Warning: This chapter contains content about the effects of violence on children, suicidal thought and behavior, mental health issues, poor self-control, toxic family, and other content that might cause uncomfortable feelings. It's forbidden to link the profession with characterizations. If you feel uncomfortable, please skip. Take care of yourself.
🍇Read at your own risk🍇
"Cha Myungsoo, bisa kita bicara sebentar? Berdua. Ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu sekarang. Saat ini juga."
Ong Seongwoo meraih bahu Myungsoo dan mencengkramnya, berusaha mencegah spesialis orthopedi itu untuk tidak beranjak meninggalkannya dulu. Ia lantas melepas masker yang menutupi sebagian wajahnya ketika Myungsoo berbalik menatapnya dengan sorot mata yang tidak dapat ia tebak maknanya. Sementara beberapa langkah di belakangnya, Midam dan Seobin masih berdiri dengan seragam lengkap mereka.
Myungsoo berdeham pelan. Ia melirik cengkraman Seongwoo pada bahunya lewat ekor matanya, tampak tidak berkenan. "Ada yang bisa saya bantu, dok? Ini sudah lewat tengah malam dan saya harap, dokter tidak membuat keributan di sini."
Namun Seongwoo seakan mengabaikan lirikan tajam Myungsoo, ia sama sekali tidak berniat melepas cengkramannya dari bahu lelaki itu. Bahkan alih-alih melepaskannya, ia justru mengeratkannya. Tatapannya menajam. "Apa yang kamu pikirkan tadi?" tanyanya tajam.
"Apa maksud dokter?" Myungsoo balas bertanya. Dahinya berkerut dalam, sorot ketidakmengertian tampak jelas di matanya.
Seongwoo mendengus geram. Ia lantas melepas cengkramannya dari bahu Myungsoo. "Apa yang kamu pikirkan sampai kamu berniat memasangkan intubasi endotrakeal untuk adikmu sendiri? Kamu tidak berpikir panjang?"
"Saya hanya berusaha menolongnya. Itu yang seharusnya saya lakukan."
"Intubasi endotrakeal tidak akan menolong adikmu, tapi hanya akan membahayakan nyawanya. Dengar, kita tidak bisa menggunakan intubasi endotrakeal jika pasien dalam keadaan cedera leher parah. Adikmu mengalaminya. Tidak bisakah kamu berpikir panjang?" Seongwoo mempertajam perkataannya, beberapa penekanan terdengar menyertainya.
Myungsoo tetaplah Myungsoo. Ia memandang Seongwoo lurus-lurus. Raut wajahnya tampak searogan biasanya. "Itu karena kalian terlalu lambat mengambil tindakan," kilahnya.
"Kita memang harus cepat dalam mengambil tindakan, tapi tidak dengan berupaya mencelakakan pasien. Kamu seharusnya tau kalau intubasi endotrakeal tidak bisa digunakan apabila pasien dalam keadaan cedera leher, kecuali niatmu memang mencelakakan adikmu sendiri. Kami berhati-hati, sebisa mungkin tidak bertindak sembrono."
Sejenak Myungsoo terdiam. Rahangnya mengeras, kedua tangannya terkepal, raut penuh arogansinya tampak semakin kentara. Ia tampak tersinggung. "Saya memang tidak menyukai adik saya, tapi saya tidak pernah berpikir mencelakakan dia di meja operasi, di hadapan dokter-dokter yang lebih senior daripada saya, juga di hadapan perawat-perawat yang masa tugasnya sudah lebih lama daripada saya. Jangan sembarangan menuduh."
"Dua residen di belakang saya, mereka bertindak penuh kehati-hatian dan sebisa mungkin tidak melakukan tindakan sembrono, meski mereka tau bahwa Junho harus segera mendapatkan tindakan medis. Bahkan dokter Sira sebagai satu-satunya ahli bedah saraf di sana tidak bertindak gegabah. Apa kamu tau? Tindakanmu sangat gegabah. Kamu cenderung tidak berpikir panjang dan sangat tergesa-gesa."
"Saya sudah bilang, jangan sembarangan menuduh. Saya tau bahwa saya bukan orang baik dan bukan kakak yang baik untuk Junho, tapi saya tidak akan mencelakakan dia secara sadar. Bagaimanapun juga, saya memiliki kewajiban terhadapnya sebagai pasien saya."
Keduanya beradu pandang cukup lama. Raut penuh gurat kepenatan Seongwoo beradu tajam dengan raut penuh gurat kearogansian Myungsoo. Keduanya saling memandang tanpa berkata apapun. Suasana di sekeliling mereka berubah sangat tidak nyaman. Sementara di belakang mereka, Midam dan Seobin terlalu ragu untuk melerai kedua dokter yang tengah bersitegang itu.
Seongwoo membuang napasnya kasar, pada akhirnya mengalah pada anak searogan Myungsoo. "Kalau kamu sudah bisa dengan sangat baik berpikir tentang kewajibanmu sebagai dokter terhadap adikmu sebagai pasienmu, kamu juga harus mulai berpikir tentang kewajibanmu sebagai seorang kakak dan hak-hak Junho sebagai adikmu. Bagaimanapun juga, dia adikmu. Dia bukan adik tiri atau adik angkatmu. Dia adik kandungmu, dari ayah dan ibu yang sama. Perlakukan dia sebagaimana seorang kakak seharusnya memperlakukan adiknya. Kamu juga pasti tidak ingin diperlakukan buruk jika kamu punya kakak kan?"
Myungsoo tertegun. Ia kehilangan seluruh argumennya. Ditatapnya perlahan Seongwoo, konsultan orthopedi itu tampak ratusan kali lebih serius daripada di dalam ruang operasi tadi.
"Jangan menjadi kakak ataupun manusia yang arogan. Orang arogan adalah orang yang merasa dirinya sudah matang, artinya dia akan membusuk sebentar lagi. Bahkan jika sekalipun kamu merasa sudah sangat matang dalam berpikir dan bertindak, tidak sepantasnya kamu berlaku seakan-akan semua yang kamu lakukan dan katakan adalah benar dan pantas ditiru."
Myungsoo tidak lagi berusaha mendebat. Ia hanya diam, kemudian membiarkan Seongwoo melewatinya dengan Midam dan Seobin yang mengekor di belakangnya.
............................. [[💌🕊]]
"Kami memindahkan Junho ke ICU. Pendarahan otaknya dapat kami hentikan, tapi tidak banyak hal yang bisa kami lakukan, meski kami sudah mengerahkan seluruh kemampuan terbaik kami. Dia koma dalam keadaan kritis, dengan GCS 3 yang ditandai dengan kehilangan kemampuan berpikir dan tidak merespon lingkungan sekitarnya. Karena kondisinya yang kritis, kami memindahkannya ke ICU untuk mendapatkan perawatan intensif dan pengawasan terus menerus. Baru setelah ia berhasil bangun dari komanya dan melewati masa kritisnya, berlanjut pada masa pemulihan, kami akan memindahkannya ke HCU."
Eunwoo merasakan tubuh mamanya melemas dalam dekapannya. Sampai beberapa menit sebelum Kang Sira masuk dengan wajah penat dan sisa-sisa ketegangan pada paras cantiknya masuk ke ruang istirahat, mamanya tidak berhenti menangis dan menjerit-jerit. Ia bahkan beberapa kali mendapati dokter Hyunbin berusaha menahan mamanya untuk tidak pergi dari ruang istirahat. Dan ia bisa mendengar bagaimana suara lembut mamanya berubah begitu serak saat terus menerus memanggil nama adiknya.
Mamanya terus berteriak memanggil nama Junho, meminta maaf entah untuk apa, dan kadang terdengar mulai memaki-maki papanya, juga kakaknya. Beberapa kali Eunwoo berusaha menenangkan mamanya, namun ternyata Lee Young Ae begitu sulit ditenangkan. Ia tahu, mamanya sangat terpukul, hingga tidak dapat mengendalikan gejolak emosi dalam dirinya. Ia paham karena sebagai residen pediatri, ia kerap kali berhadapan dengan para ibu yang begitu terpukul atas apa yang menimpa anak-anak yang begitu mereka cintai. Tidak terkecuali dengan perasaan mamanya.
Sira menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. Wanita yang juga merupakan kakak dari Kang Daniel itu tampak sebisa mungkin menahan sesuatu untuk tidak meluap keluar. "Meskipun kami berhasil menghentikan pendarahannya, mengatasi cedera leher, dan beberapa fraktur pada tubuhnya, kami tidak dapat memastikan apa yang akan terjadi ke depannya. Kami tidak bisa menebak apa yang mungkin akan terjadi besok atau bahkan lusa-lusa yang akan datang, tapi kami akan mengusahakan yang terbaik untuk Junho, meski kami juga tidak tau kapan Junho akan bangun."
Eunwoo mengeratkan pelukannya, mamanya kembali menangis keras sembari terus memanggil nama Junho. Hatinya hancur tidak berbentuk. Adiknya entah kapan akan bangun dari komanya, sementara mamanya tampak begitu terpukul. Padahal selama ini, ia tidak pernah melihat mamanya seterpukul ini. Ia biasa memandang mamanya sebagai wanita yang mandiri, tegas, dan tidak begitu mudah terbawa perasaan. Mungkin jika diingat, ini pertama kalinya ia melihat mamanya begitu terpukul, nyaris terpuruk, dan sangat emosional.
Sira mendekat, ia menepuk pelan bahu Young Ae yang terus menangis dalam dekapan Eunwoo. Ia tersenyum samar. "Young Ae, kamu punya anak-anak yang kuat dan tangguh, termasuk dengan Junho. Dia pasti sanggup bertahan dan akan segera bangun. Dia punya mama dan kakak yang menunggunya, juga punya teman-teman yang juga sekarang sedang bersedih. Junho adalah anak yang baik, dia dekat dengan beberapa konsulen, dan sebagian dari mereka menganggap Junho seperti anak lelaki mereka sendiri. Saat Junho sedang berjuang sekarang, tolong doakan Junho. Kami juga akan berusaha sebaik mungkin untuk Junho."
Namun seakan tidak melihat, juga tidak mendengar, tangis Young Ae justru semakin keras. Ia mencengkram kuat seragam Eunwoo hingga buku-buku jemarinya memutih. Kembali dipanggilnya nama Junho.
Sira tersenyum prihatin. Ia menatap Eunwoo yang berusaha menenangkan mamanya, padahal dirinya sendiri juga butuh ditenangkan. "Eunwoo, kami--"
Belum sempat Sira menyelesaikan perkataannya, pintu ruang istirahat terbuka. Myungsoo berdiri di ambang pintu hingga beberapa saat, menerima tatapan yang entah apa maknanya dari Sira dan Eunwoo. Ia diam sebentar, kemudian melangkah masuk perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara apapun, dan berusaha merengkuh mamanya yang masih menangis dalam pelukan Eunwoo sambil sesekali memanggil mamanya lirih. Namun rasanya keadaan tidak berpihak baik kepada Myungsoo.
Young Ae menoleh cepat, sorot matanya menajam dan roman wajahnya menunjukkan keangkuhan. "Pergi kamu!" bentaknya.
Tidak hanya Myungsoo, Sira dan Eunwoo merasakan keterkejutan yang sama atas apa yang baru saja terjadi. Lee Young Ae baru saja mengusir dan membentak keras putra sulungnya.
Selamat pagi dan selamat beraktivitas. Jangan lupa sarapan dan semoga aktivitas kalian lancar, juga berjalan baik🐮