Warning: This chapter contains content about the effects of violence on children, suicidal thought and behavior, mental health issues, poor self-control, toxic family, and other content that might cause uncomfortable feelings. It's forbidden to link the profession with characterizations. If you feel uncomfortable, please skip. Take care of yourself.
🌹Read at your own risk🌹
Eunwoo melirik sebentar ke arah kamar Junho, tepat di sebelah kamarnya di apartemen yang sebenarnya milik Junho. Pintunya agak terbuka dan dari luar sini, ia bisa melihat adiknya sedang duduk di pinggiran sambil menunduk mengamati sesuatu di tangannya. Eunwoo melangkah perlahan, berusaha agar suara sepatu yang belum sempat dilepaskan tidak terdengar dan menganggu apapun yang sedang Junho lakukan.
Ia bersandar di kusen pintu, mengamati adiknya yang nyatanya tidak menyadari kehadirannya, padahal ia yakin kalau ada suara ketika ia mendorong pintunya lebih lebar. "Lagi sibuk?" tanyanya pelan.
Junho mengangkat pandangannya perlahan, menatap lurus ke arah Eunwoo. "Enggak juga," jawabnya.
"Lagi lihat apa?" Eunwoo melangkah, kemudian berakhir mendudukkan dirinya di samping Junho. Ia melirik ke samping dan mulai mengerti apa yang ada di tangan adiknya. Ia tersenyum perlahan. "Kalau nggak salah, foto itu diambil nenek sewaktu umur kamu masih 3 tahun. Kepalamu nggak tumbuh rambut sampai kamu umur 5 tahun," ujarnya.
Suara tawa Junho terdengar pelan, sedikit meninggalkan kesan berat yang mendalam. "Kelihatan mirip sama Boboho ya?" tanyanya.
"Lumayan. Rambutmu dulu waktu kamu masih kecil kelihatan susah tumbuhnya, sekarang malah nggak dirawat sebentar, udah kelihatan mau panjang. Kalau mau ke rumah sakit, jangan lupa potong rambut dulu daripada dimarahin konsulen, masa datang-datang gondrongan?" Eunwoo tertawa ringan di ujung kalimatnya. Ia melirik sekali ke arah foto masa kecil Junho selama beberapa saat, kemudian berganti menatap sosok adiknya yang duduk di sampingnya.
Tanpa sadar, Junho menyentuh sedikit helaian rambutnya. Benar kata Eunwoo. Tidak dirawat sebentar saja sudah jadi lumayan panjang. Dan rasanya memang tidak lucu kalau ia datang ke rumah sakit dengan rambut agak panjang tidak rapi begini. Apa kata konsulen?
"Kamu udah lebih enakan? Kalau udah enakan, mending istirahat dulu lagi sehari sampai beneran pulih. Nggak usah maksa masuk kalau masih belum pulih, nanti malah drop lagi. Lebih susah lagi kalau kamu diranap." Eunwoo mengusak perlahan puncak kepala Junho, kemudian tersenyum lebar, dan membenarkan posisi duduknya untuk lebih rileks.
Mengobrol sebentar dengan adiknya setelah bertugas seharian di rumah sakit rasanya bisa menjadi obat penat dan melepas sebentar stress di kepalanya. Dan kelihatannya, Junho tidak keberatan kalau mereka mengobrol sebentar sebelum makan malam.
Junho menatap lewat ekor matanya, tampak sama sekali tidak risih dengan sekelumit kontak fisik yang dilakukan kakaknya. Rasanya, ia sudah terbiasa. Kalau diingat-ingat, dulu ia terbiasa mengusak rambut teman-temannya dan sekarang ada seseorang yang mengusak rambutnya.
"Boleh aku tanya sesuatu ke kamu?"
Eunwoo menoleh. Ia menurunkan tangannya dari puncak kepala Junho perlahan. Senyumnya kembali mengembang lembut. "Nggak biasanya kamu bicara pakai gaya bahasa begitu. Tapi apapun itu, tanya apapun yang pengen kamu tanyakan," balasnya.
Selama beberapa saat, Junho justru mengulur waktu, menahan pertanyannya dengan menatap lamat-lamat pada foto masa kecil dirinya di tangannya. Ada sedikit gemetar di kedua tangannya.
"Kenapa aku lahir bulan juli?"
Eunwoo memutar kepalanya perlahan. Sorot matanya berubah tidak terbaca. Seulas senyum lembut di bibirnya perlahan sirna. "Kamu tanya apa?"
"Kenapa aku lahir bulan juli?" Junho mengulangi pertanyaannya. Tangannya meremat perlahan foto di genggamannya. Gemetar di tangannya paling tampak di kelingkingnya. Ia menatap Eunwoo lewat ekor matanya. Sorot matanya turut berubah ketika netranya bersitatap dengan sepasang netra kakaknya. "Di album foto yang disimpan mama, di sana ada foto hasil USG dan mama nulis kalau mama hamil aku bulan desember. Harusnya aku lahir sekitar bulan september, tapi kenapa aku lahir bulan juli? Dua bulan lebih awal."
Eunwoo tidak kunjung menjawab. Napasnya memberat. Ia tidak pernah tahu kalau adiknya akan mengetahui sesuatu yang tidak pernah diberitahukan lewat sebuah album foto dan menyakan langsung padanya. Sejujurnya, ia tahu kebenaran dan cerita mengapa adiknya lahir 2 bulan lebih awal daripada yang semestinya, tapi cerita itu jelas bukanlah cerita yang ingin anak manapun dengar, termasuk dengan Junho. Meski Junho sendiri yang mempertanyakannya, ia tidak yakin bahwa cerita itu akan menjadi titik terang.
Ia justru ragu kalau cerita itu hanya akan menjadi titik gelap dalam hidup adiknya. Rentetan luka di dalam hati anak itu belum sembuh, traumanya masih panjang, dan cerita itu hanya akan menambah nestapa dalam hidup adiknya yang baru 22 tahun.
"Kalau mama emang hamil bulan desember, harusnya aku lahir bulan september atau sekitar bulan itu. Bukan bulan juli. Tapi aku lahir bulan juli. Aku lebih tua dibanding beberapa temanku. Eunsang lahir bulan oktober, Minhee lahir bulan september, Yohan juga lahir bulan september, Dongpyo sama Hyungjun lahir bulan november, kecuali Minkyu sama Wonjin yang sama-sama lahir bulan maret. Mereka lebih tua. Kalau mama hamil aku desember, harusnya aku lahir di bulan yang sama kayak Minhee sama Yohan."
Eunwoo masih memilih bungkam. Ia mendengar semua perkataan adiknya, tapi ia terlalu tidak tahu harus menjawab dengan kalimat bagaimana. Tidak mudah mengatakan sebuah cerita dari kenyataan pahit yang bahkan sangat ingin diketahui Junho. Mungkin sekarang Junho ingin mengetahuinya, tapi apa kamungkinan yang bisa terjadi setelah ia mengatakan segalanya secara gamblang?
Eunwoo menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. Junho masih menatapnya lewat ekor matanya. Ia tahu, Junho menuntut jawaban. Tapi jawaban dengan kalimat seperti apa yang pantas ia berikan?
"Aku cuma pengen tau, kenapa aku harus lahir bulan juli? Secara hitungan, lahirku terhitung prematur. Kalaupun benar prematur, kenapa? Pasti ada alasannya. Aku nggak akan menyalahkan mama walaupun aku lahir prematur."
Eunwoo menghela napas berat, ia mengangguk. "Iya, kamu lahir prematur saat usia kandungan mama 7 bulan. Harusnya kamu lahir di bulan yang sama dengan Minhee atau Yohan, tapi kamu lahir lebih dulu. Tengah malam hari itu, kamu dipaksa lahir sebelum waktunya."
Kali ini Junho berhenti bertanya. Tidak ada satu bantahan pun keluar dari bilah bibirnya. Ia hanya diam, menunduk dalam, kemudian menggigit bibir bawahnya perlahan. Napasnya berubah tidak beraturan. Rahangnya mengeras.
"Kamu diselamatkan lewat SC CITO tepat tengah malam, tapi kondisimu saat itu buruk. Kami hampir kehilangan kamu. Ada permasalahan di paru-paru dan jantungmu, yang mungkin istilahnya pernah kamu dengar - persistent pulmonary hypertension in the neonate - dan karena diagnosa itu, kamu harus dirawat di NICU. Waktu itu kakak juga masih kecil, nggak tau apa-apa, bersuara pun nggak akan didengar. Kakak hanya bisa berharap ke mama, papa, dan nenek. Kakak tau kondisimu buruk atau mungkin kakak bisa kehilangan kamu sebelum sempat ketemu beneran. Tapi mama melahirkan anak hebat. Kamu bisa bertahan."
Junho masih tidak menjawab. Kepalanya menunduk semakin dalam. Ia meremat foto masa kecilnya kian erat. Napasnya tampak tercekat. Sebuah kenyataan yang tidak pernah ia tahu selama 22 tahun ia hidup seperti sebuah tamparan keras di wajahnya.
"Karena kamu lahir prematur dan pernah ada permasalahan di kedua organ dalammu, pertumbuhan dan perkembanganmu agak terhambat. Saat anak-anak seusia kamu ketika umur 2 tahun udah bisa bicara meskipun ngawur, kamu terlambat bicara. Kamu juga terlambat jalan. Berat badan dan tinggi badanmu juga susah bertambah. Kamu punya kesulitan memahami perkataan orang dan saat kamu udah mulai masuk sekolah, kamu juga kesulitan belajar. Mungkin bukan hanya perihal lahirmu yang prematur, tapi juga karena apa yang udah kamu terima dari keluargamu sendiri. Kakak minta maaf karena nggak bisa jadi kakak yang selalu ada dan siap membela kamu."
Junho tampak menghapus setitik air mata yang jatuh ke pipinya dengan punggung tangannya, kemudian menghapusnya perlahan. "Mungkin karena itu papa nggak berkenan aku ada. Aku yang lahir prematur dengan segala permasalahan organku saat itu, pasti jadi masalah besar yang akhirnya bikin papa nggak suka dengan keberadaanku. Belum lagi dengan aku yang terlambat jalan, terlambat bicara, pertumbuhanku yang lambat, sulit memahami perkataan orang lain, kesulitan belajar, dan untuh bertahun-tahun setelahnya, aku justru hidup dengan penyakit mental. Mungkin karena semua itu, papa nggak berkenan aku ada. Papa nggak suka aku ada karena aku adalah definisi lain dari masalah, aib, dan keburukan buat keluarganya."
Eunwoo menggeleng pelan. "Bukan begitu. Kehadiran kamu punya--"
"Karena aku berbeda, papa berusaha membentuk aku jadi salah satu di antara kalian. Jadi seperti Myungsoo atau jadi seperti kamu untuk menutupi semua aib yang kubawa sejak kelahiranku. Tapi aku bukan kalian. Bahkan sejak lahir, ketidaksempurnaanku jauh lebih banyak. Aku nggak bisa jadi Myungsoo kedua dan aku nggak bisa jadi Eunwoo kedua. Aku hanya bisa jadi masalah dan aib yang nggak disukai dan dibenci papa. Makanya, aku hanya jadi gelandangan di dalam keluargaku sendiri."
"Kamu bukan gelandangan. Apapun yang kamu lihat dari dirimu, kamu tetap adikku. Kakak senang sewaktu mama bilang kalau kakak bakalan punya adik dan lebih senang lagi saat mama bilang kalau perkiraan jenis kelamin calon anak ketiganya itu laki-laki. Artinya, kakak bakal punya adik laki-laki yang bisa diajak main bareng, meskipun nyatanya kakak nggak bisa ja--"
Junho menoleh perlahan. Sorot matanya tampak terluka, ada senyum tipis di bibirnya. "Nggak papa kok meskipun aku lahir prematur. Nggak ada yang salah dari lahir prematur. Tapi sebagaimanapun juga, aku tetap ingin dianggap sebagai anak oleh papaku dan dianggap sebagai adik oleh kakak pertamaku. Kehadiranku mungkin masalah, tapi aku juga tetap anak yang masih butuh papanya. Aku penasaran rasanya dipeluk papa, dipuji karena hal yang aku lakukan, ditepuk punggungnya karena melakukan hal yang hebat, ditegur karena kesalahanku, dinasehati karena perilakuku salah, dan diceritakan penuh kebanggaan. Jangankan beberapa hal terakhir, hal sederhana kayak pelukan aja, aku nggak pernah tau gimana rasanya. Aku... nggak mungkin membenci papaku karena kalau nggak ada dia, aku nggak akan ada. Aku hanya benci diriku sendiri karena aku lahir dan masih bisa bertahan meskipun nggak diinginkan, juga nggak bisa jadi anak yang diharapkan untuk diakui papaku sendiri. Maksudku, aku benci diriku karena aku hanya lahir untuk jadi masalah dan aib."
"Jangan pernah benci dirimu sendiri. Apapun kenyataan udah kamu dapatkan, jangan pernah menghakimi dan membenci dirimu sendiri..." Eunwoo meraih tangan Junho yang dingin dan kaku, menggenggamnya perlahan, meski ia merasakan gemetar luar biasa di sana. Karena papalah yang bikin kamu jadi begini. Jangan benci dirimu sendiri.
Junho terkekeh pelan, menatap lamat-lamat tangan Eunwoo yang menggenggam tangannya. "Lucu banget. Dulu aku pernah dengar cerita Eunsang kalau dia lahir prematur dan menasehati dia karena kenyataan yang kutau selama ini adalah lahirku normal. Ternyata, nasib kami hampir sama. Tapi Eunsang tetap lebih baik. Ratusan kali lebih baik daripada aku."
Hati Eunwoo mendadak mencelos. Dari sekian banyak kalimat yang dikatakan Junho, pembandingan hidup justru yang membuat hatinya sakit. Ia tahu, adiknya terluka, tapi masih berusaha menutupi itu dengan caranya sendiri.
Junho menoleh menatap Eunwoo sekali lagi. Senyum di bibirnya luntur perlahan, sorot terluka di matanya kian kentara. Raut wajahnya tampak khawatir. "Egois nggak kalau aku berharap bisa dipeluk papa, meskipun papa sama sekali nggak berkenan untuk itu? Egois nggak kalau aku berharap bisa dianggap adik, meskipun Myungsoo sama sekali nggak berkenan menganggap aku adiknya?"
"Nggak ada yang egois dari keinginan seorang anak untuk dipeluk papanya sendiri dan nggak ada yang egois dari keinginan seorang adik untuk dianggap adik oleh kakaknya sendiri."
Senyum penuh kelegaan Junho mengembang. "Syukurlah. Kupikir, aku bakal jadi egois karena memaksakan sesuatu yang nggak nggak diinginkan papa atau Myungsoo."
Hati Eunwoo kian mencelos mendengarnya. Meski Junho mengatakannya begitu tenang, Eunwoo justru merasa khawatir mendengarnya. Bahkan senyum itu tampak begitu palsu di matanya.
"Aku lapar. Kebetulan belum makan malam. Mau bikin makan malam bareng?"
Eunwoo susah payah mengangkat kedua sudut bibirnya untuk tersenyum. Ia mengangguk. "Boleh. Kakak bisa masak sedikit-sedikit. Kamu mau makan malam pakai apa?"
Senyum Junho kian melebar, kemudian timbul sepasang eye-smiled yang begitu mirip dengan milik kakak di sampingnya. "Apapun itu, kelihatannya enak. Seenggaknya sekali dalam seumur hidup, aku pernah ngerasain masakanmu."
Cha Junho yang terlahir pada tanggal 9 juli, sekitar 22 tahun lalu, ternyata sudah besar.
Selamat pagi dan selamat beraktivitas🌹
Bentuk tabung dan kapsul lithium milik Junho yang pernah muncul di Coass Cooperate 3.0 bab Midnight Jogging, A Cycle That Never Ends beberapa waktu lalu🌹
Obat ini termasuk dalam golongan mood stabilizer dan kategori obat resep, yang digunakan untuk mengendalikan fase mania dan depresi pada gangguan bipolar.
Obat ini diresepkan oleh psikiater (Sp.KJ) sesuai dengan kondisi pasiennya. Artinya, obat ini tidak boleh dikonsumsi sembarangan tanpa arahan dan resep dari psikiater.
Kuingatkan, jangan sampai melakukan self-diagnosed untuk sebuah gangguan mental ataupun gangguan kepriadian. Tapi kita lihat dulu, apa sih definisi dari self-diagnosed itu?
Self-diagnosed adalah upaya untuk mendiagnosa diri sendiri secara mandiri berdasarkan informasi yang kita dapat secara mandiri. Pendiagnosaan suatu keadaan fisik dan psikis pasien hanya boleh dilakukan oleh tenaga medis profesional atau ahli karena menegakkan suatu diagnosa yang tepat adalah hal yang sulit. Kamu bisa saja harus menjalani pemeriksaan lanjutan karena dugaan terhadap suatu penyakit tidak bisa disimpulkan begitu saja.
Ada beberapa bahaya saat kamu melakukan self-diagnosed tanpa mengkonsultasikan dengan tenaga medis profesional, seperti diagnosa yang salah, adanya gangguan kesehatan yang lebih serius tidak terdeteksi, salah mengkonsumsi obat, bisa memicu gangguan kesehatan yang lebih parah, dan akan muncul labeling diri sendiri yang salah.
Salah satu gangguan mental yang banyak diself-diagnosed adalah gangguan bipolar. Beberapa orang membaca gejalanya di internet, kemudian mencocokkan dengan apa yang terjadi pada dirinya dan berakhir melabeli dirinya dengan gangguan bipolar. Beberapa lagi ada yang mengikuti tes online di internet dan mempercayai hasilnya bahwa ia memiliki gangguan bipolar. Salah satu ciri yang banyak disalahartikan mengapa gangguan bipolar banyak diself-diagnosed adalah perubahan suasana hati yang kita kenal sebagai mood. Padahal ada pemeriksaan panjang dan rumit bagi seorang psikiater untuk mendiagnosa seseorang dengan gangguan bipolar.
Mengingat lagi bahwa gangguan bipolar memiliki beberapa jenis dan bipolar juga memiliki gejala yang mirip dengan BPD (Borderline Personality Disorder), maka kita tidak bisa mendiagnosa diri kita dengan gangguan bipolar setelah membaca gejalanya di internet tanpa berkonsultasi dengan tenaga ahli psikiater ataupun psikolog karena sama halnya dengan gangguan kesehatan lain, gangguan bipolar memiliki tatalaksana. Jika seseorang sudah didiagnosa dengan gangguan bipolar, psikiater dan psikolog akan bekerja sama menentukan perawatan yang perlu diterima oleh pasien tersebut, seperti psikoterapi dan psikofarmakoterapi.
Oh ya, jangan meniru tindakan yang Junho lakukan di Coass Cooperate 3.0 bab Midnight Jogging, Cycle That Never Ends😉
Semoga bermanfaat. Jaga kesehatan dan sampai jumpa😊🌹