Dalam Pandangan Junho

Mulai dari awal
                                    

Junho terpekur di tempat. Ia tidak pernah melihat papanya tersenyum - padanya. Kalau diingat-ingat, ia hanya bisa melihat ekspresi penuh kemarahan, kekecewaan, dan ketidaksukaan di wajah papanya. Bahkan ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar dengan pelajaran yang masih terbilang mudah dan ia mengatakan bahwa ia mendapat nilai yang bagus untuk pelajaran bahasa, papanya tidak bisa tersenyum menerima usahanya. Dengan ekspresi tidak menyenangkan, nilainya yang mungkin tidak seberapa di mata papanya akan dibandingkan dengan nilai matematika Myungsoo yang jelas berbeda dengannya.

Bahkan pernah sekali ketika acara pentas seni siswa ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 4, ia pernah meminta papanya untuk datang ketika ia bermain drama musikal memerankan Peterpan yang datang jauh dari Neverland. Tapi papanya tidak datang dengan alasan bahwa tidak ada yang perlu dibanggakan dari seorang anak yang memegang peran Peterpan dalam sebuah drama musikal, alih-alih seorang anak yang dapat membawa pulang sebuah medali emas di sebuah olimpiade. Namun malam itu ia melakukan kesalahan. Fatal sekali, sampai seberapa kerasnya ia berusaha melupakan, ia tetap bisa mengingatnya dan gemetar karenanya. Sekalipun ia memiliki jadwal terapi untuk mengatasinya, ingatan itu seakan mengakar kuat dalam dirinya, membuatnya selalu merasa siaga apabila ia berhadapan dengan papanya, membuat dadanya sesak, juga tangannya gemetar habis-habisan.

Malam setelah papanya menolak datang ke pentas seni siswa di sekolahnya, ia masih memaksa papanya untuk datang, dengan mengatakan kalau ia akan menjadi pemain utama dalam drama musikalnya dan ia akan mengenakan pakaian yang bagus. Ia juga mengatakan kalau beberapa gurunya memuji bakatnya memerankan Peterpan, tapi papanya tetap menolak keras. Ia tetap memaksa, dengan merengek, juga berbekal keberanian seadanya, ia menarik-narik tangan papanya. Sampai kemudian gelas kopi papanya jatuh ke lantai dan pecah. Ia terdiam sejenak setelahnya, kemudian papanya memaki penuh amarah padanya, menghina apapun yang sudah dilakukannya, memukulnya dengan sebuah tongkat yang masih ia kenali hingga saat ini sebagai tongkat kasti milik Eunwoo, kemudian menyeretnya ke kamar mandi dan mengguyur tubuh penuh lebamnya dengan air dingin, menguncinya di sana semalaman dan membuatnya tidak mendapat makan malam.

Junho memejamkan mata sejenak. Dadanya terasa sesak tiap kali ingatan tentang hari itu selalu tanpa permisi terputar kembali di kepalanya. Dokter Chaeyeon bilang, segala kenangan traumatis itu perlahan akan menghilang seiring dengan terapi rutin yang ia jalani, namun kenangan satu itu, seakan mengakar kuat dan memiliki kekuatan paling besar yang paling mampu membuatnya gemetar, lebih dari kenangan traumatis lain saat papanya menghajarnya, mencaci makinya, dan merendahkannya. Karena perlakuan papanya hari itu, bukan hanya papanya yang tidak datang ke pentas seni siswa, tapi ia sebagai pemeran Peterpan pun turut tidak datang. Bagaimana ia bisa datang kalau ia dikunci di kamar mandi dengan sekujur tubuh membiru, kedua lututnya membengkak, dan wajahnya bengkak penuh lebam?

"Kak Junho, tensi meternya dong. Gantian mau dipakai Tony tuh."

Sebuah tepukan pelan penuh rasa segan dari Jinwoo membuyarkan segala kekacauan ingatan dalam kepalanya, membuatnya membuka mata dan tersentak kaget. Ia tersenyum samar dan buru-buru memberikan tensi meter yang dimaksud anak itu, kemudian menyadari tangan kanannya yang terulur memberikan tensi meter, terlihat bergetar. Tremor karena panik dan cemas.

"Kak Junho, kok pucat sama gemetaran? Nggak enak badan, kak?"

"Nggak," Junho menjawab singkat. Ia menggeleng beberapa kali, berusaha meyakinkan Jinwoo bahwa ia bik-baik saja. Kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke seberang jalan. Pajero hitam bersama papanya dan Myungsoo sudah tidak di sana. Mereka sudah pergi, entah ke mana dan dengan rencana apa.

Junho menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Kedua tangannya masih gemetar. Dadanya masih terasa sesak, jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Darahnya berdesir. Ketakutan akan eksistensi papanya masih begitu terasa, bahkan ketika mereka hanya berjarak beberapa meter dan tidak sedang benar-benar berhadapan. Bahkan ia masih bisa merasakan gemuruhnya rasa benci terhadap papanya di dalam dadanya. Juga perasaan iri terhadap Myungsoo tiap kali ia melihat betapa kakak pertamanya itu dekat dengan papa mereka, sementara ia tidak pernah mendapatkan kedekatan yang sama. Jangankan sebuah pelukan yang biasa Myungsoo dapatkan, seulas senyum dan sebuah tepukan lembut di bahunya saja tidak pernah ia dapatkan.

Tapi Junho, apakah kamu yakin bahwa kamu hanya membenci papamu? Tidakkah kamu pernah mengatakan bahwa setiap orang dalam keluargamu memiliki tempat dalam hatimu, namun kamulah yang tidak memiliki tempat dalam hati mereka sebab kamu hanyalah gelandangan dalam keluargamu?

Tapi Junho, apakah kamu yakin bahwa kamu hanya membenci papamu? Tidakkah kamu pernah mengatakan bahwa setiap orang dalam keluargamu memiliki tempat dalam hatimu, namun kamulah yang tidak memiliki tempat dalam hati mereka sebab kamu hanyalah geland...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat bertemu kembali di senja terakhir tahun 2019...😈🌹💙

Meet our precious kopi senja co-assistant on his Instagram account😎

Meet our precious kopi senja co-assistant on his Instagram account😎

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
COASS COOPERATE 4.0 (Part of 2.0 and 3.0)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang