Yoon Seobin, mau tidak mau harus duduk anteng di depan pacarnya yang sibuk menandai banyak hal di dalam buku tepat di depannya. Kalau dihitung-hitung, belum sejam ia sudah menghabiskan 3 kotak susu sendirian dan 3 bungkus roti dengan selai melon sendirian. Perutnya benar-benar kekenyangan dan rintangan paling besar untuknya jika sudah kekenyangan adalah ia mudah mengantuk dan mungkin saja bisa tidur di sembarang tempat, padahal pagi ini, ia harus visit, jaga poli, belum lagi jika mendadak ada CITO. Bisa gawat kalau ia masuk ke OK dengan muka bantal. Yang mulia dokter Ong Seongwoo pasti akan meledeknya habis-habisan setelah operasi selesai.
Ia menguap, kemudian kembali menggigit roti selainya serampangan dan tanpa sengaja membuat selainya meleleh ke sudut bibirnya. "Kak, nggak bosan apa baca buku terus? Aku yang lihat aja bosan, masa kamu yang berhadapan langsung gitu, nggak bosan?" tanyanya.
Midam mengangkat pandangannya perlahan. Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman yang tak kalah manis dengan selai melon dari roti yang digigit Seobin. Ia mengangkat satu tangannya dan menyeka selai di sudut bibir pacarnya lembut. "Perutmu awas meletus lho, Bin. Dari tadi kamu makan terus. Udah makan banyak roti, masih minum susu 2 kotak. Kalau perutmu meletus, aku nggak tanggungjawab ya."
"Emangnya perut bisa meletus?" Dahi Seobin berkerut. Benar, ia sudah kekenyangan, tapi seakan tidak mau berhenti mengunyah, ia terus memasukkan makanan apapun ke dalam mulutnya dan membuat rahangnya terus berolahraga (paksa).
Kekehan Midam terdengar begitu halus di telinga Seobin. Dianggukkannya pelan kepalanya, kemudian direbutnya bungkusa roti berselai melon dari tangan Seobin. "Iya, kalau kamu kebanyakan makan, nanti perutmu meletus. Sama kayak balon kalau diisi udara kebanyakan, bisa meletus. Kamu udah minum 2 kotak susu, ditambah 3 bungkus roti, sebentar lagi jadi 4. Nanti kalau meletus, kamu mau cari perut cadangan ke mana?"
"Kamu bercanda ya? Mana pernah aku lihat perut meletus. Tapi, kak..." Seobin tanpa permisi malah menutup semua buku-buku Midam dan menyingkirkannya dari hadapannya. Perutnya sudah kekenyangan, ia tidak ingin kepalanya pusing melihat buku dengan tulisan sepadat ini. "Nggak bosen apa baca begini terus? Aku dari tadi duduk di sini, dianggurin. Apa perlu aku jadi buku orthopedi dulu biar dapat perhatian dari kamu? Padahal kita satu PPDS, tapi kita beneran jarang ketemu. Kadang kamu yang di OK, aku yang di poli. Kadang aku di poli, kamunya di OK. Kadang aku jaga malam, kamu datang dadakan buat CITO."
"Enggak pernah bosan tuh. Mungkin kamu harus jadi buku orthopedi dulu kalau mau dapat perhatian dari aku." Midam mengerling menggoda. Ia terkekeh sejenak begitu mendapati Seobin tampak menekuk wajah masamnya.
"Lagian kamu betah banget sih sama PPDS ini. Nggak pernah kepikiran buat resign aja apa? Ganti PPDS lain gitu yang lebih ringan. Aku aja baru 4 semester, udah gatel banget antara pengen resign atau pengen cepet selesai. Apalagi kalau udah berhadapan sama dokter Seongwoo, bawaannya pengen resign aja dari PPDS ini." Seobin bersungut-sungut sebal. Tadinya saat makan, ia merasakan perpaduan antara good mood karena perutnya yang terisi dan bad mood karena Midam terus berkutat dengan buku-bukunya. Tapi ketika ia menyebut nama dokter Seongwoo, ia mendadak sangat, sangat, sangat, sangat, dan teramat bad mood.
Midam tersenyum lembut. Diraihnya satu tangan Seobin yang berada di atas meja dan digenggamnya penuh kehati-hatian. "Bin, nggak ada PPDS yang ringan. Semua PPDS punya rintangannya sendiri-sendiri. Kadang kita ngelihat PPDS lain lebih ringan karena kita nggak melihat kerja dan proses belajar mereka. Sebaliknya, mereka juga menganggap kita PPDS ringan karena nggak melihat kerja dan proses belajar kita. Kalau kita terus membandingkan PPDS kita dengan PPDS lain, itu nggak akan pernah bikin kita berkembang dan lebih mau belajar. Lagian kenapa sih kamu tuh selalu aja ada bahan bertengkar sama dokter Seongwoo?"
Seobin mendadak dramatis. Ia meraung-raung tidak jelas, menumpukan dagunya di atas meja dan menatap Midam seolah pacarnya itu adalah seorang dewi yang turun dari khayangan untuk menolongnya. "Dia yang mulai, aku nggak pernah mulai. Lapkasku pernah diejek mirip tulisan anak preklinik, aku pernah dituduh copas lapkas dari koass, pernah dikatain kalau jatuh dari gedung nggak akan gegar otak karena nggak punya otak, sering dikata-katain, malah sering dikatain tanuki dalam ceret. Iya aku tau kalau belakangan ini aku gemukan karena berat badanku naik 4 kilo, tapi sebelah mananya sih aku mirip tanuki dalam ceret?"
Mendengar semua keluhan Seobin justru membuat Midam tertawa. Ia lantas mencubit ujung hidung Seobin dengan tangannya yang bebas. "Kamu tau nggak kenapa dokter Seongwoo selalu iseng sama kamu?" tanyanya.
Seobin menggeleng. "Karena dia nggak suka aku?"
Midam menggeleng. "Tebak lagi."
"Karena dia nggak suka aku dekat-dekat kamu?"
Midam kembali menggeleng.
"Karena aku nggak sepintar residen lain yang kebetulan seangkatan sama aku?"
Ketiga kalinya, Midam kembali menggeleng.
"Karena aku jelek dan nggak ganteng? Iya, aku tau. Aku emang nggak ganteng-ganteng amat. Dia kan selalu menganggap dirinya paling gan--"
Seketika Midam melotot dan membungkam mulut ceriwis Seobin dengan tangannya. "Kamu nggak jelek, Seobin. Siapa sih yang berani bilang pacarku jelek? Dokter Seongwoo sering ngusilin kamu begitu bukan karena dia nggak suka kamu, bukan karena dia nggak suka kamu dekat-dekat aku, bukan karena kamu nggak pintar, juga bukan karena kamu nggak ganteng. Tapi karena dokter Seongwoo suka sama kamu."
"APA?!" Seobin sontak menegakkan tubuhnya. Mulutnya menganga lebar, matanya melotot, dan wajahnya berubah jadi senewen setengah mati. "Ta-tapi... dia udah punya istri, udah punya anak. Masa dia suka sama aku? Enggak, enggak mungkin! Itu pasti salah!"
"Bukan suka yang begitu, Seobin ih." Midam menyentak tangan Seobin yang digenggamnya dan menatap ke arah pacarnya dengan wajah yang tidak kalah senewen. "Bukan suka begitu yang aku maksud, Seobin. Maksudnya dia sayang ke kamu. Dia kan nggak punya anak laki-laki, sebenarnya kamu tuh dianggap anaknya sendiri, makanya kamu sering dijahilin. Apalagi kamu kalau dijahilin, selalu balesnya lebih kejam. Walaupun di depan kamu dia sering ngata-ngatain kamu, di belakang kamu, dia sering lho muji-muji kamu di depan spesialis atau konsultan lain. Malahan kalau CITO, dia lebih suka bareng kamu, ketimbang bareng aku. Tapi pembawaannya dokter Seongwoo kan emang begitu. Dia suka berinteraksi bareng kamu, makanya dia sering ngata-ngatain kamu. Sewaktu bilang kamu nggak punya otak, dia nggak serius kok, Bin. Dia tau kamu bisa bedain mana bercanda, mana serius."
Seketika wajah Seobin berubah tenang. Ia kembali menumpukan dagunya ke atas meja. "Tapi semua omongannya selalu bikin kesal. Sampai aku pernah mikir, dia pernah jadi residen nggak sih sampai nggak bisa memahami aku yang posisinya masih residen? Pokoknya, dia ngeselin banget. Musuhan aku sama dia, kak."
Midam tersenyum geli, namun baru saja ia hendak menjawab perkataan Seobin, seseorang lebih dulu duduk di sampingnya, menubruk dan memeluknya, kemudian menyandarkan kepala ke bahunya. Ia hampir saja menjerit kaget dan melompat minggir sebelum menyadari kalau orang itu ternyata sahabatnya sendiri. Siapa lagi kalau bukan Choi Byungchan.
Wajah Seobin kembali senewen. "Kak, ganggu banget sih orang lagi berduaan. Nggak tau apa kalau aku sama kak Midam lagi ngomongin masa depan?"
Byungchan terdengar tidak menjawab. Ia justru mengeratkan pelukannya di pinggang Midam dan semakin menumpukan kepalanya di bahu Midam, menyembunyikan wajahnya di perpotongan leher dan bahu sahabatnya.
Mendengar perkataan Seobin, Midam justru melotot galak ke arah pacarnya, kemudian merangkul bahu Byungchan hati-hati sambil mengelus helaian rambut kelam Byungchan lembut. "Chan, kenapa? Ada masalah? Habis diomelin spesialis?" tanyanya lembut.
Byungchan menggeleng pelan. Perlahan ia mengangkat wajahnya dari perpotongan bahu Midam dan mendongak sedikit menatap sahabatnya. Tatapannya sendu. "Maaf ya kalau aku ganggu waktu kalian berduaan," katanya lirih.
Seketika Midam kembali menatap galak ke arah Seobin, yang langsung membuat Seobin diam seribu bahasa alias tidak berani melawan. "Enggak kok. Kamu nggak ganggu waktu kami. Jangan dengerin omongan ngelanturnya Seobin ya? Biar nanti aku jewer telinganya sampai putus, biar diganti pakai telinga gajah." Diusapnya kembali helaian rambut Byungchan, juga dieratkannya rangkulannya di bahu Byungchan.
Sekali lagi, Seobin hanya bisa diam. Diraihnya kembali roti yang tadi sempat disingkirkan oleh Midam dan kembali dimakannya dengan ekspresi wajah benar-benar datar.
"Kamu kenapa, Chan? Belakangan ini aku nggak pernah ketemu kamu, kita juga udah nggak pernah makan siang bareng. Padahal kita selalu makan siang bareng, tapi belakangan ini kita nggak punya waktu makan siang bareng." Midam melepas tangannya dari puncak kepala Byungchan dan meraih satu tangan sahabatnya untuk digenggam. Ia memainkan jemari Byungchan beberapa saat, sampai ia menyadari ada sesuatu yang hilang di sana. "Chan, cincin kamu ke mana?"
Byungchan menegakkan tubuhnya perlahan. Tatapan matanya tampak kosong. Ia menatap jemarinya. Benar, ada yang hilang di sana.
Hati Midam mencelos. Ia meraih satu sisi wajah Byungchan dan diusapnya lembut. "Chan, wajah kamu sembab. Kamu habis nangisin apa?"
Seobin seketika ikut menelisik ke wajah Byungchan yang tengah diusapi lembut oleh pacarnya. Memang, wajah residen interna itu tampak sembab. Juga agak pucat. Matanya tampak sedih.
"Chan, kamu dengar aku? Kapanpun kamu siap cerita, aku selalu selalu dengerin kamu kok. Mau aku pesenin sarapan? Mau sama teh hangat sekalian ata--"
"Aku mau putus dari Seungwoo."
Seketika hening. Midam dan Seobin saling bertatapan.
"HAH?!"
Selamat pagi dan selamat beraktivitas. Semoga aktivitas kalian lancar, tanpa kendala apapun. Semangat!😉