Warning: This chapter contains content about the effects of violence on children, suicidal thought and behavior, mental health issues, poor self-control, toxic family, and other content that might cause uncomfortable feelings. It's forbidden to link the profession with characterizations. If you feel uncomfortable, please skip. Take care of yourself.
🌹Read at your own risk🌹
Playground's school bell rings again
Bel di taman bermain sekolah berdentang lagi
Eunwoo turun tergesa-gesa dari taksi yang ditumpanginya sambil memegangi lingkaran celana bagian depannya. Bangun terlambat dan salah melihat jam membuatnya tidak berpakaian dengan benar dan sabuknya... ia malah salah memakai sabuk milik Junho, kemudian mengatur sabuk itu terlalu kecil di pinggangnya. Sekarang sabuk itu nyaris membuat pinggangnya pegal dan perutnya seperti ingin melompat ke depan. Bagaimana bisa ia muncul di depan anak-anak dengan penampilannya yang tidak nyaman dan perutnya yang seperti membumbung ke atas? Mereka pasti akan menyebutnya gendut, padahal ia sama sekali tidak gendut.
Ia menggeleng sambil memegangi bagian depan sabuknya, berusaha membuat sabuk itu tidak terlalu memeluknya, sementara tangannya yang lain mendorong pintu kamar mandi agak tergesa-gesa. Ia butuh ke kamar mandi sekarang dan membenarkan sabuk ini atau ia tidak akan bertahan hingga poli selesai. Dan pasti akan membuat sekitar perutnya pegal setelah seharian. Padahal, ia butuh tenaga ekstra untuk jaga malam hari ini.
"Eunwoo..."
Rain clouds come to play again
Awan hujan mulai bermain lagi
Pintu terbuka dan satu-satunya yang Eunwoo lihat adalah adiknya yang tampak berdiri dengan seragam jaga di depan salah satu bilik toilet. Ia menegakkan tubuhnya dan menatap sosok adiknya lamat-lamat. Junho tampak agak kaget, menggenggam sebuah pil box organizer dengan warna-warna lucu di tangannya, genggamannya beguitu erat, dan tatapan matanya tampak tidak tenang. Netranya yang gelap tampak nyaris tidak memantulkan cahaya. Hanya benar-benar gelap dan terasa dingin.
Eunwoo mendekat, mengabaikan sabuk yang membebat pinggangnya. "Kamu kenapa, dek?" tanyanya pelan. Ia membawa dirinya terus mendekat, berdiri tepat setelah bahu kanan Junho.
Junho membuang pandangannya ke arah lain, genggamannya pada kotak obat berwarnanya kian mengerat. Bahkan Eunwoo bisa mendengar suara plastik keras beradu dengan kuku Junho. "Bukan apa-apa," jawabnya kaku.
Has no one told you (s)he's not breathing?
Belum adakah yang memberitahumu bahwa dia sudah tak bernafas?
"Kenapa? Kok belum ganti seragamnya?" Eunwoo menyentuh pelan bahu Junho. Terasa ada ketegangan besar di bahu adiknya. Ia mencoba mencengkramnya pelan, tapi ketegangan di sana terasa semakin menjadi-jadi.
Junho masih memilh tidak menatap Eunwoo. Kepalanya agak tertunduk. Ia menurunkan kedua tangannya ke kedua sisi tubuhnya, membiarkan kotak obatnya jatuh tepat di depan ujung sepatu pantofel Eunwoo. "Bukan apa-apa," jawabnya. Suaranya lirih, terdengar lebih dingin.
Eunwoo mengangguk beberapa kali. Memaksa Junho mengatakan sesuatu jelas bukan tindakan yang tepat. Junho lebih senang membicarakan sesuatu secara terbuka jika ia menghendakinya. Memaksa Junho untuk berbagi sama dengan memberi tekanan padanya, Eunwoo memahami itu. Ia tidak bisa memaksa lebih jauh karena tempat ternyaman bagi Junho berbagi masih bukan dirinya. Ia masih memiliki kesan orang asing dalam hidup Junho, meski sebenarnya mereka sudah mencoba hidup berdampingan sebagai saudara.
Ia menepuk bahu Junho sekali lagi, mencoba mengulas senyum, meski Junho memilih tidak melihatnya. "Kakak benerin sabuk dulu ya. Kalau kamu mau ke ruang koass, langsung aja ke sana. Nanti kalau ada waktu, makan siang bareng ya?"
Hello, I am your mind giving you someone to talk to
Halo, aku adalah pikiranmu yang memberimu teman bicara
Eunwoo terkejut ketika dirinya baru mengangkat kaki kanannya untuk melangkah memasuki saah satu bilik toilet, Junho memeluknya. Ia terdiam sejenak dan setengah mengira kalau Junho hanya akan memeluknya sekilas, kemudian pergi begitu saja seperti orang yang menyimoan begitu banyak rahasia - memang rahasia Junho terlalu banyak - tapi ternyata ia salah. Junho bertahan memeluknya, lebih dari 10 detik. Dan Eunwoo jelas tidak bisa mengabaikan mengapa adiknya mendadak bersikap seperti ini. Junho tidak suka diperlakukan manis olehnya, ia tahu itu. Tapi ini...?
Kedua tangan Eunwoo terangkat membalas pelukan Junho. Tubuh adiknya masih terasa menegang dan terasa begitu asing dalam pelukannya. Ia pernah memeluk Junho beberapa kali. Sekali ketika Junho masih bayi, sekali saat Junho berusia setahun, sekali saat Junho berada di rehabilitasi, dan sekali setelah Junho keluar dari rehabilitasi dan pulang ke apartemen. Tapi memeluk Junho tidak pernah terasa seasing ini baginya.
If I smile and don't believe
Jika aku tersenyum dan tak percaya
"Thanks udah nganggap gua ada dalam keluarga kita dan menentang keadaan demi gua. Tindakan lo bodoh, tapi gua berterima kasih..."
Eunwoo tersenyum. Ia mengusap punggung Junho beberapa kali. Kalimat terima kasih Junho sama sekali tidak membuatnya terenyuh atau terharu. Lebih daripada perasaan terharu, ia merasa secercah ketakutan mulai tumbuh dalam dadanya ketika Junho mengatakannya. Katakanlah ia terbiasa dengan sikap dan ucapan barbar Junho, ia lebih senang adiknya berlaku seperti itu padanya. Rasanya lebih ekspresi dan lebih Junho, daripada sekarang. Bukan ia tidak mau menerima rasa terima kasih adiknya, tapi untuk apa? Apa yang ia lakukan adalah hal wajar yang seharusnya seorang kakak lakukan, bukan?
"Maaf karena kehadiran gua hanya jadi masalah buat kalian. Buat lo, buat mama, buat papa, juga buat Myungsoo. Kehadiran gua mungkin bukan apa-apa bagi kalian karena sebenarnya hidup gua juga bukan apa-apa bagi gua. Siapa gua? Kenapa gua harus lahir? Atau kenapa gua harus hidup sampai sekarang? Gua nggak tau jawabannya, bahkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut diri gua sendiri. Gua cuma hidup dalam kebohongan dan lo mempertaruhkan segalanya yang lebih nyata buat kebohongan yang lo sebut adik, Woo."
Usapan Eunwoo di punggung Junho terhenti. Ia menatap sejenak adiknya yang masih bertahan memeluknya. Rasa takutnya tumbuh ke arah yang makin tinggi. "Nggak perlu meminta maaf buat hal yang bukan kesalahanmu. Lagipula, ini gunanya keluarga, kan?" balasnya.
Soon I know I'll wake from this dream
Segera kutahu aku kan bangun dari mimpi ini
"Keluarga itu apa? Kenapa gua nggak pernah dianggap ada?"
Pelukan Junho mengerat. Eunwoo bisa merasakan adiknya perlahan meletakkan kepala di bahu kirinya, menyandar penuh putus asa di sana. Ketegangan di tuvuh Junho perlahan menghilang, berganti dengan gemetar yang bisa Eunwoo rasakan ketika kedua lengannya masih balas memeluk Junho.
"Gua mungkin nggak pernah diharapkan ada dalam suatu tempat yang lo sebut keluarga, tapi kalau boleh gua tau, apa itu keluarga? Siapa mereka? Kenapa gua nggak pernah dianggap ada? Kenapa gua harus jadi gelandangan yang mengemis diberi makan di tempat yang lo sebut keluarga?" Suara Junho yang mulai bergetar, tercekat. Ada emosi yang berusaha ditekan dalam suaranya. Ditekan begitu dalam sampai terasa begitu sakit untuk disampaikan.
Don't try to fix me, I'm not broken
Jangan coba menyembuhkanku, aku tidak hancur
Pelukan Junho kali ini mengendur, namun kepalanya tetap disandarkan pada bahu kiri Eunwoo. Perlahan justru Junho menyembunyikan wajahnya di perpotongan bahu Eunwoo, napasnya terasa memberat, dan tubuhnya terasa semakin gemetar.
Eunwoo memandangi Junho dalam pelukannya. Ia ragu kalau adiknya baik-baik saja. Junho mungkin tidak terdiagnosa seragangan panik, tapi PTSD-nya bisa memicu kepanikan yang nyaris tidak mudah dikendalikan. Belum lagi dengan bipolar dan gangguan depresi mayornya yang belum sepenuhnya bisa dikendalikan, meski Junho telah menerima ketiganya.
"Mungkin gua egois, tapu kalau seandainya gua mati hari ini dan bisa lahir kembali, gua pengen lahir di keluarga yang mau menerima gua. Mungkin gua kelihatan benci tempat atau apapun yang lo sebut keluarga, tapi gua tetap anak yang pengen ngerasain rasanya disayang dan dipeluk papa gua sendiri. Konyol rasanya saat gua nangis hanya karena dipeluk orang lain karena gua nggak pernah sekali ngerasain rasanya pelukan papa gua gimana. Sebagai orang yang pernah dipeluk papa, rasanya gimana, Woo?"
Eunwoo tidak bisa menjawab. Ia tidak bisa mendeskripsikan segalanya, bahkan ketika Junho mungkin menuntut jawabannya. Bagaimana ia tega mengatakannya seakan merasakan untuk dirinya sendiri, tanpa membagi dengan adiknya?
"Rasanya dipeluk, dipuji, dan dibanggakan papa itu gimana, Woo? Mungkin lo bukan anak kesayangan papa, tapi sedikit banyak, lo pernah dipeluk papa. Rasanya gimana? Hangat? Aman? Menenangkan? Tell me, Woo."
Hello, I am the light living for you so you can't hide
Halo, akulah cahaya yang hidup untukmu agar kau tak bisa sembunyi
Selamat sore. Hari ini tidak terlalu menyenangkan, ternyata bukan genjutsu - Hwang Yunseong🐴
Nanti malam, jangan lupa makan malam ya. Jaga kesehatan🌹