Warning: This chapter contains content about the effects of violence on children, suicidal thought and behavior, mental health issues, poor self-control, toxic family, and other content that might cause uncomfortable feelings. It's forbidden to link the profession with characterizations. If you feel uncomfortable, please skip. Take care of yourself.
🌹Read at your own risk🌹
"Woo, tolong nanti kamu ijin dulu ya kalau ada jadwal jaga malam. Tolong jagain Junho di sini, mama harus pulang ke rumah sebentar, Myungsoo minta mama pulang. Mumpung nanti malam papamu nggak di rumah."
Junho membuka matanya perlahan, kemudian mengaduh menahan sakit sejenak ketika kepalanya kembali berdenyut nyeri bukan main. Rasa nyerinya lebih menyakitkan daripada nyeri yang ia rasakan sebelum-sebelumnya. Belum lagi ditambah dengan tubuhnya yang lemas bukan main, ia tidak melakukan apapun selain menggerakkan tubuhnya ringan demi menghalau nyeri di kepalanya.
Dan jika saja sekarang ia bisa berdiri di depan cermin, ia pasti sudah tampak seperti hantu saking pucatnya. Juga tampak seperti pelari marathon karena keringat dinginnya.
"Mama minta aku ijin jaga malam buat jaga Junho di sini, sementara mama pulang ke rumah buat kak Myungsoo? Mama pikir itu adil?"
Junho menatap ke arah pintu kamarnya sejenak. Kepalanya kembali berdenyut nyeri, nyaris menguasi seluruh kepalanya. Dan dengan keadaan kepala nyeri bukan main, ia mendengar kakak dan mamanya berbincang, sepertinya dari arah dapur. Junho tidak terlalu yakin.
"Hanya malam ini, Woo. Myungsoo minta mama pulang sebentar dan kebetulan papamu nggak di rumah, jadi mama mau pulang sebentar. Myungsoo juga butuh mama. Tolong mengerti, Eunwoo. Kakakmu juga anak mama."
"Ma, kak Myungsoo bukan anak kecil yang harus selalu mama urusi keperluannya. Dia yang tertua di antara kami dan dia laki-laki dewasa. Mama nggak perlu memperlakukan kak Myungsoo seperti anak SD yang nggak bisa apa-apa. Bukan aku yang nggak mau mengerti kakakku sebagai anak mama juga, tapi kak Myungsoo yang terlalu kekanakan dan mama yang nggak bisa menempatkan diri sesuai situasi."
Junho berguling ke samping. Meski kepalanya terasa nyeri bukan main dan badannya teramat lemas, ia bisa mendengar semua yang dikatakan kakak dan mamanya. Walaupun terdengar agak samar, ia tetap bisa memahami maksudnya secara jelas.
Mereka tengah membicarakan rencana siapa yang menjaganya malam ini ketika Eunwoo sedang memiliki jadwal jaga malam dan mamanya yang akan pulang ke rumah untuk Eunwoo. Tapi tetap, inti perdebatan mereka adalah dirinya.
"Eunwoo, jangan egois. Bagaimanapun dia kakakmu dan dia tetap anak mama. Berapapun usianya, itu nggak akan merubah status Myungsoo sebagai anak mama."
"Ya, seberapa pun usianya, mama akhirnya memperlakukan kak Myungsoo seperti anak-anak setelah mama menggugat cerai papa. Kalau mama menganggapku egois, aku lebih bisa menganggap mama nggak berperasaan. Daripada kak Myungsoo, Junho lebih butuh perhatian mama. Bagaimana mama bisa memperlakukan kak Myungsoo seperti anak kecil dan memperlakukan Junho seperti seharusnya mama memperlakukan kakak?"
Denyutan nyeri di kepala Junho kian menjadi. Ia menggigit bibir bawahnya perlahan, mengernyit dalam menahan nyeri di kepalanya.
"Eunwoo, mama nggak pernah ngajarin kamu ngomong sekasar itu."
"Ya, mama nggak pernah ngajarin aku ngomong sekasar itu, tapi apa yang mama lakukan akhirnya memaksa aku ngomong sekasar itu. Ma, kak Myungsoo itu udah dewasa, dia bahkan udah spesialis, dia bisa mandiri kalaupun hanya ditinggal papa sehari. Hanya sehari. Sedangkan Junho, dia yang paling kecil di antara kami, dia sakit, dan dia lebih butuh mama daripada kakak. Lalu aku? Ma, aku masih residen, aku masih terikat studi yang menentukan hasil pendidikanku. Dan mama dengan mudahnya mengesampingkan kami yang lebih belum bisa mandiri dari kakak hanya untuk kakak yang bahkan udah mampu berdiri di atas kakinya sendiri? You're selfish."
Junho sadar, seharusnya ia tidak menjadi sumber perdebatan kakak dan mamanya pagi ini. Mereka harus berangkat ke rumah sakit dengan perasaan senang, bukan berangkat dengan perasaan dongkol di hati masing-masing dari mereka, lagipula sakit seperti ini tanpa siapapun yang menjaga, ia sudah terbiasa.
Bertahun-tahun hidup sendiri dengan keadaan buruk dan baik yang datang silih berganti, kenyataannya sudah membuatnya terbiasa melakukan segalanya sendiri. Ia pernah bebeberapa kali sakit, bahkan pernah sampai harus bedrest tanpa seorangpun yang benar-benar menjaga dan merawatnya. Ia terbiasa menjaga dan merawat dirinya sendiri, bahkan sejak ia kecil. Kenapa sekarang ia harus menjadi bahan perdebatan?
Namun meski begitu, Junho tidak mau menghakimi Eunwoo. Kakak keduanya itu sedang berusaha membelanya, meski Junho sendiri tidak yakin kalimat-kalimat Eunwoo akan benar-benar berguna jika yang ditentangnya adalah permintaan Myungsoo.
"Aku menghormati kak Myungsoo sebagaimanapun dia karena dia kakakku, sama seperti aku masih menghormati papa sebagaimanapun buruknya perlakuan dia ke adikku karena dia tetap papaku. Dan mama, aku selalu berusaha yang terbaik untuk mama karena aku sadar, mama menaruh harapan besar. Tapi untuk saat ini, maaf, aku nggak bisa jadi anak penurut. Adikku berhak diperlakukan adil tanpa harus jadi korban dari kakaknya sendiri. Ingat, kak Myungsoo itu anak sulung mama, jadi berhenti memperlakukan kakak seperti anak kecil. Dia orang dewasa dan biarkan dia bersikap sebagaimana orang dewasa. Jangan minta Junho atau aku memahami kakak, sebelum kakak belajar bagaimana memahami dan menghargai adik-adiknya."
Junho menarik selimutnya ke atas, menutupi wajahnya. Dadanya terasa sesak, kontras dengan kepalanya yang nyeri. Namun sekarang hal itu bukanlah masalah utamanya. Masalah utamanya kini adalah dadanya yang terasa sesak sebab hatinya yang terasa sakit.
Eunwoo terus membelanya, sementara mamanya tetap berada di tengah bimbang antara dirinya atau Myungsoo. Sementara percakapan antara kakak pertama dan papanya hari itu berkelebat dalam pikirannya. Apakah hanya Eunwoo satu-satunya keluarga yang ia punya? Memangnya keluarga itu apa? Bagaimana rasanya dikhawatirkan kedua orang tua?
Air mata Junho merembes turun. Dadanya kian terasa sesak, ada sesuatu di dalam sana yang siap untuk meledak. Namun ia sendiri tidak tahu itu apa. Mungkin saja semacam pertanyaan, siapa dirinya dalam keluarganya? Apa arti dirinya dalam keluarga yang masih ia sebut keluarga?
Teman-temannya memiliki keluarga yang baik-baik saja. Minkyu, Yohan, dan si kembar memiliki kedua orangtua lengkap yang memberikan perhatian, meskipun orangtua mereka menyebalkan. Minhee masih memiliki seorang mama yang menyayanginya, meski harus menjadi saksi betapa tragis kematian papanya. Juga Eunsang yang meskipun belum pernah bertemu mamanya, anak itu hidup dalam limpahan kasih sayang dari papa dan kakaknya. Sementara dirinya? Dicintai oleh sebagian kecil keluarganya nyaris seperti kesalahan dan hal yang tak pantas diterimanya, sehingga rasanya tidak ada tempat yang pantas untuknya di dalam keluarga tempatnya berasal.
Kalau saja ada benda ajaib di dunia ini yang bisa mengabulkan permohonan dengan cepat, ia ingin menjadi orang lain saja. Bukan menjadi Cha Junho, karena menjadi Cha Junho itu tidak seindah apa yang orang lain bayangkan. Bahkan jika hanya menjadi kupu-kupu pun, rasanya akan lebih menyenangkan, daripada keadaannya yang sekarang. Atau mungkin lebih menyenangkan daripada keadaan sejak ia dilahirkan.
Menjadi Cha Junho tidak sebaik apa yang orang lain bayangkan. Tidak ada gunanya jika ia mendengar banyak orang yang iri akan hidupnya, karena mereka sejatinya tidak pernah melihat bagian paling hancur dalam dirinya. Mereka hanya mengenal Cha Junho dengan tingkah sembrono, slengekan, tidak bisa diatur, banyak bercanda, dan tertawa keras seperti tidak punya sopan santun. Tapi mereka tidak pernah tahu luka-luka yang nyaris membuatnya tidak sanggup berdiri, meski hanya sekedar untuk meminta tolong.
I laughed the loudest, who'd have known?
Aku tertawa paling keras, siapa yang akan tahu?
"Dek, udah bangun?"
Junho buru-buru menghapus air matanya dan menurunkan selimutnya ketika pintu kamarnya terbuka perlahan. Ia melihat Eunwoo masuk dengan kemeja navy, celana hitam, dan seperangkat stetoskop di tangannya.
"Kepalanya masih pusing?" tanyanya sembari mendudukkan diri di pinggiran ranjang sembari memasangkan stetoskop yang dibawanya.
Junho mengangguk samar. "Lumayan," jawabnya.
Eunwoo mengangguk beberapa kali, memeriksanya dengan stetoskop dan termometer bergantian. "Agak siang nanti kita ke rumah sakit ya? Poli Umum buka jam 8 pagi, tapi kakak masih ada lapkas sekitar jam segitu. Nanti jam 10, kakak jemput. Kalau perlu dirujuk ke spesialis, nanti biar kakak yang urus rujukannya, sekalian ngurus ijinmu ke stase yang sekarang. Stase paru?"
Junho mengangguk singkat. Meski ia mengatakan lumayan sebagai jawabannya, nyatanya kepalanya nyeri luar biasa. Hanya saja, ia tidak mau membuat Eunwoo lebih khawatir dan mengesampingkan hal yang tidak perlu dikesampingkan.
"Dari gejalanya, mungkin anemia. Biar nanti selesai lapkas, kakak ngobrol dulu sama dokter Dongho ke Interna. Untungnya beliau konsultan hematologi." Eunwoo tersenyum sekilas, kemudian melepas stetoskopnya. Ia menyentuh pelan dahi Junho dan menyingkirkan anak rambutnya. "Kakak ambilin sarapan sama obat sementaramu dulu ya? Obat-obatan dari psikiater diminum nanti aja, dikasih jeda sama obat yang sekarang harus kamu minum. Sekalian kakak ambil tensimeter dulu."
Junho hanya mengangguk tanpa berkomentar, kemudian menatap punggung kakaknya yang berlalu menuju pintu kamarnya, meninggalkannya dengan kepala nyeri dan badan lemas yang tidak ada apa-apanya dengan rasa sesak dalam dadanya.
Ternyata benar apa yang papanya katakan. Ia hanya bisa membuat masalah dan menyusahkan orang lain.
This pain is just too real
Rasa sakit ini memang nyata
There's just too much that time cannot erase
Terlalu banyak hal yang tak bisa dihapuskan oleh waktu
Junho nggak ke mana-mana kok, dia di apartemennya hehehe🌹
Bab ini didukung oleh Adam Song's milik Blink 182 dan My Immortal milik Evanescence💕