Warning: This chapter contains content about the effects of violence on children, suicidal thought and behavior, mental health issues, poor self-control, toxic family, and other content that might cause uncomfortable feelings. It's forbidden to link the profession with characterizations. If you feel uncomfortable, please skip. Take care of yourself.
🌹Read at your own risk🌹
Lee Young Ae, wanita itu nasibnya malang sekali. Setelah 22 tahun lalu ia melahirkan putra bungsunya dalam keadaan prematur dan harus melawan takdir antara hidup dan mati di NICU, kini ia harus kembali dihadapkan pada kenyataan berat ketika nyawa putra bungsunya kembali berada pada ambang hidup dan mati, yang tidak bisa ia putuskan sesuai dengan kehendaknya.
Beberapa saat setelah ia menerima telepon yang mengabarkan kondisi buruk Junho, tubuhnya limbung. Departemen Ilmu Penyakit Dalam dihebohkan saat dokter konsultan itu mendadak pingsan. Hyunbin membopong wanita itu ke ruang istirahat. Butuh 15 menit sampai akhirnya wanita itu sadar dari pingsannya. Mulanya, ia hanya terdiam linglung, sampai ketika Eunwoo masuk dengan raut wajah tak terbaca maknanya, wanita itu mulai histeris.
Ia menangis sejadi-jadinya, menjerit begitu keras meneriakkan nama putra bungsunya. Beberapa kali Eunwoo tampak berusaha meredam tangis sang mama dengan mendekap wanita itu erat-erat, namun Young Ae terus menjerit histeris.
Ia kacau dalam sekejap. Hatinya sebagai seorang ibu hancur saat itu juga.
Eunwoo lebih banyak diam. Ia tidak kalah hancurnya dengan mamanya. Ketika mamanya terus menangis, ia ikut menangis bersama mamanya. Ia tidak bisa membayangkan nasib lebih buruk apa lagi yang bisa menimpa adiknya. Ia tidak bisa. Tidak akan pernah sanggup.
Young Ae meremat seragam jaga Eunwoo, air matanya tidak berhenti berlinang. Sesekali masih menyebut nama Junho dalam tangisnya. Ia mulai merutuk pada dirinya. "Harusnya tadi mama pulang. Kalau mama di rumah, Junho nggak akan nekad. Semua salah mama. Junho jadi begini karena mama..."
Eunwoo menggeleng. Please tell mom, it's not her fault. "Bukan salah mama. Junho begini bukan karena mama. Jangan berpikir inu semua karena kesalahan mama," katanya.
Young Ae menggeleng. Tangisnya terdengar pilu, ia menyebut nama Junho tanpa henti. "Mama nggak bisa jaga adikmu. Semua salah mama, Junho begini karena mama. Junho..."
Raungan Young Ae melemah. Ia masih menangis, namun isakannya perlahan menghilang. Bahunya bergetar pelan. Ia kembali kehilangan kesadarannya setelah mengucap nama Junho begitu pilu dengan suara seraknya.
.......................... [[💌🕊]]
Eunwoo duduk sendirian di lorong depan ruang istirahat di Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, tidak ingin siapapun melihatnya menangis. Hatinya hancur melihat mamanya begitu terpukul atas apa yang terjadi pada adiknya, dan hatinya yang hancur terasa ngilu begitu ia mengingat kembali betapa buruk keadaan adiknya.
Ia menggigit bibir bawahnya. Ia ingin berharap besar, tapi ia terlalu takut harapannya justru tidak berarti apa-apa. Ia hanya ingin adiknya selamat, dengan cara apapun. Ia belum sanggup kehilangan Junho. Atau bahkan tidak akan pernah sanggup, sekalipun hanya membayangkannya.
"Junho pasti bisa selamat. Dia anak yang kuat, Eunwoo. Ketabahannya mungkin berada pada titik di mana dia tidak bisa menahan segalanya lagi. Dia anak yang baik, tapi dunia memperlakukan dia sangat tidak baik. Dia bisa bertahan sejauh ini, dia juga pasti bisa bertahan kali ini."
Eunwoo mengangkat pandangannya. Dokter Dongho duduk di sampingnya. Raut wajahnya tampak tenang, netra tajamnya memandang lurus ke depan.
"Dulu, Sira pernah stress berat saat dia tidak bisa menghentikan pendarahan otak pasiennya yang mengalami kasus yang sama dengan Junho, hingga pasien itu meninggal. Tapi sepertinya sekarang, Sira sudah lebih banyak belajar. Di ruang operasi sana juga ada Myungsoo. Dia pasti berusaha keras menyelamatkan nyawa adiknya. Kalian saudara kandung, kan?"
Eunwoo mengangguk. Ia hanya bisa memercayai dokter Sira, juga dokter-dokter lain di sana. Tapi tidak dengan kakaknya. Bagaimana cara kakaknya memandang adik bungsu mereka, ia ragu Myungsoo akan berlaku sebagaimana seorang kakak ketika melihat adiknya sekarat di meja operasi.
Tapi bahkan jika dengan mengiba di bawah kaki Myungsoo dengan mempertaruhkan harga dirinya bisa menyelamatkan nyawa Junho, ia akan melakukannya. Ia akan membuang semua pikiran buruknya tentang sang kakak, jika itu bisa menyelamatkan nyawa adiknya.
Dongho menoleh. Ia tersenyum samar. Ditepuknya pelan bahu Eunwoo yang tampak begitu gelisah. "Myungsoo tidak punya alasan untuk lari dari tugasnya. Kalau dia tidak mau menyelamatkan Junho sebagai adiknya, dia harus menyelamatkan Junho sebagai pasiennya."
Eunwoo tertegun cukup lama. Hatinya yang sudah hancur kian terasa ngilu membayangkan Myungsoo dengan begitu arogannya masih tidak mengharapkan dan tidak sudi menolong adik mereka, adik yang lahir dari ibu yang sama.
"Kamu, saya, juga Myungsoo adalah dokter. Kita memiliki kode etik kewajiban terhadap pasien. Jika dia tidak mau melihat Junho sebagaik adiknya, dia harus melihat Junho sebagai pasiennya."
.......................... [[💌🕊]]
Tubuh Minhee limbung. Ia merosot jatuh ke lantai, bahkan ketika Yunseong telah berusaha menahannya untuk tidak jatuh. Pandangan matanya hampa, ada genangan air mata di pelupuknya, bibirnya mengucapkan nama Junho begitu lirih, sementara tubuhnya mulai gemetaran. Ia menoleh ke samping beberapa kali, kemudian memilih menunduk dalam-dalam. Air matanya menetes tanpa bisa ia cegah.
Sahabatnya sejak kecil, orang yang selalu berusaha menjaganya sejak mereka masih anak-anak, orang yang selalu mau berbagi apapun dengannya, sedang berada ambang hidup dan mati. Dari sekian banyak nasib buruk yang menimpa Junho, inilah yang terburuk. Ia mendengar bagaimana perawat-perawat mengatakan bahwa Junho mungkin saja nekad melompat dari ketinggian hingga menyebabkan cedera kepala berat dengan pendarahan otak dan retak tulang tengkorak, cedera leher parah, beberapa fraktur yang mungkin saja meremukkan tubuhnya, juga bagaimana tubuh Junho mengalami kejang. Minhee menunduk, hatinya terasa sakit.
"Minhee..." Yunseong meraih bahu Minhee, merangkulnya erat, dan membiarkan Minhee bersandar di bahunya. Tubuh dokter muda itu gemetaran hebat, antara karena menangis dan cemas. Yunseong tidak bisa mendeskripsikannya. Ia tahu, Junho berarti sangat besar bagi Minheenya.
Tangis Minhee pecah. Isakannya melengking. Ia memanggil nama Junho beberapa kali, berharap ia akan bangun dari mimpi buruknya jika seandainya segalanya hanyalah mimpi. Bahkan pelukan Junho malam itu yang masih terasa nyata untuknya seakan menjadi alasannya untuk berdenial bahwa segalanya hanyalah mimpi buruknya, hanya bunga tidur yang tidak akan pernah menjadi kenyataan.
"Minhee..."
Namun panggilan Yunseong detik itu menyadarkannya bahwa segalanya bukanlah mimpi. Semua yang terjadi pada Junho adalah nyata. Sahabat terbaiknya secara nyata berada di ambang hidup dan mati, yang tidak bisa ia putuskan berdasarkan apa yang ia kehendaki. Bahkan jikalau para dokter telah berusaha mengerahkan kemampuan terbaik mereka menyelamatkan Junho, segalanya tetap tidak dapat dikendalikan semudah itu.
"Hee, kalau seandainya gua mati hari ini atau besok, lo sedih nggak? Lo bakalan nangis nggak? Atau lo bakalan ngelupain gua beberapa bulan setelah kematian gua?"
Minhee menggeleng kuat-kuat. Dibenamkannya wajahnya di perpotongan bahu dan leher Yunseong. Ia menangis keras, air matanya membahasi seragam jaga Yunseong. Sementara Yunseong hanya bisa merangkulnya erat, mengusap punggungnya lembut, dan menemaninya.
Jangan pergi dulu, Jun. Gue mohon, jangan pergi dulu.
............................ [[💌🕊]]
Eunsang kehilangan keseimbangannya. Ponselnya jatuh berdebam ke lantai, bersamaan dengan tubuhnya yang merosot ke lantai. Bibirnya terbuka, namun tidak satu katapun keluar dari sana. Raut wajahnya dipenuhi keterkejutan yang menyakitkan, sementara di pelupuk matanya tampak genangan air mata yang begitu jelas.
Ia mencengkram dadanya. Sakit. Disebutnya nama Junho beberapa kali, hingga genangan air mata di pelupuk matanya tidak dapat ditahannya. Ia menangis keras sembari menggigiti bibir bawahnya, terus memanggil nama Junho meski napasnya terlalu sesak untuknya bernapas.
Juno udah capek ya? Juno udah nggak kuat bertahan?
Eunsang menangis kian keras. Beberapa kali ia menghantam dadanya sendiri, berharap rasa sakit dalam dadanya lenyap. Namun alih-alih lenyap seperti yang ia harapkan, rasa sakit itu kian menjadi-jadi, mencengkram jantungnya kuat sekali, membuatnya semakin susah bernapas, sementara tangisnya sama sekali tidak bisa berhenti.
Eunsang baru ditinggal papa, Eunsang nggak mau ditinggal Juno juga!
Beberapa menit lalu, Jinwoo meneleponnya dan mengatakan bahwa rumah sakit dalam situasi gawat. Seorang pasien masuk dengan pendarahan otak akibat terjatuh dari ketinggian dan segera masuk ke ruang operasi. Mulanya, Eunsang bersikap tenang. Namun begitu sepupunya menyebut nama Junho, ketenangannya runtuh. Hatinya bagai dipecah, seluruh logika dalam kepalanya lenyap entah ke mana.
Eunsang masih menangis. Ia mengubur wajahnya di pinggiran tempat tidur, masih memanggil nama Junho dalam isakannya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana tubuh dan wajah Junhonya bermandi darah. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana tubuh Junho mengalami kejang. Dan lebih lagi, ia tidak bisa membayangkan seandainya nyawa Junho tidak dapat diselamatkan.
Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya ke depan jika ia kehilangan Junho, tepat sesaat setelah ia kehilangan ayahnya.
.............................. [[💌🕊]]
Ruang operasi terasa lebih dingin. Ong Seongwoo berdiri berdampingan dengan Kang Sira. Wajah mereka meski terbalut masker, sama-sama menunjukkan ketegangan luar biasa. Di hadapan mereka, Cha Junho sedang mempertaruhkan hidupnya sendiri. Begitu menyakitkan.
Sira menoleh ke samping, sorot matanya tampak berusaha mengatakan sesuatu pada Seongwoo.
Kita harus menghentikan pendarahannya atau anak ini tidak akan selamat.
Seongwoo mengangguk mengerti. Ia menatap Myungsoo yang tampak dilanda shock berat di hadapannya, berdiri tepat di samping Midam. Tatapan mereka bertemu beberapa saat. Myungsoo bergerak cepat, namun Seongwoo menahannya.
Tidak intubasi endotrakeal. Anak ini mengalami cedera leher, kita tidak bisa menggunakan intubasi endotrakeal.
Kang Sira memandang keduanya beberapa saat. Ia memberi kode pada spesialis anestesi di sampingnya. Sebuah kode isyarat yang membantunya untuk bergerak cepat. Ia tahu, meski beberapa kali ia mendengar ketidakharmonisan hubungan persaudaraan Myungsoo dengan Junho, anak muda yang tengah sekarat di depannya ini adalah adik Myungsoo. Saudara kandung Myungsoo. Bagaimanapun perasaan Myungsoo saat ini, mereka harus mengerahkan kemampuan terbaik yang mereka miliki untuk menolong nyawa Junho sebagai pasien yang mereka sayangi.
Sira melirik ke arah Seongwoo lewat ekor matanya. Ia bisa menebak raut geram di balik masker Seongwoo, namun konsultan Orthopedi itu berusaha menyembunyikan dan tetap fokus pada tugasnya. Ya, apapun itu, ia juga harus tetap fokus pada tugasnya, juga fokus pada Junho di depannya.
Dipandangnya satu persatu jajaran dokter dan perawat di sini. Minhyun tidak dalam satu tugas dengannya, artinya ialah yang harus memimpin, dengan Seongwoo di sampingnya. Ia membisikkan sesuatu pada dirinya, meski kilasan masa lalunya berkelebat.
Kita berusaha bersama-sama. Anak ini pasti memiliki masa depan yang baik. Kita harus menolongnya, membantunya untuk tetap bertahan.
Selamat pagi dan selamat berakhir pekan. Semoga hari kalian menyenangkan😊