This Pain is Just Too Real

Start from the beginning
                                    

"Hanya satu gelas. Aku tidak bisa memberimu banyak. Kamu datang sendirian. Kalau kamu mabuk, tidak akan ada yang mau mengantarmu." Pria itu mengangsurkan segelas kecil minuman. Warnanya kekuningan, berkilau terkena remang-remang lampu di sana. Junho menatapnya dengan seringai yang terpantul di sana. "Dengar, setelah ini, kamu harus pulang, Nak. Jangan habiskan waktumu di sini," titahnya.

Junho bukan orang bodoh. Meski terlibat anyaran dan nyaris awam, ia tahu minuman apa ini. Orang-orang menyebutnya whiskey. Kadar alkoholnya sebagai minuman beralkohol golongan C jelas bukan main-main. Dulu ketika mempelajari blok neurologi dan berada di stase Saraf, ia sudah kenyang dengan bagaimana minuman beralkohol bisa merusak sistem saraf. Dan sekarang minuman yang seringkali diwanti-wanti oleh dokter Yena untuk tidak dikonsumi, berada tepat di depannya. Junho meringis kaku.

Ketika pengunjung lain memesan whiskey dan memilih meneguknya perlahan sambil sesekali berbincang dengan penuh makian dalam kalimat mereka, Junho menandaskan segelas whiskeynya dalam sekali teguk. Ia mengecap rasa tajam minuman itu dalam sekali waktu, memejamkan matanya sejenak, kemudian menelannya bulat-bulat. Beberapa orang menatapnya ngeri, termasuk pria berpakaian necis di depannya. Jarang sekali orang datang - apalagi masih muda - memesan whiskey dan langsung menandaskannya seperti minum air mineral biasa.

Pria itu menggeleng pelan sembari mengelap tangannya dengan kain putih. "Kamu kelihatan sangat frustasi, Nak. Orang-orang ini, meskipun mereka datang dalam keadaan frustasi dengan pekerjaan, pasangan, rumah tangga, dan banyak sekali hutang, tidak pernah kulihat yang sefrustasi dirimu. Apalagi kamu masih sangat muda, usiamu masih 23 tahun. Di usiamu yang masih muda, seharusnya kamu tidak sefrustasi sekarang."

Junho terkekeh pelan. Ia merogoh saku jaketnya, menemukan beberapa lembar uang yang ia tidak tahu itu cukup atau tidak, kemudian meletakkannya di bawah gelasnya. "Pak, nggak semua anak muda hidupnya menyenangkan. Hanya karena mereka masih muda, bukan berarti mereka nggak punya kehidupan yang kacau atau nggak berhak merasa frustasi dengan hidupnya. Setiap orang berhak merasa marah dan frustasi atas hidupnya, bahkan jika dia masih remaja yang nggak tau apa-apa."

Pria itu menatap Junho ragu. Raut wajahnya tampak khawatir. "Kamu bisa menunggu di sini atau sewalah kamar sampai tengah malam nanti. Aku bisa mengantarmu pulang. Jangan pulang sendiri," katanya.

Namun Junho tidak mendengarkannya. Ia lebih dulu berdiri dan berlalu begitu saja. Tubuh tegapnya, dengan bahu lebar yang kokoh beberapa kali menabrak pengunjung lain yang berhilir mudik memasuki kelab dengan menggandeng seorang wanita berpakaian begitu berlebihan di matanya.nPikirannya terasa penuh dan kosong di waktu bersamaan lagi. Dadanya terasa sesak. Kepalanya sedikit pusing. Tubuhnya mulai menolak whiskey yang sudah terlanjur masuk, juga terlanjur ia bayar sembarangan.

Junho menekan dadanya. Sakit sekali rasanya. Rasa sakitnya berbeda seperti rasa sakit orang dengan masalah jantung. Ia tahu, ia tidak punya masalah dengan jantungnya. Tapi dadanya, sakit sekali rasanya, seperti ada luka menganga di sana. Junho menahan napasnya. Matanya terasa memanas, kepalanya berdenyut tidak nyaman, napasnya agak tersenggal.

"Buat apa kamu masuk ke tempat itu?"

Suara berat itu...

Junho mendongakkan kepala perlahan. Langkah tanpa arahnya baru membawanya beberapa langkah menjauhi kelab itu, membawanya pada deretan mobil yang hanya boleh parkir di sisi kanan jalan. Ia menahan napasnya. Kelab ini bersebrangan dengan sebuah restoran China dan pengunjung restoran itu mau tidak mau harus menuruti aturan bahwa mobil mereka harus diparkir di sisi kanan jalan, dan beberapa pengunjungnya harus berbesar hati memarkirkan mobil mereka di depan kelab.

"Tempat seperti itu seharusnya nggak kamu masuki kalau kamu cukup pintar. Buat apa kamu masuk ke tempat itu?"

Junho gemetar. Itu suara papanya. Bagaimana bisa papanya melihatnya keluar dari kelab dengan begitu santainya?

"Kamu punya mulut, jangan bertingkah seperti orang bisu. Kalau kamu bisa bicara, jawab pertanyaan papa. Buat apa kamu masuk ke tempat itu?"

Namun Junho hanya menggeleng. Ia masih dirundung keterkejutannya sendiri. Papanya muncul di depannya secara tiba-tiba di saat ia belum siap bertemu salah satu di antara papanya ataupun Myungsoo.

"Papa tau, hari ini bukan waktumu bebas dari stasemu. Tapi kamu muncul dari kelab yang seharusnya nggak kamu masuki dan kamu nggak menjawab satupun pertanyaan papa. Apa yang kamu pikir, Junho? Kakak-kakakmu sama sekali nggak ada yang pernah keluar masuk, kelab. Bahkan nggak ada yang mendidikmu tentang masuk ke kelab. Setelah tinggal sendirian bertahun-tahun, kamu jadi liar dan berani keluar masuk kelab saat teman-temanmu belajar?"

Beberapa pejalan kaki menatap ke arahnya, juga ke arah papanya. Junho membuka mulut, menjawab dengan satu kalimat untuk sekedar membela dirinya di depan sang papa, meski ia gemetar dan takut bukan main. Namun baru beberapa kata yang keluar dari bilah bibirnya, sang papa sudah menetap tajam, sarat akan ketidaksukaan, cemoohan, dan kebencian padanya.

Junho menelan ludah susah payah. Papanya pasti mencium aroma rokok dan alkohol dari napasnya. Ia berhenti bicara, tidak berani berkutik di tempat. Ia memejamkan mata ketika papanya membentak keras, seakan mempermalukannya di hadapan banyak orang dengan menyebutnya sebagai anak tolol, tidak berguna, bodoh, pembangkang, dan pembuat onar. Dan sayangnya, orang-orang yang tidak tahu apa-apa itu hanya lewat tanpa berani menengahi.

"Dari dulu kamu hanya bikin masalah, masalah, dan masalah. Apa sekali saja dalam pikiranmu itu nggak pernah terlintas pikiran untuk berhenti bikin masalah? Bau rokok, alkohol, kamu pikir kamu bakalan jadi orang berhasil dengan itu? Nggak, kamu hanya akan gagal. Masa depanmu gelap. Nggak ada harapan buat kamu. Harusnya..."

Kedua tangan Junho terkepal di kedua sisi tubuhnya. Rasa sakit di dalam dadanya kian menjadi-jadi. Kepalanya berdenyut dikuasi emosi yang tidak bisa ia kendalikan. Papanya terus memaki, mencemooh, dan menghinanya di ruang terbuka, di hadapan banyak orang yang mungkin saja salah satu mengenalnya. Ia dipermalukan habis-habisan. Meskipun sudah sering dipermalukan, ini pertama kalinya ia dipermalukan di tempat umum, dengan makian-makian kasar dan intonasi tinggi.

Rahang Junho mengeras. Wajahnya merah pada. Sepasang kakinya gemetar. "Ya, ya, aku tau! Harusnya aku mati seperti yang papa mau! Harusnya aku nggak ada seperti yang papa mau! Aku hanya bisa bikin masalah, masalah, masalah, dan masalah. Hidupku emang sejak awal udah masalah, lahir dan hidup pun hanya jadi masalah!" bentaknya.

Sang papa - kalian pasti sudah mengenal siapa namanya - tampak mengeraskan rahang. Ia mengangkat tangan, melayangkan satu tamparan keras ke wajah Junho yang membuat anak itu terpelanting jatuh. Juga membuat beberapa pria akhirnya bertindak peduli dengan memisahkan ayah dan anak yang bersitegang itu.

Junho menepis tangan-tangan yang berniat membawanya menjauh. Matanya memerah, sorotnya menunjukkan seberapa terluka dan kecewanya ia. Tangannya terangkat, menunjuk tepat ke wajah murka sang papa. Dengan segenap keberanian yang bahkan tidak pernah ia kumpulkan, ia berteriak...

"Aku benci nama Cha di depan namaku! Aku benci keluargaku!"

"Aku benci nama Cha di depan namaku! Aku benci keluargaku!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Selamat berakhir pekan. Semoga akhir pekan kalian menyenangkan dan mengesankan🙈

COASS COOPERATE 4.0 (Part of 2.0 and 3.0)Where stories live. Discover now