Yohan memandangi layar ponselnya berkali-kali, membaca deret demi deret pesan yang dikirim berulang kali padanya dengan perasaan gamang. Napasnya terasa berat, seperti ada yang mengganjal dalam setiap tarikan napasnya. Ada beban pikiran yang tidak bisa ia ungkapkan dan seperti menjadi ganjalan tersendiri dalam hatinya. Ia ingin membagikannya, tapi entahlah, segalanya terasa berat dan perasaan gamang penuh keraguannya terasa mengganjal setiap tarikan napasnya dan membuatnya tidak bisa berpikir jernih sebagai mestinya. Dan jika Yohan harus mendeskripsikannya, rasanya seperti lebih dari rasa cemas yang timbul saat ia akan presentasi referat. Lebih buruk daripada itu.
Ia mengangkat pandangannya, menatap Yuvin yang sedang merapikan kemeja hitam sambil sesekali menggulung bagian lengannya hingga sebatas pertengahan lengan bawahnya. Mungkin dalam beberapa pikirannya, ia berniat membagikannya dengan Yuvin, tapi hingga saat ini, ia tidak kunjung mengatakannya. Ia tahu kalau Yuvin sedang memikul sebuah beban dan tanggungjawab besar mendekati tindakan bedah yang sudah diputuskan. Ia tidak ingin menambah beban pikiranYuvin yang bahkan sudah bertumpukan begitu banyak. Juga bagaimana bisa ia tega menambah beban pikiran Yuvin saat pria itu selalu datang ke apartemen larut malam dan tidur saat pagi sudah hampir datang? Bahkan setelah tidur setidaknya 2 jam, Yuvin masih terlihat begitu lelah dan lesu.
Tanpa sadar, Yohan menggeleng. Ia menyimpan kembali ponselnya ke atas nakas di samping tempat tidur dan memandang lurus ke arah punggung lebar Yuvin yang tampak tegap. Namun bagaimanapun juga, ia tetap harus mengatakannya karena cepat atau lambat, Yuvin jelas harus mengetahui hal ini dan akan mengetahui hal ini.
Yohan menghela napas berat, kembali menunduk ragu memandangi kedua kakinya yang terbalut sandal rumah berbulunya.
"Sweetheart, lagi mikirin sesuatu?"
Perlahan, Yohan mengangkat pandangannya. Yuvin berdiri tepat di depannya, mencengkram lembut ujung dagunya, dan membimbingnya untuk saling menatapnya. Ia memaksakan seulas senyum. "Dok, setelah ujian akhir stase nanti, saya harus pulang ke rumah," katanya lirih.
Yuvin tidak langsung mengangguk. Namun wajah lelahnya menunjukkan ekspresi tenang penuh pengertian. Ia tersenyum dan membelai satu pipi halus Yohan dengan punggung tangannya. "Kalau emang gitu, saya itu ya?" balasnya.
"Jangan," tukas Yohan tidak kalah lirih. Ia masih membiarkan matanya bertemu pandang dengan mata Yuvin, juga membiarkan Yuvin membelai pipinya lembut. "Dokter banyak kerjaan, saya nggak mau dokter kecapekan. Lagipula, saya bisa pergi ke sana sendiri kok, dok. Mama udah beberapa kirim pesan minta saya pulang, entah mau ngomongin apa lagi, saya juga nggak tau. Tapi saya nggak mau, apapun yang dikatakan mama ataupun apa yang akan mama katakan ke saya semuanya memengaruhi dokter karena saya tau, dokter udah punya banyak beban pikiran dan tanggungjawab yang lebih besar."
Yuvin membawa dirinya bersimpuh di depan Yohan, menggenggam kedua tangan Yohan lembut, dengan kedua sudut bibirnya yang masih menyunggingkan senyum penuh ketulusan. "Apa kamu juga bukan bagian dari tanggungjawab saya?" tanyanya.
Yohan menghela napas dan terdiam.
"Kamu adalah bagian dari tanggungjawab saya, Sweetheart. Kalau saya udah menjadikan kamu pasangan saya, artinya kamu adalah bagian dari hidup saya, artinya kamu tanggungjawab saya. Mungkin saya bukan pria terbaik yang pernah kamu temui atau mungkin saya bukan orang yang orangtua kamu harapkan untuk mendampingi putra semata wayang mereka, tapi saya mau mencoba dan belajar bertanggungjawab terhadap apa yang saya pilih sebagai bagian dari hidup saya, yaitu kamu."
Yuvin membawa kedua tangan Yohan ke hadapannya, menciumi punggung tangannya beberapa kali hanya demi menghantarkan ketenangan pada sosok penuh kegelisahan Kim Yohan.
Namun sepasang netra indah Yohan tetap berpendar gelisah, berkedip beberapa kali penuh gamang, dan akhirnya ia menarik senyum penuh keraguan.
..................................... [[💌🕊]]
Eunsang menarik seulas senyum saat melihat papanya begitu senang saat melahap suap terakhir sarapannya. Kakaknya bilang, kondisi papanya berangsur membaik sejak check up terakhir dan ia sendiri bisa melihat pendar bahagia di sepasang mata papanya. Mungkin kondisi papanya belum sebaik apa yang ia ekspektasikan, tapi rasanya membahagiakan saat melihat papanya tersenyum dan matanya berpendar penuh kegembiraan. Terutama saat ia membuka jendela-jendela di kamar papanya, membiarkan udara segar masuk, dan menyuapkan makanan-makanan yang menyenangkan, papanya terlihat begitu senang.
Bahkan pagi ini saat ia datang untuk membuka tirai dan jendela kamar papanya, membiarkan udara segar masuk dan menunjukkan makanan hangat ke hadapan papanya, papanya terlihat senang dan memintanya langsung mendekat, sampai suap demi suap sarapan pagi ini terasa begitu ringan tanpa keluhan dan gelengan penolakan. Juga saat Eunsang memberikan obat, papanya begitu terlihat tenang dan tidak menolak seperti yang sudah terjadi sebelum-sebelumnya.
Eunsang meraih satu tangan keriput nan kurus papanya, menggenggamnya lembut sambil menyunggingkan seulas senyum lucu di bibirnya. "Papa kondisinya hari ini gimana? Ada keluhan lain?" tanyanya lembut.
Papanya tersenyum, menggeleng samar sambil memandangi tangannya yang berada dalam genggaman putra bungsunya. "Eunsang, jadi anak yang baik ya?"
"Eunsang nggak bisa janji, tapi Eunsang bakalan berusaha jadi anak yang baik seperti yang papa mau. Apa sekarang Eunsang udah jadi anak yang baik buat papa?" Eunsang membelai lembut tangan papanya, sementara matanya menatap lembut pada sang papa yang tampak begitu tua – seakan lebih tua dari usia sesungguhnya – dan lelah, namun ia tetap melihat pendar bahagia di mata itu.
Papanya tersenyum samar, lalu mengangguk. "Eunsang, banyak hal yang perlu kamu syukuri dalam kehidupanmu. Banyak hal yang perlu kamu kasihi dalam hidupmu. Kamu adalah bagian dari hidup atau bahkan bahagia orang lain. Ada orang-orang yang menganggap kamu sebagai pusat dunia mereka..."
Senyum di wajah Eunsag kian merekah. Ia mencondongkan sedikit tubuhnya untuk memberi kecupan singkat di pipi kiri sang papa. "Kapan-kapan kalau papa udah sembuh, kita jalan-jalan bertiga bareng kak Midam ya?"
Papanya mengangguk samar.
"Papa mau jalan-jalan ke mana kalau udah sembuh nanti?" Eunsang bertanya sembari merapikan alat-alat makan papanya yang berantakan, juga termasuk menyimpan obat-obatannya ke dalam laci nakas di samping tempat tidur.
"Eden Prairie."
Gerakan tangan Eunsang sedikit terhenti. Ia memandang papanya penuh iba. Namun saat sang papa menyadari perubahan pada air mukanya, ia buru-buru menarik kedua sudut bibirnya untuk kembali tersenyum. Kali ini sebuah senyum yang nyaris dipaksakan.
"Tempat dulu papa pertama kali ketemu mama ya? Eden Prairie, pasti tempat yang bersejarah buat papa. Makanya, papa harus cepat sembuh dan kita bisa pergi ke Eden Prairie bertiga. Eunsang juga... pengen tau tempat papa ketemu mama."
Eunsang bangkit perlahan setelah menyimpan beberapa tabung obat papanya ke laci di bawah nakas dan meminta ijin sebentar untuk mencuci alat-alat makan papanya. Namun baru beberapa langkah ia mendekati pintu, ia mendengar suara-suara ganjil di belakang punggungnya. Suara-suara yang terdengar seperti pukulan keras di bagian dada dan napas yang tersenggal-senggal, diikuti dengan suara beberapa barang yang berjatuhan.
Ia lantas berbalik dan melotot setelahnya. Jantungnya seakan berhenti berdetak, tangannya gemetar, hingga tanpa sadar ia menjatuhkan piring yang dipegangnya sesaat sebelum ia mendekati ranjang di mana papanya yang semula terlihat tenang dan begitu bahagia, kini tampak meraung kesakitan sambil mencengkram dadanya, sementara dahinya berkerut dalam, bibirnya terbuka melantunkan segala bentuk erang kesakitan, dan napas yang tersenggal nyaris membuatnya tersedak.
"Papa!"
....................................... [[💌🕊]]
Junho membuka matanya perlahan, beberapa menit lebih awal daripada apa yang sudah ia jadwalkan pada alarmnya. Ia mencoba bangun dari posisi berbaringnya, tapi seakan tidak memiliki tenaga, ia tetap membiarkan dirinya berbaring menatap langit-langit kamarnya dalam kegelapan sementara ia menebak-nebak sesuatu yang bahkan tampak begitu samar dalam benaknya. Rasanya luar biasa lelah, tidak ada tenaga yang tersisa, bahkan untuk sekedar mengangkat tangan dan merubah posisi berbaringnya yang jika lampu dinyalakan, mungkin ia tampak begitu menyedihkan.
Semalam, ia tidur 3 jam lebih cepat. Jadwalnya mengatakan bahwa pagi ini seharusnya ia melakukan ujian akhir stase, namun alih-alih belajar sebagaimana seharusnya, ia justru memilih tidur. Pikirannya begitu penuh, ramai, dan sesak, hingga ia tidak bisa memikirkan hal lain yang mungkin saja lebih rumit. Bahkan jika ia harus menuliskan segala keruwetan dalam kepalanya, mungkin ia hanya dapat membuat garis-garis yang jelas bukan vertikal, juga bukan horizontal di atas kertas yang bahkan tidak pantas menerima segala bentuk keruwetan dalam pikirannya. Dan berjam-jam tidur tidak lantas membuatnya bertenaga. Ia justru makin terasa lesu dan tidak ingin melakukan apapun. Juga ketika ia mencoba membuka mata, jantungnya berpacu lebih cepat seperti serangan panik yang stressornya tak dapat ia lihat dengan sepasang matanya.
Ketika ia menutup matanya, ia tidak benar-benar tertidur hingga pagi ini. Mungkin matanya terpejam, tapi pikirannya benar-benar sibuk. Ada lalu lintas tidak terkendali dalam pikirannya, semuanya berbicara, mendesak untuk dipikirkan. Segala sesuatunya menjadi lebih rumit saat malam semakin tinggi dan suasana di sekelilingnya semakin bertambah sepi, seperti segalanya sedang bergerak meninggalkan dirinya, menjauh begitu saja, dan membiarkannya tetap terpejam dengan pikiran yang tidak pernah berhenti memproduksi berbagai macam asumsi yang tak dapat dimengertinya.
Kisah-kisah masa lalu dari masa kecilnya, perkataan dan ekspresi Myungsoo hari itu, ekspresi penuh kekecewaan di wajah Eunwoo, raut sedih di wajah mamanya, juga ekspresi tenang di wajah Eunsang yang selalu berhasil menenangkannya dalam gelisah, segalanya bergulir tanpa jeda. Ia memikirkan segalanya. Bahkan ketika ia berusaha untuk menepisnya, segalanya tetap terjadi dan semakin terasa sibuk dalam benaknya. Ia tidak pernah bisa berhenti memikirkan segalanya, termasuk dengan segala hal yang dikatakan Myungsoo tentang kehadirannya.
Apakah ia menjadi masalah dalam keluarga mereka? Apakah ia hanya menjadi benalu yang begitu pantas disingkirkan? Apakah selama ini ia merepotkan banyak orang dengan keadaan yang bahkan ia tidak menginginkannya terjadi?
Junho menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan begitu berat. Ia menyadari, pagi ini adaah kelanjutan dari semalam. Eunwoo tidak pulang ke apartemen, mamanya juga tidak menginap sejenak di sini. Mereka tidak datang dan tidak mengatakan apapun padanya, sementara ia di sini masih berharap bahwa kedua orang yang mulai memiliki eksistensi dalam kesehariannya itu mengatakan sesuatu jika tidak datang. Apakah mereka akhirnya kembali menganggap dirinya hanya sebagai penghalang? Beban yang merepotkan?
Junho mengerang. Ia meraih ponselnya di nakas dan memeriksa pesan yang masuk sambil terus berharap ia bisa mendengar suara Eunwoo atau mamanya di sana, di apartemennya. Tapi tidak. Satu-satunya suara yang terdengar di sana hanyalah suara detikan jarum jam dan kehampaan dalam dirinya kian menjadi ketika ia tidak menemukan satu pesan atau panggilan tidak terjawab dari Eunsang pagi ini.
Apakah Eunsang juga menganggapnya merepotkan? Apakah Eunsang berniat beranjak meninggalkannya sendirian seperti orang-orang yang sempat ia akui eksistensinya?
Junho melempar ponselnya, membiarkan My Immortal milik Evanescence terus berputar sebagai nada utama alarmnya mengisi ruang sepinya.
Mengapa ia menjadi seperti anak kecil yang tidak ingin ditinggalkan dan begitu takut dengan hadirnya perasaan kesepian?
I’m so tired of being here
Aku sangat lelah berada di sini
Suppressed by all my childish fears
Ditekan oleh semua ketakutan kekanak-kanakanku
Director's talk :
Q : "Sibuk apa sekarang, pak sutradara?"
Yunseong : "sIBUK NYARI STUNTMAN!!"
Selamat siang, jangan lupa makan siang. Dan semoga hari kalian menyenangkan...😈🌹💙