Status Dramaticus

Mulai dari awal
                                    

Hangyul melirik ke samping sebentar. Lewat ekor matanya, ia bisa melihat Hyungjun menekuk wajahnya sebal. "Kamu kenapa? Kelihatannya sebel banget. Ada masalah tadi? Atau dikerjain temen-temenmu? Tumben banget mukanya ditekuk begitu," tanyanya heran.

Tatapan Hyungjun kian memincing. Ia menghentikan sejenak langkahnya, yang seketika membuat Hangyul turut menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Hyungjun. "Nggak kenapa-kenapa kok. Emangnya kenapa kalau mukaku ditekuk? Jadi jelek?"

"Enggak kok, masih kelihatan manis. Tapi jangan keseringan ditekuk, nanti cepat tua. Belum jadi kakek, wajahnya udah kayak kakek."

Jawaban Hangyul yang harusnya dimaknai sebagai candaan, justru membuat Hyungjun tersinggung. "Oh, jadi lebih suka yang wajahnya awet muda kayak kak Seungyoun. Oke, I see..."

"Hah? Ngapain jadi bawa-bawa Seungyoun sih? Kapan juga aku bilang kalau aku lebih suka yang wajahnya awet muda kayak Seungyoun?"

"Terserahku dong mau bawa-bawa siapa. Terserahku juga mau ngomong apa. Ada urusan emang? Nggak kan?"

Raut wajah Hangyul kian dipenuhi ketidakmengertian. "Maksud kamu apa sih? Kalau kamu ngambek dan ngomong aneh-aneh gini, nggak jadi aku anterin pulang sama traktir Chatime lho. Kamu kenapa sih? Lagi sebel sama siapa?"

Sayangnya, perkataan Hangyul yang harusnya kembali dimaknai sebagai candaan justru membuat Hyungjun kian tersinggung. Wajahnya semakin menekuk sebal, matanya memincing tajam. "Aku bisa pulang sendiri, nggak perlu dianterin. Uang saku bulananku juga cukup buat beli semua varian Chatime. Nggak perlu dibeliin, aku bisa beli sendiri. Kalau emang nggak mau anterin pulang, aku bisa pulang sendiri. Banyak kendaraan umum, nggak susah kok. Bilang aja emang sebenarnya nggak ada niatan nganterin aku pulang. Nggak usah pakai acara ngancam-ngancam segala. Udah basi, paham? Dan satu lagi, belain aja terus kak Seungyoun. Udah jelas-jelas salah, dibelain terus."

Sayangnya, Hangyul tidak paham. Ia berusaha mencekal lengan Hyungjun ketika anak itu melangkah pergi dengan kaki menghentak sebal. Namun Hyungjun menarik kasar tangannya dan pergi begitu saja, meninggalkan Hangyul dengan segala pertanyaan tanpa jawaban di kepalanya.

................................. [[💌🕊]]

Seungyoun mendengar semuanya. Ia mendengar semua kejengkelan yang Hyungjun katakan terhadap Hangyul, termasuk dengan pembelaan yang dikatakan Hyungjun. Bohong apabila ia tidak merasa sakit hati ketika mendengar bagaimana tajamnya perkataan Hyungjun untuk Hangyul terhadapnya. Tentu saja ia merasa sakit hati, seperti ada perasaan tersinggung, kesal, marah, dan jengkel. Namun apa yang bisa ia lakukan? Bersuara untuk membela dirinya sendiri pun rasanya akan tampak begitu salah dari berbagai sisi, sebab orang-orang pasti akan mulai menuding tajam ke arahnya, memandangnya dengan tatapan merendahkan, dan membicarakannya sepanjang hari. Dan Seungyoun tidak ingin segalanya bertambah buruk hanya karena ia membela dirinya sendiri.

Ditelungkupkannya perlahan wajahnya di antara kedua tangan dan setir mobilnya. Pikirannya tidak pernah tidak kacau seharipun. Belakangan ini, rumah sakit nyaris seperti tempat yang membuatnya tidak berhenti merasa cemas. Kapanpun ia mengambil tindakan, ke manapun ia berjalan, dan dengan siapapun ia berinteraksi dengan batasan pekerjaan, ia selalu merasa orang-orang mengawasinya dan siap membicarakannya. Itu membuatnya tidak nyaman dan sedikit banyak, itu membuatnya tertekan.

Beberapa orang terang-terangan menjaga jarak darinya, seakan ia adalah wabah penyakit yang pantas dijauhi. Dan sebagian di antara memilih berbisik-bisik membicarakannya. Bahkan sebagian kecil di antara mereka mulai mencibir caranya tersenyum dan menyapa para tenaga medis lain yang bersinggungan dengannya.

"Ternyata emang genit banget orangnya."

Tapi saat ia mencoba mengabaikan orang-orang yang kebetulan bersinggungan dengannya, penilaian yang diberikan kepadanya berbeda lagi. Seakan segala hal yang dilakukannya tidak pernah memiliki nilai benar. Apapun itu.

"Judes banget. Pura-pura nggak lihat, pura-pura nggak kenal. Jadi selingkuhan aja bangganya selangit. Gitu aja sok jual mahal."

Seungyoun menggeleng pelan, berusaha menepis segala anggapan buruk yang dilabelkan kepada dirinya, sebelum akhirnya nada telepon diterima membuatnya tersadar bahwa ia telah menghubungi seseorang di tengah kalutnya. Ia terpekur sebentar, ragu-ragu menempelkan ponselnya ke telinga perlahan.

"Kenapa menelepon, Sayang? Apakah kamu sudah selesai dengan pekerjaanmu?"

Suara Elizabeth Van Leeuwen di sana terdengar lebih serak daripada biasanya, sepertinya sedang batuk atau mungkin sedang flu. Dan Seungyoun mulai ragu menceritakan kegelisahannya. Mamanya sepertinya sedang dalam kondisi tidak fit.

Seungyoun menghela napas perlahan. "Apakah aku menganggu waktu istirahatmu, Ma? Sepertinya mama sedang tidak enak badan."

"Kamu tidak mengganggu, Seungyoun. Mana mungkin telepon dari kamu mama anggap sebagai gangguan? Tidak, Sayang. Ada apa sebenarnya? Ada yang menganggu pikiranmu? Ceritakan pada mama, tapi pastikan kamu tidak sedang menyetir. Opamu tidak pernah suka orang menyetir sambil menelepon. Sebaiknya kamu menepi, Sayang."

Gelengan Seungyoun adalah jawaban, meski sejatinya tidak dapat dilihat sama sekali. Satu-satunya jawaban yang kredibel adalah suaranya. "Mama, Seungyoun takut. Seungyoun ingin pulang, ke Nuenen..."

"Evan, kemarilah. Dengarkan Opa. Ke manapun kamu pergi dan di manapun kamu berada, jangan pernah lupa untuk pulang. Meskipun kamu jauh sekali dari Lisse tempatmu dilahirkan, kamu memiliki keluargamu di Nuenen. Maafkan Opa tidak bisa memberikanmu rumah sebesar rumah lamamu di Lisse, tapi biarkan Opa memberimu kehangatan yang hanya bisa kamu temukan di Neunen, di rumah kecil ini."

Perkataan Opanya hari itu terngiang kembali dalam pikirannya, yang kemudian tanpa sadar membuat matanya terasa memanas, kemudian memburam perlahan. Setiap kali ia merasa sedih, juga setiap kali ia merasa terkekan dan gelisah, ia selalu berharap bisa pulang. Ke kampung halamannya, kepada keluarganya kecilnya di Belanda sana.

"Seungyoun, apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba kamu ingin pulang? Apa yang sudah membuatmu takut, Sayang?" Suara Elizabeth terdengar khawatir. Dari telepon, Seungyoun bisa mendengar wanita kesayangannya itu berusaha menyibak selimut dan duduk di tempat tidur. Seungyoun hafal sekali suara gerak-geriknya.

Seungyoun menutup wajahnya dengan sebelah tangannya yang bebas. "Seungyoun ingin pulang, Mama. Seungyoun takut..."

Hening beberapa saat. Tampaknya, orang di ujung sana masih berusaha mencerna gumaman yang begitu lirih dikatakan Seungyoun.

"Seungyoun, jangan takut. Mama yang akan ke sana untukmu."

Selamat pagi dan wow! Sudah hari sabtu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat pagi dan wow! Sudah hari sabtu. Cepat sekali ternyata waktu ini berlalu🙉

I'm really sorry for this...😌

COASS COOPERATE 4.0 (Part of 2.0 and 3.0)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang