"Tadi sekitar hampir jam 8 pagi, timnya dokter Minhyun yang masuk ruang operasi kan? Warna seragam anggota timnya, termasuk dia sendiri dan perawat-perawat senior yang dibawa hijau semua. Dokter Minhyun sama dokter Sira yang jalan paling depan, wajahnya serius banget, lebih serius daripada sewaktu kita di stase Bedah dulu. Ada beberapa dokter lain, tapi wajah mereka yang kelihatan paling serius. Tegang banget, gila. Gue ikutan merinding sewaktu nggak sengaja ketemu tadi. Tapi ya gimana nggak serius, namanya juga operasi besar. Pasti teganglah walaupun udah berpengalaman."
Minkyu melirik sebentar ke arah Donghyun yang sibuk bercerita panjang lebar sambil sesekali menyomot kacang mete milik Dohyon yang duduk di sampingnya. Ia mengenal semua orang yang disebutkan Donghyun, mulai dokter Minhyun, juga dokter Sira. Dan ia mengetahui jelas tim operasi apa mereka. Seorang dokter bedah onkologi dan dokter bedah saraf. Jelas bukan hal sepele yang mereka tangani, terlebih jika sudah menyangkut membawa turun satu tim dengan perawat-perawat senior bersama.
Terlebih lagi, Minkyu tahu siapa pasien yang dibawa dan akan ditangani oleh tim itu ke ruang operasi. Ia mengenalnya dengan baik. Sangat baik malah. Dan orang itu adalah salah satu dari beberapa orang terkasihnya. Pacarnya. Ham Wonjin.
Dokter Minhyun, dokter Sira, dan dokter Yena sudah memutuskan bahwa mereka akan mengangkat glioblastoma di otak Wonjin dengan prosedur yang disebut awake craniotomy beberapa saat lalu dan kini mereka sungguh melakukannya setelah proses praoperasi yang cukup panjang. Juga proses ketakutan Wonjin yang begitu panjang, yang juga membuatnya tidak bisa berhenti merasa resah sejak pertama kali keputusan besar itu dibuat.
"Ya ibaratnya, dokter Minhyun sama dokter Sira itu kan udah berpengalaman, tapi mereka juga tetap harus fokus dan nggak bisa menyepelekan suatu kasus hanya karena pengalaman mereka udah banyak. Pernah ingat nggak ceritanya dokter Sira sewaktu dia stress berat karena pasiennya meninggal di ruang operasi?"
Kali ini Minkyu melirik ke arah Jinwoo. Sepupu dari salah satu sahabatnya sejak jaman preklinik itu tampak menanggapi cerita Donghyun begitu antusias, sama halnya dengan si pengawal kisah Keum Donghyun. Sementara Dohyon hanya mendengarkan ala kadarnya sambil mencatat sesuatu yang kelihatannya penting di notesnya. Dan Tony sama sekali tidak terlihat di ruang koass. Sementara nyaris di ujung ruangan sana, Yohan sedang asyik bercerita entah apa dengan Minhee dan Dongpyo, sedangkan Eunsang dan Hyungjun entah pergi ke mana setelah visit tadi.
"Oh, pasiennya dokter Sira yang meninggal di meja operasi karena pendarahan otak parah akibat terjun dari atap mall itu?"
Jinwoo mengangguk. "Waktu bimbingan, dokter Sira pernah cerita itu. Kondisi pasiennya emang parah dan timnya dokter Sira nggak bisa menghentikan pendarahannya. Katanya, itu kali pertama pasiennya dokter Sira meninggal di meja operasi. Setelah itu dokter Sira stress berat, malah sampai berminggu-minggu. Tapi hebatnya, dokter Sira bisa tetap fokus menghadapi pasien dan tetap profesional."
"Dokter Minhyun juga pernah cerita kalau dia pun pernah stress berat. Waktu itu pasiennya gelisah dan otaknya mengalami pembengkakan. Bisa berujung kematian, tapi untungnya bisa diselamatkat. Tapi tetap jadi sesuatu yang membebani pikiran dokter Minhyun. Emang sih mengoperasi pasien dalam keadaan sadar tuh tantangannya banyak." Donghyun menanggapi.
Dohyon mendesah pelan. "Gue nggak akan ambil PPDS Saraf ataupun Bedah. Kalau gue jadi dokter Minhyun atau dokter Sira, nggak akan sanggup gue. Dokter Minhyun baru otak-atik otak kalau tumor atau kankernya di otak, kalau dokter Sira, kayak udah biasa otak-atik otak. Kasusnya juga banyak yang di luar onkologi."
Donghyun tertawa, hampir terjungkal karena ulahnya sendiri. "Tony tuh katanya PPDS-nya ambil Bedah, subspesialisnya ambil Bedah Saraf. Dia juga rencana pengen fellowship. Ambis banget jadi anak."
"Tony ambis karena otaknya mampu. Kapasitas otaknya gede dan dia emang mau berusaha. Jadi, ya nggak aneh kalau dia ambis sampai pengen fellowship. Artinya, dia memanfaatkan kemampuan otaknya dengan baik. Kalau gue yang ngambis gitu, adanya gue pusing duluan. Tau sendiri kan kalau kapasitas otak gue tuh nggak ada apa-apanya kalau dibanding kapasitas otaknya Tony. Dia nggak belajar, cuma dengerin orang hafalan, dia ikut hafal. Cuma sekali lihat, dia langsung bisa prakteknya. Daya ingatnya akurat. Gue pengen nangis aja. Kok ada orang sepinter Tony? Pengen tuker otak..." Dohyon tersenyum dramatis.
Mendengar celotehan Dohyon, Donghyun justru tertawa semakin keras dan mau tidak mau hanya membuat Minkyu mesem-mesem saja melihat tingkat adik-adik tingkatnya. Meski sejujurnya, ada keresahan di dalam hatinya.
"Kalau Tony udah bilang gue nggak belajar, gue nggak baca buku, gue nggak hafalan, gue belum paham, artinya dia tuh lagi merendah untuk meroket. Kenapa sih orang pinter tuh banyak yang menerapkan konsep merendah untuk meroket? Kan gue yang meroket untuk makin meroket akhirnya malah nyungsep."
Jinwoo terkekeh pelan. "Tony dikasih kelebihan begitu tuh juga pasti ada kurangnya. Saking ambisnya, dia sering lupa makan dan ngingat hal-hal kecil yang harusnya nggak perlu diingat. Tapi kadang, Tony juga pelupa kok. Kadang-kadang, dia malah nanya ke dirinya sendiri, tadi kran air kamar mandi udah dimatiin belum? Atau apartemennya udah dikunci belum? Nggak selamanya orang yang daya ingatnya kuat bisa ingat semuanya. Tetap bisa lupa kok."
"Kenapa jadi ngomongin Tony sih? Anak itu kalau dengar, kepalanya makin ngembang kayak adonan roti entar. Hidupnya udah terlanjur enak. Beberapa stase selalu wangi, sering dipercaya konsulen, banyak tentiran dari residen, calon mantunya konsulen bedah, calonnya cantik. Kurangnya satu. Bau kalau jaga malam."
"Tadi kan kita ngomongin soal dokter Minhyun sama dokter Sira, merembetnya ke PPDS dan keambisannya Tony. Pokoknya, gue nggak akan ambil PPDS Bedah ataupun Saraf. Berat banget. Dokter Yunseong jelasin 1000 kali juga gue tetap susah pahamnya."
"Kan emang Donghyun nggak pernah dengerin kalau dokter Yunseong ngasih tentiran. Dokter Yena ngasih bimbingan aja sering ditinggal ngelamun. Gimana mau paham?"
Minkyu terkekeh pelan mendengarnya, kemudian memilih mengabaikan apa yang adik-adik tingkatnya sedang perdebatkan begitu alot. Kalau dipikir-pikir, Dongpyo, Hyungjun, Minhee, dan Junho juga sering memperdebatkan hal ini, dengan dirinya yang berposisi sebagai Tony. Sayangnya, hari ini Junho tidak ada.
"Kyu, ngapain duduk menyendiri di sana sih? Sini dong, gabung sama kita. Jangan kayak orang nggak ditemenin gitu."
Minkyu sontak menoleh ke arah teman-teman sepengirimmannya yang tampak melambaikan tangan ke arahnya, sementara para adik tingkatnya itu tetap berdebat begitu panjang.
"Kyu, sini dong. Gabung bareng kita. Jangan menyendiri di sana. Kelihatannya kayak kita jahat banget nggak mau nemenin lo. Ke sini ah, jangan menyendiri."
"Operasinya Wonjin pasti sukses, Kyu. Jangan terlalu kepikiran. Kalau emang kepikiran, sini ngobrol, sharing bareng kita. Jangan disimpan sendiri, nanti malah salah fokus."
Namun ketika Minkyu baru beranjak dari duduknya, Eunsang dan Hyungjun masuk bersamaan ke ruang koass. Eunsang tersenyum padanya, kemudian mengulurkan selembar kertas yang dilipat asal-asalan ke arahnya.
"Tadi Eunsang ke kamar rawatnya Wonjin. Kirain masih sempat, ternyata Wonjin udah dibawa sama timnya dokter Minhyun. Ada nenek sama adik-adiknya di sana. Ayahnya Wonjin juga di sana, tapi masih duduk di kursi roda dan pakai baju rumah sakit. Dan Eunsang dikasih ini sama neneknya Wonjin. Katanya, buat Minkyu."
Untuknya? Sebuah surat?
Hyungjun mendadak meringis lebar. "Maaf ya lancang, Kyu. Tadi udah gue baca hehehe. Tapi gue nggak ngerti karena tulisannya Wonjin nggak bisa dibaca, jadi cuma ngerti bagian bawahnya aja. Intinya, emang buat lo."
Minkyu membuka lipatan kertas di tangannya perlahan, begitu hati-hati. Dan entah bagaimana bisa, kertas seringan ini terasa begitu berat di tangannya. Seperti beban berat yang selama ini Wonjin bawa di bahunya.
Untuk Minkyu
Ada masanya di mana hujan akan berhenti turun
Ada masanya di mana angin berhenti berhembus
Ada masanya di mana bintang berhenti berpijar
Ada masanya di mana waktu berhenti berputar
Semuanya menunggu waktu. Baik aku, kamu, dia atau bahkan mereka. Ada waktu-waktu yang tidak bisa dibayar dengan uang. Ada masa-masa yang tidak bisa diperdebatkan dengan logika. Dan ada pula celah waktu yang tidak bisa tergantikan meski terlalu banyak kata seandainya.
Seandainya aku tidak bertemu kamu, mungkin segalanya tidak akan seberat ini. Tapi apa yang bisa kusesali? Kamu adalah salah satu bagian terindah dalam hidup yang dengan baik hatinya Tuhan berikan untukku. Aku tidak menuntutmu untuk bertahan, aku selalu mempersilahkanmu pergi jika kamu menginginkannya. Namun dengan kebesaran hatimu, kamu memilih bertahan demi mendampingiku dan melindungiku dari runtuh.
Sampai pada hari ini, aku berterima kasih padamu. Jika kamu bilang aku akan terbang tanpa sayap, kamu salah. Kamulah sepasang sayang yang kumiliki.
Dari hati yang terdalam, dengan beragam jenis perasaan manusia yang penuh kebimbangan, di tengah situasi yang tidak berpihak padaku, aku mencintaimu.
Minkyuku yang berharga, tersenyumlah dan aku akan kembali padamu seperti aku yang dulu.
Kekasihmu,
Ham Wonjin.
Dan orang yang menulis surat ini, sekarang berada di meja operasi demi mempertahankan hidup yang pantas dipertahankan setelah berbulan-bulan kehilangan harapan bersama tim dokter yang berusaha keras menolong dengan semua kemampuan terbaik mereka.
Glioblastoma... bisakah kau mengalah kali ini?
Jangan lupa makan siang ya. Tetap fokus terhadap aktivitas yang kalian lakukan😉
Dan sebentar, lucunya sekumpulan manusia ini😶