin dengan sabar, dan menanggapi candaan Wonjin sembari sesekali menatap seberapa bahagia putranya itu.

Wonjin sendiri tidak pernah merasa sesehat ini sebelumnya sejak pertama kali ia sakit. Meski mungkin ia belum sepenuhnya sehat dan bersih dari glioblastoma, setidaknya kehadiran bundanya di sini membuatnya merasa bahagia. Seperti yang dokter Yena selalu katakan, emosi positif yang ia rasakan juga turut mempengaruhi kesehatannya. Dan sekarang karena saking bahagianya, Wonjin bahkan merasa dirinya cukup sehat untuk berjalan sendiri ke kamar mandi dan bernyanyi keras-keras di sana.

Bahkan saking terlalu lamanya ia tersenyum, mungkin jika ada perawat masuk, mereka akan khawatir kalau Wonjin justru akan kelelahan karena terlalu lama tersenyum.

"Bunda, dulu sewaktu Wonjin masih preklinik dan pertama kali lihat kadaver, Wonjin nangis masa? Diketawain temen-temen. Katanya, masa gitu doang nangis? Padahal kan setiap orang punya perasaan takut berbeda-beda. Mereka nggak takut lihat kadaver, tapi Wonjin takut, makanya Wonjin nangis." Dan Wonjin kembali berceloteh.

Bundanya hanya tersenyum memaklumi. "Bukannya dari masih kecil dulu, Wonjin udah penakut? Kamu itu jangankan sama kadaver, sama badut aja kamu takut lho. Nggak ingat kamu waktu masih umur 4 tahun nangis-nangis tidurnya mau ditemenin bunda karena takut ada badut keluar dari kolong tempat tidur?"

Wonjin mencebik kesal. Bibirnya melengkung ke bawah, tampak dibuat sesedih mungkin. "Ih, mana ada? Kapan Wonjin pernah takut sama badut?" kilahnya.

"Beneran nggak takut badut sekarang?"

"Enggak ih!"

"Kalau bunda datangin badut ke sini gimana?"

Anak itu menoleh, kemudian menggeleng beberapa kali. "Lagian buat apa sih nonton badut? Badut itu badannya besar, mereka berat. Wajahnya juga serem banget. Apalagi badut yang kepalanya besar, terus ada jenggot... Enggak mau! Wonjin nggak mau ketemu badut!"

Namun ternyata, kelakuan jahil Wonjin selama ini diturunkan dari bundanya. Wanita itu mengerling jahil dan tersenyum miring pada putra sulungnya. "Kok nggak mau ketemu badut? Katanya, nggak takut badut. Kalau udah nggak takut, harusnya mau ketemu badut dong. Lagian badutnya juga nggak akan makan kamu soalnya kamu pasti susah kalau dimakan. Wonjin kan pemberani. Masa nggak berani ketemu badut?"

Wajah Wonjin kian mencebik kesal. Ia sudah berhenti tersenyum. Raut kekesalannya justru menjadi semakin dominan. Bahkan saking kesalnya, ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Bunda, dulu sewaktu ada mahasiswa baru, Wonjin pernah mau gabung sama BEM FK jadi volunteer buat bagian komisi disiplin. Tapi Wonjin malah ketawain sama Junho. Katanya, maba nggak bakalan takut sama komdis yang mukanya lucu kayak Wonjin. Padahal Wonjin pengen banget jadi volunteernya BEM FK, biar punya kenalan gitu," katanya mengalihkan topik.

Lagi-lagi, sang bunda masih tersenyum iseng. "Kenapa kok ngotot banget pengen jadi volunteernya BEM FK? Pengen nyari kenalan yang kayak gimana sih, Sayang? Nyari kenalan atau..."

COASS COOPERATE 4.0 (Part of 2.0 and 3.0)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang