Minkyu sudah tidak terkejut lagi ketika ia tidak sengaja bertemu dengan bunda Wonjin di kantin rumah sakit ketika ia akan makan siang. Wanita itu memang sengaja pulang dari Taiwan di hari ketika Wonjin masuk ke ruang operasi untuk menjalani awake craniotomy. Jadi ketika dirinya selesai memesan makanan, ia tidak merasa ragu untuk mendekat dan menyapa wanita yang tampak sedang menyuapi kedua adik Wonjin dengan begitu sabarnya, dan jika dilihat-lihat, wanita itu benar-benar mirip Wonjin. Dengan rambut panjangnya yang dicepol sederhana dan seulas senyum tulus mengembang, Minkyu tahu dari mana semua yang melekat pada diri Wonjin diturunkan.
Ia membungkuk pelan seraya melempar senyum ramah pada kedua adik Wonjin dan kedua anak itu tersenyum riang ke arahnya, kemudian fokusnya ia alihkan pada bunda Wonjin yang menatapnya lembut. "Siang, tante," sapanya.
Wanita itu tersenyum dan mengangguk samar, kemudian kembali menyuapkan sesuap nasi goreng pada seorang anaknya. "Makan siangnya sendiria aja. Kyu?"
Minkyu mengangguk, menempatkan piringnya di seberang piring nasi goreng yang kini tersisa separuhnya. "Biasanya makan berdua bareng temen, tapi kebetulan, hari ini dia nggak masuk. Kelihatannya masih sakit," jawabnya. Ia mengulas senyum gemas saat melihat seorang adik Wonjin tampak menatap ingin tahu ke arah piringnya.
"Jangan ya? Itu makan siang kak Minkyu. Bunda nggak pernah ngajarin adek begitu. Ingat kata kak Wonjin ya, jangan suka ganggu jam makan siang orang..." Sang bunda mewanti-wanti dan menggeleng tegas begitu menyadari gelagat putra bungsunya. Minkyu tersenyum maklum. Wanita itu kembali menatapnya. "Minkyu belakangan ini sibuk ya?" tanyanya.
Mau tidak mau, Minkyu mengangguk. "Lagi banyak pasien masuk, tante. Koassnya kan tinggal 6, jadi bener-bener harus dibagi antara di poli, bangsal, IGD. Kalau siang begini, banyak yang stay di bangsal sama poli. Baru kalau malam, yang di poli fokus ke IGD. Kita sistemnya rolling, jadwal jaga malamnya udah ada, tapi terkadang juga kondisional. Apalagi kalau ada yang nggak masuk."
"Kayaknya jadi koass itu asyik ya, Kyu? Dulu waktu Wonjin sakit, dia cuti sejak kapan?"
Minkyu berpikir sebentar, mencoba menarik kembali ingatan yang sejujurnya menjadi salah satu ingatan menyakitkan baginya. Ia tersenyum samar. "Wonjin sakit waktu kami di stase Penyakit Dalam. Dia nggak bisa lanjut di tengah stase dan terpaksa nggak lulus stase. Kalau nanti Wonjin harus ngulang stase, setelah stase terakhir, dia balik ke Penyakit Dalam. Sewaktu kami di stase Bedah, kami dapat seragam khusus jaga malam. Tadinya seragam Wonjin mau ditinggal, tapi nggak jadi. Seragamnya disimpan salah satu teman kami."
Wanita itu mengangguk beberapa kali sambil menyuapi kedua anaknya. "Setelah operasi selesai, dokter-dokternya Wonjin datang ke kamar rawatnya Wonjin."
Tiba-tiba Minkyu merasakan tubuhnya menegang. Genggamannya pada kedua alat makan di masing-masing tangannya perlahan mengerat.
"Operasinya berjalan hampir 8 jam. Dokter bedah sarafnya bilang, harusnya operasinya selesai dalam 6 jam. Tapi ternyata, ada pembekakan otak waktu operasi karena Wonjin tetap cemas walaupun udah berusaha ditenangkan. Dia takut dan perasaan takutnya lebih besar..."
Keterkejutan besar di wajah Minkyu sama sekali tidak bisa dikendalikan. Bibirnya bergetar. Ia hendak mengatakan sesuatu, namun mendadak lidahnya kelu. Tidak terpikir satu katapun di dalam kepalanya. Ia hanya terkejut, rasa cemas mengikuti di belakang, tapi ia tidak tahu bagaimana harus mendeskripsikan detailnya.
"Harus diakui kalau operasinya menegangkan. Dokter bedah sarafnya bilang kalau Wonjin bisa bicara lancar dan mengangkat tangan selama operasi. Bahkan Wonjin juga harus menjawab beberapa soal matematika sederhana dan fungsi otaknya baik. Sayangnya, Wonjin tetap cemas. Setelahnya ternyata ada pembekakan di otaknya sewaktu tumor di salah satu bagian otaknya diangkat..."
Minkyu menggigit bibir bawahnya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana tegangnya para dokter di ruang operasi itu, juga bagamaina kalutnya perasaan Wonjin sebelum tindakan bedah dilakukan.
"Untungnya, dokter bedah onkologinya bisa menangani. Dokter bedah onkologi, bedah saraf, dan sarafnya kelihatan tegang banget sewaktu mereka ke kamar rawatnya Wonjin. Dari ekspresi wajah mereka, kelihatannya mereka capek dan penuh tekanan, tapi ada kelegaan di sana. tante percaya mereka akan bilang sesuatu yang baik, meskipun nggak sebaik yang tante harapkan. Apapun itu, tante siap mendengarnya. Dan mereka bilang..."
Minkyu tahu dirinya berharap, tapi entahlah, ia sendiri tidak tahu sejak kapan berharap ternyata membuatnya setakut dan sepesimis ini. Padahal biasanya tidak pernah.
"Mereka bilang, prosedurnya berhasil. Wonjin dipindahkan ke ICU, dikasih obat yang kedengarannya seperti antibengkak dan harus menjalani MRI sekali lagi. Dokter bedah onkologinya bilang kalau tumornya berhasil diambil maksimal dan dia harus memastikan kalau nggak ada pendarahan atau komplikasi yang lain. Kalau MRI-nya untuk mengetahui sisa tumornya."
"Operasinya berhasil?"
Wanita itu mengangguk. Senyum cantiknya kembali mengembang. "Tapi Wonjin harus dievalusi dalam sebulan ke depan. Dokter sarafnya bilang kalau mungkin setelah keluar ICU nanti, Wonjin masih sulit diajak bicara dan kalau jawab pertanyaan juga butuh waktu karena ada bengkak selama operasi. Katanya, itu mempengaruhi proses berpikirnya."
Minkyu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Napasnya yang selama ini terasa begitu berat, kini berhembus penuh kelegaan. Satu beban berat yang mengganjal di kepala dan memberatkan hatinya seperti sirna. Ia tahu, Wonjin belum sepenuhnya sembuh dan bersih dari glioblastoma, tapi setidaknya ada harapan yang lebih besar untuk digenggam dan diperjuangkan.
"Kak Minkyu nangis?"
"Mama, kak Minkyu nangis?"
Minkyu menghapus air matanya buru-buru. Ia membuka kembali wajahnya yang sempat tertutupi kedua tangannya dan tersenyum penuh kelegaan pada kedua adik Wonjin yang menatapnya penuh ingin tahu. Namun sebelum ia menjawab, bunda Wonjin lebih dulu menyela sembari mengusap puncak kepala kedua anaknya lembut.
"Kalaupun itu air mata karena menangis, bukannya berarti kak Minkyu sayang kak Wonjin? Persis kalian yang sayang kak Wonjin. Kak Minkyu juga sayang kak Wonjin."
Minkyu bertaruh, ia tidak pernah merasa selega ini dalam hidupnya. Dari malam-malam di mana Wonjin mengeluh begitu kesakitan dan kepayahan dengan gejala glioblastoma yang melumpuhkannya, dari hari di mana Wonjin begitu tegar menghadapi diagnosa berat yang dokter Yena dan dokter Minhyun paparkan di depannya, dari hari demi hari di mana Wonjin yang kesakitan dan begitu kepayahan menahan putus asa, ia tidak pernah merasa tenang dan selega ini sebelumnya.
................... [[💌🕊]]
Kepada Wonjin
Hey, Sunshine, apa kabar? Aku kangen. Kamu nggak bosen di sana sendirian? Aku nggak boleh masuk sembarangan. Ada waktu-waktu tertentu. Tapi apa kamu nggak bosen? Kamu nggak kangen adik-adikmu? Kamu nggak kangen ayahmu? Kamu nggak kangen anak-anak yang lain? Kamu nggak kangen aku?
Ibu kamu di sini. Buat kamu. Beberapa kali ngobrol bareng aku. Kamu harus lihat gimana ibu kamu sekarang. Kamu pasti seneng. Aku yakin, kamu pasti kangen ibumu. Sama, aku juga kangen kamu.
Prosedurnya berhasil. Aku berterima kasih karena kamu bertahan sejauh ini. Sedikit lagi, kamu pasti kembali. Aku kangen. Mata bulat kamu. Pipi tembam kamu. Rambut halus kamu. Suara kamu. Ketawa kamu. Senyum kamu. Aku kangen semuanya.
Pulang ya, Sunshine? Semua orang kangen keberadaan kamu. Walaupun kamu bandel, kamu ngangengin hehehe. Nulis beginian jadi bikin tambah kangen. Jadi pengen ngobrol sampe ngantuk sama kamu.
From the hardest times we have lived together, there have been many injuries, but you have survived so far. Come back, to the arms of those who miss you. Including me.
Kekasihmu,
Kim Minkyu.
Jadi terjawab sudah alasan kenapa ketiga dokter senior itu nangis setelah operasi dan kenapa Yuvin-Yunseong kepalanya beneran panas setelah operasi (sebelum operasi pun sudah panas aslinya lho)😉
"Aku baru saja melihat seekor katak sedang melawak, dan lawakannya sama sekali tidak lucu." - Hwang Yunseong😒