Midam membuka perlahan pintu kamar adiknya. Ia mengintip ke dalam dan menyunggingkan seulas senyum ketika adiknya tampak duduk di balik meja belajar, sibuk dengan aktivitasnya. "Lagi belajar?" tanyanya pelan. Ia membuka lebih lebar pintu kamar adiknya dan mendekat beberapa langkah.
Eunsang yang semula sibuk dengan beberapa textbook terbuka di samping laptopnya menoleh. Senyum lembutnya mengembang seperti biasanya. "Enggak kok. Lagi ngerjain referat, kak," jawabnya.
"Kakak ganggu sebentar boleh?" Midam mendudukan diri di tepi ranjang, tepat di belakang kursi belajar tempat Eunsang duduk berhadapan dengan banyak buku terbuka. Ia tersenyum sesaat ketika melihat adiknya akhirnya memilih bangkit dan duduk di sebelahnya. "Maaf ya kalau ganggu waktu kamu belajar. Ada yang pengen kakak bicarain berdua sama kamu, Sang."
Eunsang mengangguk mengerti beberapa kali. Ia memutar tubuhnya berhadapan dengan Midam. "Kakak mau ngomong apa?"
Setelah pertanyaan Eunsang, Midam terlihat ragu sejenak. Ia membuka mulutnya, kemudian menutupnya. Dan mengulangnya beberapa kali.
Eunsang menyentuh pelan lengan kakaknya, berusaha menyalurkan ketenangan. "Kakak mau bilang apa? Eunsang pasti dengerin kok," katanya.
Midam menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. "Kakak berencana buat jual rumah ini, Sang."
Pada akhir perkataan Midam, tangan Eunsang yang semula mengusap pelan lengan Midam, jatuh ke tempat tidur. Ia menantap kakaknya tidak mengerti, tatapannya terletak antara definisi bingung, meminta penjelasan, menolak, dan penuh kesenduan.
Sepasang netra Eunsang terlihat gugup, kebingungan saat itu juga. "Eunsang salah dengar?" tanyanya lirih.
Midam menggeleng pelan. "Kakak udah mempertimbangkan berulang kali sebelum bilang ke kamu dan kakak pengen kamu tau semuanya, Eunsang," jawabnya.
"Kenapa?"
Sebelah alis Midam terangkat. "Kenapa?" Ia balas bertanya.
"Kenapa kakak mau jual rumah ini? Ini satu-satunya rumah yang kita punya," Eunsang kembali bertanya. Suaranya tercekat, gurat kesenduan semakin tampak jelas di matanya.
Midam berusaha meraih tangan Eunsang, tapi untuk pertama kalinya, adiknya bersikap agresif dengan menarik lengannya menjauh. "Eunsang, dengerin kakak dulu..."
"Eunsang selalu dengerin kakak, tapi kakak nggak pernah dengerin perasaan Eunsang. Kakak punya kenangan sama mama, sedangkan Eunsang nggak punya, kak. Rumah ini satu-satunya tempat Eunsang merasa mama sama papa masih di sini tanpa ninggalin Eunsang. Rasanya setiap pulang, Eunsang selalu merasa papa masih hidup, mama juga masih di sini, meskipun Eunsang nggak pernah lihat langsung wajah mama. Di rumah ini, Eunsang dibesarkan. Ada banyak kenangan berharga di rumah ini buat Eunsang. Dan sekarang setelah papa meninggal, kakak mau jual rumah ini?"
Midam menggeleng pelan. Ia masih berusaha meraih tangan adiknya, tapi Eunsang kembali menarik menjauh tangannya. Raut wajah Eunsang di matanya tak ubahnya anak kecil yang berusaha memprotes, menyampaikan perasaannya, dan menyuarakan apa yang diinginkannya. Tapi Midam tahu, Eunsang tidak ingin lagi dianggap anak kecil yang tidak tahu apa-apa dan selalu dilindungi.
Eunsang menatap kakaknya lamat-lamat. Makna tatapannya tidak dapat terbaca. Matanya memerah, ada air mata yang berusaha ia tahan. "Rumah ini tempat Eunsang besar, kak. Ada banyak kenangan di sini dan Eunsang nggak mau kenangan itu hilang karena papa udah nggak ada. Meskipun Eunsang nggak pernah ketemu mama, di rumah ini, Eunsang selalu merasa mama masih ada, kak."
Midam bisa merasakan dadanya terasa sakit ketika setetes aid mata akhirnya kembali jatuh dari sepasang netra lembut adiknya. "Eunsang, dengerin kakak. Ada hal yang pengen kakak bagi berdua bareng kamu. Sekarang hanya tinggal kita berdua, dan kakak nggak bisa mengambil suatu keputusan tanpa melibatkan kamu karena kamu berhak punya argumentasi."
Eunsang tidak menjawab. Ia menunduk, membiarkan air matanya turun kian deras ketika Midam menggenggam kedua tangannya perlahan. Ia hanya tidak ingin semua kenangan berharga, meski dalam waktu singkat yang ia miliki bersama papanya hilang begitu saja.
"Dulu sewaktu kita masih kecil, kita adalah tanggungjawab papa. Apapun akan papa lakuin untuk kita. Papa emang nggak punya banyak waktu buat main sama kamu sewaktu kamu masih kecil, jadi masa kecil kamu, kakak yang lebih punya banyak waktu buat kamu..."
"Setelah papa beranjak tua dan mulai sakit-sakitan, kamu dan papa adalah tanggungjawab kakak. Kamu masih terlalu kecil saat itu dan papa terlalu lemah buat menanggung semuanya sendiri..."
"Sekarang, papa udah nggak ada. Tanggungjawab kakak ke mama dan papa tinggal kamu. Hanya kamu, Sang. Kakak selalu janji ke mama ataupun papa kalau kakak akan jagain kamu dan berusaha yang terbaik buat kamu. Bagi kakak, kamu adalah prioritas yang nggak bisa kakak kesampingkan, meskipun kakak punya pasangan yang juga pasti ingin jadi prioritas buat kakak karena kakak nggak bisa memprioritaskan orang lain, selain kamu."
Eunsang mengangkat wajahnya perlahan. Wajahnya basah dengan air mata, bibirnya masih menggumamkan isakan-isakan kecil, dan air mata tetap turun membasahi wajahnya. Ia memejamkan matanya, berusaha menahan tangisnya untuk tidak semakin keras, tapi tidak benar-benar bekerja.
Midam tersenyum tipis, menangkup kedua sisi wajah basah adiknya dan mengusap buliran air mata yang terus turun. "Kakak tau kalau kakak egois karena nggak bilang apapun ke kamu dan menutup rapat semuanya sendirian, tapi sekarang kakak pengen kamu tau alasan kenapa kakak berniat jual rumah ini."
"Eunsang udah bukan anak kecil lagi, kak. Eunsang mungkin selalu jadi anak kecil di mata kakak, tapi Eunsang juga pengen bantu kakak, Eunsang pengen jadi adik yang berguna buat kakak. Kakak nggak harus nanggung semuanya sendirian setelah papa meninggal karena kita ini saudara. Eunsang sekarang cuma bisa bergantung sama kakak, jadi kakak juga harus bergantung sama Eunsang."
Perlahan, mata Eunsang terbuka. Ada gurat kesedihan dan kesenduan begitu dalam di sepasang netranya yang masih memerah. Juga ada genangan air mata yang berusaha ditahan. Eunsang menggigit bibir bawahnya perlahan.
Midam mengangguk. Ia mengusapi kedua pipi Eunsang lembut. "Rumah ini besar dan harganya bisa cukup mahal kalau dijual. Kakak berencana jual rumah ini bukan karena kakak nggak mau ingat-ingat orangtua kita lagi ataupun nggak mendengarkan perasaan kamu, tapi lebih ke kehidupan jangka panjang kita."
"Di mana kita bakalan tinggal kalau rumah ini dijual, kak?" Suara Eunsang terdengar begitu serak.
Midam mengulas sedikit senyum. Ia mengusap lembut puncak kepala Eunsang. "Hasil penjualan rumah ini bisa kita belikan apartemen yang lebih kecil untuk 2 orang dan uang sisanya akan masuk ke tabungan. Bukan buat kakak, tapi buat kamu. Pendidikan kamu masih panjang, sedangkan kakak tinggal 2 semester lagi. Setelah program spesialis kakak selesai, kakak bisa praktek sebagai dokter spesialis. Dan uang yang terkumpul bisa jadi biaya kamu ke program spesialis."
"Kakak sendiri gimana? Bukannya kakak masih ada 2 semester?"
Senyuman Midam masih mengembang. "Jangan khawatir. Kakak punya tabungan buat sisa 2 semester. Hal yang kakak pikirin sekarang adalah kamu, Sang. Bentar lagi kamu internship. Kalau kamu di luar kota, pasti akan tetap tambah biaya. Dan kakak nggak mau kamu bernasib sama seperti kakak yang harus ambil banyak pekerjaan di tengah studi. Kakak mau kamu fokus dan menikmati proses belajarmu."
Air mata Eunsang kembali turun. Ia memeluk kakaknya seerat yang bisa ia lakukan dan menyembunyikan isak tangisnya di perpotongan bahu kakaknya.
Midam membalas pelukan Eunsang dan membiarkan adiknya menangis di bahunya. "Sekarang tinggal kita berdua dan hanya ini yang bisa kakak kasih buat kamu," katanya.
"Kakak, kalau Eunsang minta kakak buat bergantung sama Eunsang, kakak mau kan?"
Usapan di punggung Eunsang terhenti sesaat. Midam menatap Eunsang dalam pelukannya, kemudian mengangguk.
"Kita saling mengandalkan. Kamu mengandalkan kakak dan kakak mengandalkan kamu. Hanya itu yang kita bisa lakukan sekarang, Eunsang."
Masih malam yang sama dengan malam di bab Junho kemarin hehehe🌹