"Siapa?" Bingung gue menatap seorang cowok berpakaian pasien yang baru masuk, kayaknya dia seumuran gue.

"Jangan bilang gue di sini!" Ucapnya berlari ke balik sofa dan bersembunyi di sana, tunggu dulu sebenarnya apa yang terjadi?

Tok tok tok

Pintu ruangan gue di ketuk, siapa lagi sekarang?

"Masuk" Respon gue dan tak lama pintu terbuka menghadirkan seorang gadis SMA yang masih memakai seragam sekolahnya.

"Misi dek, mau tanya ada anak cowok yang masuk ke sini gak? Dia kayaknya seumuran kamu, pasien juga"

Ouh, sekarang gue paham. Gue ngelirik sofa dan di sana kepala bocah tadi menyembul ia geleng-geleng dengan jari telunjuk di depan bibirnya  isyarat untuk diam.

"Ngg... Gak kak" Dengan ragu gue menjawab pertanyaan kakak tadi.

"Oh gitu yah? Makasih ya maaf ganggu" Kakak itu tersenyum "Bocah edan! Di suntik aja kabur, nyusahin aja!" Omelnya saat sudah balik badan hendak menutup pintu. Usai pintu di tutup gue kembali menatap sofa tadi, menunggu sosok yang bersembunyi di sana keluar.

"Huft... Pergi juga tu nek lampir" Ia keluar dengan helaan nafas lega, dan saat mata kami bertemu ia tersenyum lebar "Eh, makasih yah! " Ucapnya mendekati gue.

"Lo kenapa kabur?" Tanya gue membuat ia langsung cemberut, ia menarik kursi di samping brankar gue dan mendudukinya.

"Hidup itu sulit... Kita di paksa ngehadapin hal yang selalu kita hindari, karena itu gue kabur" Jawabnya sok puitis, gue mendelik berbeda dengannya yang langsung merubah ekspresinya menjadi ramah seperti sebelumnya "Btw, nama gue Zayan! Zayan Radika Pustakarya" Ia mengulurkan tangannya dengan senyum lebar.

Gue membalas uluran tangannya "Gue Rakel Orion Gabridipta" Gue turut memperkenalkan diri, lalu gue terdiam. Ah tanpa sadar gue nyebutin marga keluarga gue, tapi yaudahlah ni anak kayaknya juga gak tau.

"Rakel? Ooh... Lo sendiri di sini?" Bener bukan, dia gak tau apa-apa soal Gabridipta.

Gue menggeleng "Gak, ada abang gue tapi sekarang dia lagi ada urusan"

"Ooh gitu, lo sakit apa? Kalo gue sih tangan gue patah, jatoh pas main sepak bola" Gue menatap tangannya yang terpasang sling.

"Kalo gue tulang rusuk gue patah" Jawab gue.

Dia meringis "kok bisa? Jatoh? Kecelakaan?" Tanyanya lagi, rasanya udah lama gue gak ngomong santai begini sama orang. Jadi agak canggung tapi walau gitu gue lumayan seneng sih.

"Kagak, di patahin sama orang" Jawaban gue ngebuat Zayan menganga tak percaya.

"Yang bener?!"

"Ya benerlah, gak liat muka gue babak belur begini?"

Dia berdecak sambil geleng-geleng "Gila, gak kebayang sakitnya. Gue aja yang jatuh begini sakitnya kayak nyawa gue mau di cabut, apa lagi lo yang sengaja di patahin? Sshhh! Gimana ceritanya?" Zayan meringis ngilu, membayangkan bagaimana jika ia di posisi gue.

Gue tertawa lalu menceritakan kronologi kejadiannya pada Zayan, hal yang gak gue ceritain ke Rahel. Karena kalo gue bilang ke Rahel bisa-bisa tu orang mati.

"Wuaahh, keren banget dah lo! Kalo gue sih milih telpon polisi!" Decak kagum di berikan Zayan usai gue bercerita.

"Ya gue sebenarnya gak mau bantu tapi badan gue gerak sendiri" Balas gue dengan senyum paksa, menyesal akan apa yang gue lakuin waktu itu.

"Tapi tetap aja lo keren!" Puni Zayan lagi, gue cuma ketawa doang. Malu juga di puji "gimana kalo kita temenan?!" Usul Zayan.

Temen? Kata umum yang terasa asing buat gue, di kehidupan dulu gue sama sekali gak pernah punya temen. Ada sih, tapi gue buang karena gue ngerasa dia ngerepotin, gue gak pernah kepikiran buat nyari temen di kehidupan ini tapi kayaknya gue emang butuh temen. Kalo gak masa depan gak akan berubah sesuai keinginan gue.

RELLAWAYWhere stories live. Discover now