Warning: This chapter contains content about the effects of violence on children, suicidal thought and behavior, mental health issues, poor self-control, toxic family, and other content that might cause uncomfortable feelings. It's forbidden to link the profession with characterizations. If you feel uncomfortable, please skip. Take care of yourself.
🌹Read on your own risk🌹
"Kak Junho, bisa minta tolong sebentar buat pegangin tensi meternya dulu? Aku mau edukasi pasiennya sebentar."
Junho mengalihkan pandangannya ke arah Jinwoo yang menyodorkan seperangkat tensi meter ke arahnya dengan wajah yang sudah tidak karuan kusutnya, padahal baru jaga IGD selama sejam. Belum berjam-jam, apalagi sampai pagi. Namun, Junho tidak banyak berkomentar. Ia hanya mengangguk dan menerima tensi meter yang diulurkan Jinwoo. Kepalanya sudah pusing setelah menangani beberapa pasien yang datang di waktu bersamaan dan memenuhi bed di IGD - belum lagi wajah super menyebalkan para dokter dan perawat IGD yang menatapnya seperti ia adalah musibah utama karena ia bau - jadi ia tidak punya pikiran lagi untuk menolak permintaan kecil Jinwoo.
Di ujung IGD sana, Hyungjun tampak sedang mengobrol dengan ibu-ibu yang mengeluh mengeluarkan darah saat BAB. Pada bed lain, tampak Tony yang sedang menangani pasien yang lain baru saja terjatuh dari sepeda motor dan kepalanya tidak sengaja terbentur aspal karena tidak menggunakan helm. Sementara di dekatnya, Jinwoo sedang menangani pasien yang mengalami tekanan darah tinggi. Semua orang di IGD sibuk, benar-benar sebuah hiruk pikuk padat yang tidak bisa dilawan. Tidak ada seorangpun yang tidak sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.
"Kak Junho, tensi meternya dulu kak..."
Sejenak fokus Junho yang semula terarah pada aktivitas super sibuk di IGD beralih pada satu unit mobil Pajero hitam yang terparkir tidak jauh dari pintu IGD. Di seberang jalan sana. Ia menatapnya lamat-lamat, sampai suara Jinwoo sampai tidak terdengar sama sekali. Bahkan setiap aktivitas di IGD yang tengah ramai pun terasa terhenti di waktu ketika fokusnya teralih ke Pajero hitam di seberang jalan sana. Perhatian dan seluruh fokusnya dicuri habis-habisan.
Sampai ketika pandangan menangkap sesosok dokter yang berjalan dengan langkah panjang sambil menenteng snelli di tangan kanannya, ia mulai tersentak kaget. Sosok itu, sekalipun tidak berbalik ataupun memperlihatkan rupanya, Junho bisa mengenalinya. Tubuhnya tinggi tegap, tapi belum setinggi Eunwoo, namun tetap lebih tinggi beberapa senti darinya. Bentuk tubuhnya ideal, dengan kaki jenjang yang melangkah tergesa-gesa, menggertak tiap langlah dengan sepasang pantofelnya yang terlihat begitu mengkilap. Tanpa sadar, Junho meremat kuat tensi meter di tangannya, menciptakan suara gesekan tidak menyenangkan antara stainlessnya dengan kuku jarinya.
Itu Myungsoo. Kenapa dia di sini?
Junho hampir tidak bisa bernapas saat melihat sosok tegap yang ia kenali sebagai papanya keluar dari mobil itu, menyambut kakak pertamanya dengan sebuah tepukan penuh kebanggaan di bahu kanannya. Wajahnya samar-sama terlihat lelah dari kejauhan, tapi terlihat memancarkan begitu banyak kebanggaan pada putra pertamanya. Kemudian Myungsoo terlihat menggeleng samar-samar, membuka pintu kabin kedua, dan meletakkan tas bersama snellinya di kabin keduanya. Di matanya sekarang - meski dari kejauhan - ia bisa melihat keakbraban yang begitu hangat antara papanya dengan kakak pertamanya. Keakbraban yang selalu membuatnya iri dan marah, tapi sejatinya, ia juga menginginkannya.
"Kak Junho, minta tolong tensinya dong."
Junho kehilangan fokusnya terhadap pada apa yang seharusnya ia lakukan. Satu-satunya yang terus mendapat perhatiannya adalah Myungsoo yang tampak sedang mengobrol dengan papanya - terlihat seperti sebuah obrolan sepasang ayah dan anak yang sedang merencanakan sesuatu, tapi memiliki perbedaan pendapat di tengah jalan. Ia juga bisa melihat papanya akhirnya mengangkat bahu, kemudian mengangkat kedua sudut bibirnya untuk tersenyum, dan kembali menepuk bahu kanan Myungsoo beberapa kali sambil mengangguk. Lalu keduanya masuk ke dalam mobil dan berlalu begitu saja.
Junho terpekur di tempat. Ia tidak pernah melihat papanya tersenyum - padanya. Kalau diingat-ingat, ia hanya bisa melihat ekspresi penuh kemarahan, kekecewaan, dan ketidaksukaan di wajah papanya. Bahkan ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar dengan pelajaran yang masih terbilang mudah dan ia mengatakan bahwa ia mendapat nilai yang bagus untuk pelajaran bahasa, papanya tidak bisa tersenyum menerima usahanya. Dengan ekspresi tidak menyenangkan, nilainya yang mungkin tidak seberapa di mata papanya akan dibandingkan dengan nilai matematika Myungsoo yang jelas berbeda dengannya.
Bahkan pernah sekali ketika acara pentas seni siswa ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 4, ia pernah meminta papanya untuk datang ketika ia bermain drama musikal memerankan Peterpan yang datang jauh dari Neverland. Tapi papanya tidak datang dengan alasan bahwa tidak ada yang perlu dibanggakan dari seorang anak yang memegang peran Peterpan dalam sebuah drama musikal, alih-alih seorang anak yang dapat membawa pulang sebuah medali emas di sebuah olimpiade. Namun malam itu ia melakukan kesalahan. Fatal sekali, sampai seberapa kerasnya ia berusaha melupakan, ia tetap bisa mengingatnya dan gemetar karenanya. Sekalipun ia memiliki jadwal terapi untuk mengatasinya, ingatan itu seakan mengakar kuat dalam dirinya, membuatnya selalu merasa siaga apabila ia berhadapan dengan papanya, membuat dadanya sesak, juga tangannya gemetar habis-habisan.
Malam setelah papanya menolak datang ke pentas seni siswa di sekolahnya, ia masih memaksa papanya untuk datang, dengan mengatakan kalau ia akan menjadi pemain utama dalam drama musikalnya dan ia akan mengenakan pakaian yang bagus. Ia juga mengatakan kalau beberapa gurunya memuji bakatnya memerankan Peterpan, tapi papanya tetap menolak keras. Ia tetap memaksa, dengan merengek, juga berbekal keberanian seadanya, ia menarik-narik tangan papanya. Sampai kemudian gelas kopi papanya jatuh ke lantai dan pecah. Ia terdiam sejenak setelahnya, kemudian papanya memaki penuh amarah padanya, menghina apapun yang sudah dilakukannya, memukulnya dengan sebuah tongkat yang masih ia kenali hingga saat ini sebagai tongkat kasti milik Eunwoo, kemudian menyeretnya ke kamar mandi dan mengguyur tubuh penuh lebamnya dengan air dingin, menguncinya di sana semalaman dan membuatnya tidak mendapat makan malam.
Junho memejamkan mata sejenak. Dadanya terasa sesak tiap kali ingatan tentang hari itu selalu tanpa permisi terputar kembali di kepalanya. Dokter Chaeyeon bilang, segala kenangan traumatis itu perlahan akan menghilang seiring dengan terapi rutin yang ia jalani, namun kenangan satu itu, seakan mengakar kuat dan memiliki kekuatan paling besar yang paling mampu membuatnya gemetar, lebih dari kenangan traumatis lain saat papanya menghajarnya, mencaci makinya, dan merendahkannya. Karena perlakuan papanya hari itu, bukan hanya papanya yang tidak datang ke pentas seni siswa, tapi ia sebagai pemeran Peterpan pun turut tidak datang. Bagaimana ia bisa datang kalau ia dikunci di kamar mandi dengan sekujur tubuh membiru, kedua lututnya membengkak, dan wajahnya bengkak penuh lebam?
"Kak Junho, tensi meternya dong. Gantian mau dipakai Tony tuh."
Sebuah tepukan pelan penuh rasa segan dari Jinwoo membuyarkan segala kekacauan ingatan dalam kepalanya, membuatnya membuka mata dan tersentak kaget. Ia tersenyum samar dan buru-buru memberikan tensi meter yang dimaksud anak itu, kemudian menyadari tangan kanannya yang terulur memberikan tensi meter, terlihat bergetar. Tremor karena panik dan cemas.
"Kak Junho, kok pucat sama gemetaran? Nggak enak badan, kak?"
"Nggak," Junho menjawab singkat. Ia menggeleng beberapa kali, berusaha meyakinkan Jinwoo bahwa ia bik-baik saja. Kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke seberang jalan. Pajero hitam bersama papanya dan Myungsoo sudah tidak di sana. Mereka sudah pergi, entah ke mana dan dengan rencana apa.
Junho menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Kedua tangannya masih gemetar. Dadanya masih terasa sesak, jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Darahnya berdesir. Ketakutan akan eksistensi papanya masih begitu terasa, bahkan ketika mereka hanya berjarak beberapa meter dan tidak sedang benar-benar berhadapan. Bahkan ia masih bisa merasakan gemuruhnya rasa benci terhadap papanya di dalam dadanya. Juga perasaan iri terhadap Myungsoo tiap kali ia melihat betapa kakak pertamanya itu dekat dengan papa mereka, sementara ia tidak pernah mendapatkan kedekatan yang sama. Jangankan sebuah pelukan yang biasa Myungsoo dapatkan, seulas senyum dan sebuah tepukan lembut di bahunya saja tidak pernah ia dapatkan.
Tapi Junho, apakah kamu yakin bahwa kamu hanya membenci papamu? Tidakkah kamu pernah mengatakan bahwa setiap orang dalam keluargamu memiliki tempat dalam hatimu, namun kamulah yang tidak memiliki tempat dalam hati mereka sebab kamu hanyalah gelandangan dalam keluargamu?
Selamat bertemu kembali di senja terakhir tahun 2019...😈🌹💙
Meet our precious kopi senja co-assistant on his Instagram account😎