Warning: This chapter contains content about the effects of violence on children, suicidal thought and behavior, mental health issues, poor self-control, toxic family, and other content that might cause uncomfortable feelings. It's forbidden to link the profession with characterizations. If you feel uncomfortable, please skip. Take care of yourself.
🌹Read at your own risk🌹
"Dok, boleh join makan siang di sini? Kebetulan, saya nggak terbiasa makan siang sendiri."
Myungsoo yang semula sibuk mengaduk-ngaduk soto di dalam mangkuknya tanpa selera makan yang bagus, sontak mengangkat pandangannya dan menyungingkan seulas senyum. "Duduk aja, dek. Tumben makan siang sendirian, biasanya bareng Midam," ujarnya santai.
Yoon Seobin hanya mengangguk ala kadarnya sambil meletakkan makan siangnya ke meja, kemudian duduk di hadapan Myungsoo. "Kak Midam dibawa dokter Seongwoo, nggak tau ke mana. Udah saya coba telepon, tapi kayaknya dokter Seongwoo sengaja nyuruh nggak diangkat. Ya udah, saya makan siang di sini aja. Untungnya ada dokter Myungsoo, nggak makan siang sendirian akhirnya hehehe..."
"Oh, gitu." Myungsoo mengangguk beberapa kali, kemudian kembali fokus mengaduk sotonya tanpa selera makan yang bagus.
Selama beberapa saat, keduanya hanya saling diam. Seobin sibuk dengan kegiatan makan siangnya yang begitu lahap sambil sesekali meneguk sebotol air mineral di samping piringnya. Suara dentingan antara sendok, garpu, dan piringnya menjad satu-satunya suara yang memecah keheningan di sana. Sementara Myungsoo hanya memakan makan siangnya ogah-ogahan. Sepertinya sudah kenyang atau menu makan siangnya tidak begitu menggugah selera.
Selang 5 menit kemudian, Seobin menelungkupkan alat makannya dan berdeham pelan. "Dok, saya nanya sesuatu boleh?" tanyanya, berusaha tidak menganggu sama sekali.
Myungsoo hanya menjawabnya dengan gumaman panjang yang terdengar tidak begitu jelas sambil sesekali mengangguk.
Seobin meringis kaku. "Tadi sewaktu saya telat datang, dokter Seongwoo ada ngomong aneh-aneh soal saya nggak, dok? Misalnya, tentang alasan saya kalau telat. Ada nggak, dok?"
Myungsoo mengangguk sekali. "Tadi cuma bilang kalau alasan kamu selalu sama. Kalau nggak ban bocor, bensinnya habis. Alasan klasik yang nggak pernah berubah, katanya."
"Sebenarnya hari ini saya telat bukan karena ban bocor atau bensin habis, dok." Seobin meringis kaku. Ia menggaruk belakang kepalanya yang sama sekali tidak gatal ketika Myungsoo menatapnya dengan sebelah alis terangkat penuh keheranan. "Saya bangun kesiangan, dok. Semalam saya main game bareng adik saya sampai jam 2 pagi dan saya baru tidur jam setengah 3 pagi. Saya lupa kalau harus visit jam setengah 8 pagi dan saya bangun jam 7 lebih 15 belas. Tadinya, saya mau langsung berangkat, tapi disuruh mandi dulu sama mama karena kemarin saya nggak mandi seharian hehehe..."
Alis Myungsoo kian naik penuh keheranan. Tatapannya menyorotkan kebingungan yang tidak begitu kentara, namun cukup terasa. "Kamu punya adik?" tanyanya.
Sejenak, Seobin terlihat kaget. Ia langsung menghentikan tawa kakunya dan mengangguk sekali. "Saya punya adik perempuan, umurnya 11 tahun. Kalau sama saya, jaraknya sekitar 16 tahunan. Agak jauh emang, dok. Tapi mau gimana lagi, dikasihnya sewaktu saya udah umur segitu, jadi disyukuri aja."
"Saya kira, kamu nggak punya adik. Dari pembawaanmu yang slengekan begitu, saya kira kamu anak tunggal yang kebanyakan dimanja. Ternyata kamu punya adik juga."
Seobin tertawa mendengarnya. Ada perasaan tersanjung karena ternyata ia diperhatikan juga oleh spesialis baru di depannya, tapi ada perasaan malu juga karena ia dianggap slengekan dan anak manja. "Itu emang udah pembawaan saya kayaknya, dok. Kalau slengekan itu, kayaknya emang nggak bisa berubah dari dulu. Mungkin karena saya slengekan dan kayak anak kecil, jadi dokter ngiranya saya nggak punya adik, padahal saya punya. Adik saya juga udah lumayan besar kok. Udah 11 tahun. Kalau sekolah di sekolah umum, mungkin sekarang kelas 5 SD."
Myungsoo menatapnya beberapa saat, cukup lama sampai Seobin merasa jadi canggung sendiri. "Adik kamu homeschooling?" tanyanya.
Seobin mengangguk. "Adik saya pernah masuk sekolah umum setahun, tapi karena nggak cocok dengan teman-temannya, dia minta homeschooling. Awalnya mama nggak kasih ijin karena anak-anak seumuran adik saya harus belajar bersosialisasi dengan teman sebayanya untuk mengasah kemampuan menghargai sesama, mengasah kepedulian, dan empati. Tapi papa bilang kalau adik saya bisa pergi ke Yayasan Panti Asuhan punya papa setiap minggu dan belajar bersosialisasi di sana, jadi akhirnya mama kasih ijin buat homeschooling."
"Saya jadi pengen ketemu adik kamu. Sebelumnya, saya nggak pernah ketemu anak-anak homeschooling karena adik-adik saya juga nggak ada yang homeschooling."
Mendengar pernyataan Myungsoo justru membuat tawa Seobin meledak. Seakan melupakan siapa sosok yang duduk di depannya, ia malah tertawa terpingkal-pingkal. "Adik saya biarpun perempuan, sama sekali nggak ada manis-manisnya, dok. Lagipula dia anak indigo, jadi terkadang kalau dia lihat sesuatu, akan langsung dia bilang tanpa sungkan, meskipun orangnya baru dia kenal. Dia juga lebih suka belajar sesuatu yang ekstrem dan bermain sesuatu yang menguji nyali," ceritanya.
Myungsoo terkekeh pelan. "Kedengarannya kamu dekat ya sama adikmu? Kamu punya fotonya?"
Seobin mengangguk. Ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan wallpaper yang terpasang di ponselnya. Sebuah foto keluarga yang diambil di depan Notre Dame di Paris. Ada seorang pria dewasa yang sedang menggendong seorang anak perempuan dengan rambut tergerai panjang di bahunya, kemudian di sampingnya tampak sosok Seobin sedang menggendong seorang wanita dengan gaya rambut cepol di punggungnya. Keempatnya tampak tersenyum lebar, dengan rambut Seobin yang saat itu tampak dicat warna keemasan yang berkilau terkena sinar matahari yang tampak jingga.
Myungsoo menatapnya lamat-lamat. Foto yang dipasang Seobin sebagai wallpaper itu tampaknya terlihat seperti foto lama karena Seobin yang berdiri di hadapannya sekarang jelas lebih tinggi daripada yang ada di foto. Tapi kapanpun itu, keluarga Seobin tampak begitu harmonis dan bahagia. Apakah itu masih terasa sampai sekarang?
Seobin tersenyum samar. "Foto itu diambil sekitar 5 tahun lalu, dok. Waktu itu adik saya masih umur 6 tahun dan saya masih umur 22 tahun. Kami pergi liburan ke Paris setelah saya selesai stase Forensik. Cuma sebentar sih, tapi berkesan. Waktu itu saya kena marah mama habis-habisan karena dompet saya jatuh di Notre Dame, tapi saya nyadarnya sewaktu udah perjalanan ke bandara. Kalau diingat-ingat..."
Kalau diingat-ingat, ia tidak pernah pergi liburan dengan keluarganya. Tidak dengan kedua orang tuanya, juga tidak dengan kedua adiknya. Ia tidak pernah memiliki quality time dengan keluarganya secara utuh karena ia selalu hanya pergi berdua dengan papanya, sementara mamanya lebih senang pergi dengan adik pertamanya, sementara adik bungsunya lebih suka tinggal sendirian. Ia tidak pernah punya foto keluarga yang sebegitu riangnya, dengan setiap anggota keluarga tertawa bersama, juga waktu liburan singkat yang berkesan.
Myungsoo mengangkat pandangannya perlahan, menatap Seobin dengan tatapan yang tidak terbaca maknanya. "Keluargamu... sampai sekarang, masih seperti itu?"
Keduanya kalinya, Seobin tampak kaget dengan pertanyaan Myungsoo. Ia diam sejenak, beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk. "Dengan tambahan, usia papa dan mama saya udah nggak semuda dulu lagi, dok. Saya dan adik saya juga bertambah usia tiap tahun," jawabnya.
"Papa dan mamamu nggak pernah bertengkar? Kamu dekat dengan adikmu?"
Seobin kembali terdiam selama beberapa saat. Ia mengambil alih ponselnya dan membuka-buka beberapa folder di galerinya. "Nggak ada sepasang suami istri yang nggak pernah bertengkar, dok. Meskipun udah memiliki 2 anak, mereka juga tetap pernah bertengkar. Keluarga harmonis itu bukan berarti orangtuanya nggak pernah bertengkar. Mereka pasti tetap pernah bertengkar karena perbedaan pendapat itu selalu ada. Justru sepertinya aneh kalau sepasang suami istri sama sekali nggak pernah bertengkar, dok. Artinya ada hal yang mereka sembunyikan dan malah bisa jadi masalah lebih besar karena sesuatu yang disembunyikan itu akhirnya keluar secara mengejutkan. Hanya bedanya mereka menyelesaikan dengan solusi atau justru dengan masalah yang lebih besar."
Myungsoo terdiam selama beberapa saat. Ia mendengar semua yang Seobin katakan, tidak terlewat satupun. Dan sekarang, ia tengah bercermin. Membandingkan dengan keadaan keluarganya, di mana papa dan mamanya sebenarnya hampir tidak pernah bertengkar memperdebatkan sesuatu, tapi nyaris setiap hari melampiaskan kemarahan, kekesalan, dan kejenuhan mereka pada adik bungsunya.
"Kalau dengan adik saya, jelas saya dekat. Dekat bukan selalu kami jadi sibling goals yang romantis. Kami juga bertengkar. Rebutan PlayStation, rebutan televisi, saling mengejek, kadang saya ngumpetin koleksi legonya, kadang dia yang ngumpetin koleksi statue saya, kadang kami rebutan makanan, kadang rebutan mama. Kami sering bertengkar, tapi kami juga saling sayang. Saya nggak pernah suka kalau adik saya diganggu anak-anak nakal, apalagi sampai diejek. Bagaimanapun juga, dia adik saya, satu-satunya saudara kandung yang saya punya, dok. Walaupun menyebalkan..."
Ia tidak pernah tahu apakah adik-adiknya menyebalkan dan suka iseng juga atau tidak. Ia tidak pernah dekat dengan adik-adiknya. Baik dengan Eunwoo ataupun dengan Junho. Belakangan ini, ia justru bersitegang dengan Eunwoo, padahal sebelumnya meski tidak dekat, ia cukup sering bertegur sapa dan bicara basa-basi dengan Eunwoo. Sementara dengan adik bungsunya, sejak anak itu lahir, ia tidak pernah dekat dengan adik bungsunya. Selalu ada sekat di antara dirinya dengan Junho. Dan menjadi anak yang selalu menerima banyak perhatian serta kasih sayang dari papanya, justru membuatnya menganggap kalau Junho memang tidak selayaknya menerima perhatian dan kasih sayang yang sama dengannya. Terlebih lagi, sejak neneknya meninggal, Junho selalu hanya menjadi tempat pelampiasan kedua orangtuanya, terutama papanya.
Belum lagi setelah mamanya menggugat cerai papanya dengan alasan Junho. Sedikit banyak dalam hatinya, rasa tidak sukanya terhadap adik bungsunya kian bertambah.
"Ini foto adik sama mama saya. Foto yang ini masih baru. Diambil sewaktu mama ngantar adik saya ikut lomba menyanyi, sekitar sebulan lalu, dok."
Seobin mengulurkan padanya sebuah foto seorang gadis cilik yang tengah tersenyum manis dalam rangkulan seorang wanita yang tampak begitu mirip dengannya.
"Biarpun papa saya menyebalkan, dia selalu mau mengerti apa yang diinginkan anak-anaknya. Biarpun mama saya terlalu cerewet dan clean freak, dia selalu membimbing kami ke pilihan dan jalan masa depan yang kami tentukan. Biarpun adik saya jahil, dia tetap adik saya, saudari saya satu-satunya, teman saat saya kesepian, dan jelas partner saya buat ngerjain eyang hehehe..."
Myungsoo kembali berkaca pada keadaan keluarganya, sedikit berputar ke masa lalu ketika ia masih kecil, hingga saat ini ketika ia sudah dewasa
Halo, apa kabar kalian? Sedang sibuk apa hari ini? Semoga lancar tanpa kendala ya😉