I'm Sorry That I Can't Be Perfect

Mulai dari awal
                                    

Tepat 2 detik setelah Yohan mengangguk, Yuvin akhirnya memberanikan diri menekan bel rumah Yohan sekali. Sementara ia berusaha meyakinkan dirinya, di sampingnya, Yohan memegangi tangannya penuh ketegangan ketika pintu rumah yang dipernis coklat tua itu perlahan terbuka.

Yuvin mengulas senyum dan berusaha tampak sebaik mungkin. Ia membungkuk sekali, kemudian menegakkan tubuhnya. "Selamat sore," sapanya tenang.

Yohan menunduk. Ia sama sekali tidak berani menatap mamanya saat menyadari bagaimana dinginnya raut wajah mamanya. Bahkan untuk sekedar menyapa ringan layaknya seorang anak kepada orangtuanya, Yohan tidak berani melakukannya.

"Mama nggak minta kamu datang berdua dengan pacarmu. Kalau kedatanganmu dengan pacarmu ke sini berniat untuk meminta restu, jangan pernah berharap. Kamu tau apa jawaban mama, Han. Bahkan juga dengan jawaban papamu." Mama Yohan berkata dengan suara dingin. Matanya yang benar-benar mirip dan diwariskan pada putra semata wayangnya menandang Yuvin penuh ketidaksukaan, seakan tidak mengharap bahwa pria bernama depan Song itu berdiri di sisi putranya.

Yuvin bisa merasakan tangan Yohan dalam genggamannya terasa melemas, maka ia mengusapnya lembut dengan ibu jarinya, kemudian mengeratkan genggamannya. "Saya hanya mengantar Yohan datang ke sini," katanya.

"Lalu? Kenapa kamu nggak pulang setelah mengantar Yohan? Dia sudah besar dan nggak perlu ditemani. Bahkan dia bisa ke sini dengan kendaraan umum. Dia laki-laki dan tidak perlu diperlakukan seperti perempuan."

Yohan menggigit bibir bawahnya. Pandangan matanya memburam. Suatu perkataan dalam ucapan mamanya, terasa begitu menohok tepat ke ulu hatinya. Sesuatu tentang bahwa dia laki-laki dan tidak perlu diperlakukan seperti perempuan.

"Saya tidak memperlakukan Yohan seperti perempuan. Saya sepenuhnya tau dan sadar bahwa dia adalah laki-laki. Bagian mana dari perlakuan saya yang tampak memperlakukan Yohan seperti perempuan? Dia bisa mengangkat satu meja sendirian tanpa bantuan. Dia juga bisa menyetir sendiri, tapi tidak memiliki surat ijin. Saya juga tau kalau Yohan bisa naik kendaraan umum, tapi jelas akan membutuhkan waktu yang lama karena sekarang adalah jam pulang kantor. Saya mengantar dia ke sini adalah bagian dari tanggungjawab saya sebagai pasangannya, juga sebagai orang yang usianya lebih tua daripada dia." Yuvin menyangkal. Berusaha setenang mungkin, meskipun terkadang rahangnya terlihat mengeras dan ekspresi wajahnya begitu tegang.

Mata tajam mama Yohan beralih pada putra semata wayangnya yang sedari tadi tertunduk seolah menghindari tatapannya. "Mama bilang kamu harus pulang, tapi nggak dengan pacarmu. Mama minta kamu pulang sendiri karena emang kamu harus pulang sendiri. Tapi kamu malah bawa pacarmu ke sini. Maumu apa, Han? Kamu pergi berminggu-minggu dari rumah hanya untuk hubungan yang kamu sendiri tau kalau hubungan itu salah? Kamu mengorbankan semuanya hanya untuk laki-laki yang bahkan membuat hidupmu makin salah? Yohan, kamu anak mama satu-satunya. Mama nggak menuntut kamu harus sempurna di segala hal atau sukses di luar kapasitas kemampuanmu. Tapi mama hanya nggak mau kamu jadi begini, Han. Nggak pernah ada orangtua yang ingin anaknya menyimpang sampai terlalu jauh."

Yohan mengangkat kepalanya perlahan. Ekspresi wajahnya tidak dapat ditebak, namun Yuvin sendiri bisa melihat bahwa Yohan berusaha menahan diri untuk tidak menangis. "Aku minta maaf karena nggak bisa jadi anak yang mama atau papa harapkan. Aku tau kalau pilihanku yang salah justru akan membuat kalian sedih, tapi akupun berhak menentukan ke mana hidupku dan apa yang harus kujalani..."

"Tapi kamu anak kami, Han. Meskipun kamu sudah dewasa, kamu tetap anak kami. Kami bertanggungjawab atas kamu. Pilihan yang kamu ambil adalah keputusan juga harus kami tempuh sebagai orangtuamu. Kamu nggak hidup sendiri atau berdiri sendiri di atas kedua kakimu. Kamu tetap punya orangtua, Han."

Yuvin mengalihkan pandangannya. Kali ini bukan mama Yohan yang berkata, melainkan seorang pria paruh baya yang berdiri di belakang wanita itu. Dan Yuvin berani bertaruh bahwa pria itu adalah papa dari Yohan karena begitu suara itu terdengar dan sosoknya muncul di hadapan Yohan, ia bisa merasakan Yohan lebih emosional daripada sebelumnya, hingga berkali-kali mengucapkan kata maaf yang tidak berkesudahan.

"Apa ini jalan yang benar-benar kamu inginkan, Han?"

Yohan menunduk. Tangis yang semula ditahannya sekuat tenaga, mulai pecah. "Maaf, pa..."

"Papa nggak butuh permintaan maaf atau tangisanmu, Han. Papa hanya perlu jawabanmu. Apa ini jalan hidup yang benar-benar kamu inginkan? Hidup dengan jalan yang kamu sendiri tau bahwa itu salah?"

Yuvin mengeratkan genggamannya, berusaha memberikan ketenangan pada Yohan yang terus menangis di sampingnya. "Saya tidak ingin melawan orangtua, terutama orangtua pasangan saya. Tapi jika saya boleh menyela, saya ingin menyela sebentar. Mungkin mengatakan apa yang seharusnya saya katakan. Mungkin saya bukan orang yang kalian harapkan untuk mendampingi Yohan, tapi saya ingin mendampingi dan melindungi Yohan karena saya mencintainya."

Wajah papa Yohan yang semula tampak dingin, kini tampak terkesan makin dingin dan begitu sarkas. "Apa yang kamu maksud dengan mendampingi dan melindungi Yohan adalah merusaknya dengan cara yang membuat dia semakin terlena dan kurang ajar?"

 "Apa yang kamu maksud dengan mendampingi dan melindungi Yohan adalah merusaknya dengan cara yang membuat dia semakin terlena dan kurang ajar?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat siang dan selamat makan siang hohoho...😈🌹💙

Iblisku sedang tidak punya rasa lelah wkwkwk...😈🌹💙

Selamat ulang tahun, Han Seungwoo🐀

COASS COOPERATE 4.0 (Part of 2.0 and 3.0)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang