"Hemeh, ini manusia jelmaan babi ribet banget jadi manusia? Apa lagi coba yang salah dari lapkas gue? Apa? Kok ya tega banget mempersulit residen sendiri? Lagian judul sebelah mana sih yang nggak sinkron sama isinya? Semuanya sinkron karena dikerjakan sepenuh hari seperti anak sendiri..."
Seobin mencibir beberapa kali, sementara bibirnya sibuk merapalkan berbagai macam pertanyaan yang ia sendiri tidak tahu jawabnnya dan semuanya hanya terkait dengan konsulennya. Bahkan saking sebalnya, ia sampai menggulung lengan seragam jaganya hingga sebatas siku, berharap ia bisa membaku hantam konsulennya yang satu ini.
Kalau koass bilang, lebih enak jadi dokter residen karena tidak disuruh-suruh secara fleksibel seperti babu premium. Tapi baginya yang sudah turun hingga 4 semester di Orthopedi, tidak ada bedanya. Konsulennya menyebalkan. Tidak bisa dipahami. Ribet. Rumit. Isi kepalanya tidak terbaca. Amat sangat membingungkan. Terlebih lagi, ia selalu bertemu konsulen ini setiap hari. Entah saat di bangsal, entah di poli, entah di ruang bedah sentral. entah saat CITO, entah saat makan siang, atau bahkan entah saat ia ingin BAB pun masih bertemu konsulen yang satu ini.
Bahkan ia pernah ditelepon jam 4 pagi dengan alasan ada kasus yang membutuhkan CITO reposisi tulang, namun saat ia sampai di rumah sakit, ternyata ia hanya dikerjai.
Dan sialnya, hanya ia yang kebagian getah selalu dimusuhi oleh konsulen satu ini. Dari total 7 residen di Orthopedi, hanya dirinya yang selalu tersandung konsulen satu ini. Sementara ia dimusuhi tingkat atas, maka pacarnya adalah residen kesayangan konsulen satu ini. Menyebalkan memang karena baginya sangat-sangat subjektif.
"Pagi, dok. Saya Seobin, yang tadi disuruh ke sini karena katanya judul lapkas saya nggak sinkron sama isi lapkasnya." Seobin membuka pintu Poli Orthopedi perlahan dan langsung masuk tanpa menunggu dipersilahkan. Sudah kepalang kesal, katanya.
Seongwoo mengangguk-angguk. Ia menatap laporan kasus yang notabene adalah milik Seobin sambil sesekali membenarkan letak kacamatanya. "Kamu lapkasnya bikin sendiri?" tanyanya tanpa basa-basi.
Seobin mengangguk. "Dibuat sendiri sepenuh hati seperti anak sendiri, dok," jawabnya. Ia menarik kursi di depan Seongwoo dan duduk di sana, lagi-lagi tanpa menunggu dipersilahkan.
"Yakin bikin sendiri ini lapkasnya?"
Kedua kalinya, Seobin mengangguk. "Mau diuji dengan cara apapun, saya bisa kok karena emang lapkasnya saya bikin sendiri, dok," jawabnya.
"Seorang remaja perempuan berusia 14 tahun dengan fraktur radius sinistra 1/3 tengah transverse displaced tertutup non komplikata. Panjang juga judulnya..." Seongwoo membalik kembali laporan kasus di tangannya, menatap lama pada deretan kata yang menyusun serangkai kalimat yang menjadi sebuah judul yang ditulis di sana dengan efek bold.
Seobin menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan sambil mengelus dadanya. Harus sabar, katanya pada dirinya sendiri. "Iya, panjang karena diagnosis kerjanya emang fraktur radius sinistra 1/3 tengah transverse displaced tertutup non komplikata, dok. Dan pasiennya emamg remaja perempuan yang umurnya masih 14 tahun. Jadi judulnya saya sertakan nama pasien dan diagnosis kerjanya, dok," jelasnya berusaha kalem.
"Autoanamnesisnya kapan dan di mana ini kok kamu nggak tulis detail jamnya juga?"
Seobin mengerjap beberapa kali. "Tapi udah saya tulis detail tanggalnya, dok. Hari kamis, 14 november, dok."
"Tapi tetap nggak kamu tulis jam detailnya kapan kamu melakukan autonamnesis. Kamu tau kan maksudnya autoanamnesis itu apa? Hasil autoanamnesis ini juga nanti kita cocokan dengan hasil aloanamnesisnya. Dan anamnesis itu juga mengambil peran penting dalam penegakan diagnosa. Ini kamu hanya tulis tanggalnya, tapi nggak kamu tulis juga detail jam kamu melakukan autoanamnesis itu jam berapa." Seongwoo menyandarkan punggungnya ke sandaran kursinya. Ia menatap Seobin datar, sementara tangannya masih menggenggam erat laporan kasus milik Seobin yang bahkan sudah agak terlipat di bagian-bagian ujungnya.
Untuk kedua kalinya, Seobin masih berusaha sabar. Ia kembali menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Baik, saya minta maaf atas kelalaian saya, dok. Untuk laporan kasus yang akan datang, saya akan menyertakan detail jam kapan saya melakukan autonamnesis bersama dengan tanggal dan di mana saya melakukannya."
"Terus ini diberi tindakan apa saat pertama masuk IGD? Riwayat pasien dan keluarganya?" Seongwoo kembali bertanya, tampaknya belum mau membuat ekspresi menyenangkan di wajahnya.
"Pasien dibidai dan diberi asam mefenamat 250 mg. Pasien tidak memiliki riwayat luka sulit sembuh, tidak memiliki riwayat pendarahan tidak berhenti, tidak memiliki riwayat pernah menderita kencing manis dan penyakit jantung, dan riwayat alergi terhadap obat disangkal, dok. Keluarganya juga tidak memiliki riwayat kencing manis dan hipertensi."
Meski sudah uring-uringan sejak berjalan dari bangsal ke sini, Seobin tetap memasang wajah sabar. Sebenarnya kalau boleh, ia ingin sekali menendang atau menjewer konsulen satu ini karena pagi-pagi buta begini bukan membawakan kopi atau menawarinya sarapan selepas jaga malam semalam suntuk dan masih dilanjut harus visit 2 jam lagi, masih dilanjut jaga poli, dan belum lagi kalau tiba-tiba ada panggilan CITO, malah mengetesnya tentang laporan kasus yang bahkan sudah ia buat 2 minggu lalu seperti mengetes koass yang kemungkinan mencontek laporan kasus milik teman sepengirimannya
"Tulisan lapkasmu kok masih kayak tulisan koass kemarin sore sih. Ini yakin kamu ngerjain sendiri? Tulisan residen harusnya lebih bagus dan lebih detail karena ilmumu udah ilmu calon spesalis. Ini kok kayak tulisan koass yang masih sering blank tiap bimbingan sampai di dahinya ada tulisan aku siapa? Aku di mana? "
Seobin mengangkat pandangannya, menatap Seongwoo kelewat shock. Tulisan koass, katanya. Apakah ia barusaja dituduh menyontek laporan kasus koass?
"Midam dulu waktu semester 4 kayak kamu tulisannya lebih bagus dari ini. Lebih mendetail sesuai dengan ilmunya karena ya emang namanya juga udah PPDS, harusnya pengalaman sama ilmunya udah lebih memadai. Siap jadi spesialis. Ini kok tulisanmu yang semester 4 PPDS malah kayak tulisan koass sih? Ini kamu copas punya siapa? Minkyu? Yohan? Eunsang? Tony? Tapi tulisan koass juga masih enak sih daripada tulisan kamu. Intinya, Midam waktu seumuran kamu PPDS-nya, tulisan dia udah kayak calon spesialis. Tulisanmu, laporanmu, kayak koass yang takut tambah minggu dan ngumpulin lapkas cuma buat syarat lulus stase."
Seobin sih senang-senang saja dan malah merasa bangga karena pacarnya diunggulkan oleh dokter Seongwoo, tapi setelah pacarnya dipuji, kenapa ia malah seperti diejek? Sementara pacarnya dianakemaskan, mengapa dirinya malah dianaktirikan?
"Terus ini ngapain sih kamu kasih klasifikasi fraktur? Nggak usah kamu kasih klasifikasi fraktur pun, saya udah hafal di luar kepala gimana klasifikasi frakturnya. Kalo kamu kasih klasifikasi fraktur gini malah kelihatan kayak makalahnya anak preklinik, bukan laporan kasusnya PPDS."
Kalau ini adalah kartun yang biasa ditonton adiknya di jam-jam pagi, mungkin di kepala Seobin sekarang sudah muncul simpang 4 dan wajahnya sudah memerah sampai ke telinga. Juga asap yang menguap dari kedua telinganya.
"Itu kan tinjauan pustaka, dok," sangkalnya. Ia masih berusaha sabar, padahal simpang 4 di kepalanya sudah siap membuatnya mengacak-ngacak rambut dokter Seongwoo saking sebalnya.
"Iya, emang tinjauan pustaka. Tapi tinjauan pustakanya kamu ambil dari mana? Buku-bukunya anak preklinik yang masih sambat tiap mau OSCE itu? Jurnal yang biasa dibaca anak-anak preklinik yang masih ngayal jadi koass itu enak padahal aslinya sepet bukan main? Baca dong buku-buku yang saya pernah rekomendasikan atau pinjam buku-bukunya Midam. Banyak tuh dia punya buku. Kalau kamu pinjam seminggu juga pasti dikasih pinjam kan? Ini beneran lho, tadinya saya mikir tulisan kamu kayak lapkasnya koass. Ternyata malah kayak makalahnya anak preklinik yang masih daun muda, alis maba."
Tadi dituduh tidak mengerjakan laporan kasus sendiri. Lalu dikatai kalau laporan kasusnya mirip tulisan koass. Kemudian dituduh mengcopypaste laporan kasus milik beberapa koass. Sekarang malah dikatai seperti anak preklinik yang masih daun muda.
Sebenarnya bukan hanya koass yang serba salah di rumh sakit ini, Seobin juga sebenarnya selalu serba salah di hadapan dokter Seongwoo.
"Kamu emang ladangnya salah kok. Jangankan lapkas begini, kamu napas sambil BAB aja udah salah di mata saya."
Ekspresi Seobin berubah datar. Kesabarannya sudah habis. "Dok, kalau saya BAB nggak sambil napas, saya berakhir di Departemen Forensik di tangan eyang saya sendiri, dok."
"Ya bukannya bagus? Kamu bisa menyumbangkan diri jadi kadaver, daripada kamu hidup tapi selalu salah di mata saya?"
"Ya emang dokter aja yang sering sensi sama saya. Jangankan soal lapkas, saya salah megang bor aja disembur kayak koass lupa nemenin visit."
"Ya gimana? Jangankan ngomong sama kamu, lihat kamu dari radius 100 meter aja saya udah kesal duluan kok."
"Dok, ada dendam apa sih sama saya?"
Seongwoo mengangkat pandangannya, menatap Seobin datar, lurus ke depan dengan wajah tanpa ekspresi. "Nggak tau. Pokoknya tiap lihat kamu, saya sebel. Kamu itu kayak NaCl, pemicu hipertensi."
Seobin mengelus dadanya perlahan. Ia harus sabar. Tidak boleh merusak nama baik dan citra sendiri. Bagaimana pun juga, orang di depannya ini lebih tua. Harus dihormati. Anggap saja orang ini adalah eyangnya yang tidak kalah menyebalkan. Anggap saja begitu.
"Bin, kamu kalau jatuh dari gedung pencakar langit, nggak akan gegar otak."
Seobin mengerjap. "Karena saya manusia super, dok?"
Seongwoo menggeleng. Ekspresi wajahnya tetap datar. "Soalnya kamu nggak punya otak."
Seobin tersenyum. "Dokter juga kalau lagi musimnya hepatitis, nggak akan kena hepatitis, dok."
"Wah, maksud kamu apa nih, anak kemarin sore?"
Seobin mengangkat sebelah bibirnya, tersenyum miring dengan ekspresi setengah mengejek. "Karena dokter cuma punya jantung, nggak punya hati."
Istilahnya anak dan bapak yang ini tidak pernah akur satu sama lain...👿