"Hehh... Jadi dia nelantarin lo?" Tanya Rakel lagi.

Bela menggeleng pelan "Entahlah gue gak tau, tapi sebelum pergi dia bilang 'karena kau anak mereka kau harus bisa berjuang sendiri'. Karena kata-kata dia inilah yang ngebuat gue tetap hidup sampe sekarang, dia ngebuat seolah orang tua gue orang yang hebat. Jadi gue merasa insecure kalo gue harus merasa tertekan dengan kehidupan ini padahal gue adalah anak 'mereka'. Gue harus bisa ngelewatin semuanya karena gue anak mereka, tapi terkadang semuanya terasa sulit juga" ucap Bela menatap pena yang ia mainkan itu dengan tatapan... Bersalah?

Entahlah, Rakel rasa Bela merasa bersalah karena sempat berpikir untuk bunuh diri tapi ya walau begitu, itu bukan salah Bela.

Tiga serangkai itu benar-benar suka membuat korbannya ingin merasakan mati, jadi jika Bela sempat ingin memilih jalan itu Rakel tak bisa menyalahkannya.

"... Itu karena lo sendirian, tapi sekarang lo kan ada gue" ucap Rakel di akhiri cengirannya membuat Bela langsung mendongak menatapnya beberapa saat lalu mencibir.

"Tai" cibir Bela

Rakel tertawa pelan "Pffth, jadi soal orang tua lo gimana? Lo udah dapat informasinya?" Tanya Rakel lagi kembali ke topik awal.

Bela mendengus "Belum, panti asuhan gue dulu juga gak tau soalnya yang ngasih gue ke mereka adalah pihak rumah sakit. Itu artinya sejak di rumah sakit orang tua gue udah pergi, dan rumah sakit tempat gue lahir sekarang udah tutup. Karena itu sekarang gue bingung mau nyari mereka di mana lagi" keluh Bela, kembali menunduk bahunya terlihat merosot ke bawah.

"Gimana dengan om-om yang ngeadopsi lo?" Tanya Rakel lagi mencoba memberikan saran.

Bela menggeleng lagi "Gue gak tau dia di mana sekarang, kayaknya dia gak ada di sini. Dan kalaupun dia ada di sini kayaknya... Paman kelinci gak akan ngasih tau apapun" ucap Bela.

Rakel tertegun beberapa saat "... Paman kelinci?" Tanya Rakel lalu bibirnya menyungging senyuman "Pffthh"

Suara tawa tertahan yang di keluarkan Rakel membuat tatapan tajam Bela langsung menghunusnya.

"Apa?! Gue bukan sok imut emang dia kayak kelinci! Rambutnya putih matanya merah, dia emang bener-bener kayak kelinci!" Sewot Bela membuat Rakel hanya tersenyum geli.

"Oke-oke sorry, jadi kenapa lo beranggapan 'Paman Kelinci' gak akan ngasih tau apapun ke lo?" Tanya Rakel menekan kata paman kelinci dengan senyum jahil membuat Bela mendelik kesal namun tak urung ia menjawab pertanyaan Rakel.

"Karena kayaknya dia mau gue yang cari tau sendiri. Dan kayaknya informasi soal orang tua gue adalah sebuah rahasia untuknya" jawab Bela "Tapi gimana caranya gue cari tau sendiri?! Dari lahir aja gue gak tau gimana muka mereka, gimana caranya nyari sendiri? Semua informasi soal mereka juga gak ada. Gak jelas banget, apa jangan-jangan gue anak hasil penelitian?! Hah, masa iya? Gak mungkin gak mungkin... Terus gimana cara gue lahir?" Sambung Bela mulai memgoceh sendiri.

Rakel terkekeh pelan mendnegar ocehan Bela.

"Sini tangan lo" ucap Rakel mengulurkan tangannya di atas meja membuat perhatian Bela kembali kepadanya.

Bela mengernyit "Ha?"

"Mau gue bantu gak? Sini tangan lo" ucap Rakel lagi sembari membuka tutup tangannya memberikan kode untuk Bela meletakan tangannya.

Bela menatap tangan Rakel sejenak lalu kembali menatap Rakel dengan tatapan tajam.

"Bantu apaan?! Modus yang ada lo!" Ucap Bela kesal dengan delikan tak suka.

Di tuduh seperti itu Rakel jelas gak terima, ia pure ingin membantu Bela bukan ingin modus.

"Kagak, gue beneran bantu. Sini dulu tangan lo!" Ulang Rakel lagi, ekspresinya berubah serius dan melihat ekspresi Rakel ini Bela jadi mulai memercayainya.

RELLAWAYWhere stories live. Discover now