Paranoid

377 45 3
                                    

Renjun menatap nyala api yang berkobar di hadapannya,  pendaran oranye menyapa wajah ayunya yang muram. Setidaknya sudah 30 menit ia menatap tong besar dengan api menyulut di hadapannya tanpa ekspresi berarti. Jika jangkrik yang tengah berderik di sana bisa menghitung, mungkin mata rubah itu hanya berkedip beberapa kali sejak tadi. Ia sudah tak sanggup bereaksi apapun terhadap apa yang ia lihat tadi sore. Kedua makhluk tak tau diri itu tak henti hentinya menggoreskan luka di hatinya. Tak cukup dengan senyum manis keduanya yang terlukis ketika bercengkerama, kini mereka memperjelas semuanya dengan menyatukan bibir kotor itu di hadapannya. Bayangan keduanya yang tengah berciuman di bawah rintik hujan di pernikahan haechan membuatnya tak dapat berkata kata lagi.

Tubuhnya sudah terlalu lelah dengan semua yang ia alami. Bibir ranumnya kini tengah ia kulum, meredam emosinya yang tiba tiba menguasainya ketika ia mengingat apa yang tengah si jagoan merah ini tengah habisi di malam dingin yang kian sunyi ini.

Semua kenangannya dengan jeno.

Lembaran foto mereka berdua, aksesoris pasangan milik mereka, dan apalagi ya?

Ia bahkan tak bisa menyebutkan lebih dari dua hal yang telah lelaki sialan itu berikan padanya. Bahkan, jika ia boleh menghitung teman bermata bundarnya itu justru lebih banyak menerima pemberian dari jeno.

Sial sekali, air matanya terjun begitu saja ketika kepalanya kembali mengingat betapa hangatnya senyum jeno ketika memberikan satu buket besar bunga berwarna favoritnya kepada felix di malam itu. Tak taukah ia bahwa bunga indah itu justru berakhir dengan tumpukan sampah rumah felix?

"renjun?"

"oh... Iya pak?"

"kenapa diluar? Dingin nak, sana masuk rumah"

"nanti aja pak. Aku emang lagi mau nyari angin disini"

"anak bapak kenapa?"

"ngga kenapa napa pak. Emang kenapa?"

Ayahnya tak memberikan jawaban apapun atas pertanyaannya, lelaki paruh baya itu justru ikut berdiri di sampingnya, menatapnya sebentar sebelum mengikuti arah matanya pada api di hadapannya.

"pak, apa bener apa yang kita pikirin bakal kejadian?"

"biasanya sih gitu"

"kok bisa gitu sih pak? Kalo misalnya aku bilang aku bakal kaya tujuh turunan emang dikabulin gitu aja?"

"ya ngga. Tapi itu bakal jadi sugestimu nak"

"maksudnya?"

"ya kalo kamu mikir kamu bakal kaya berarti secara ga sadar kamu cari cara gimana caranya kamu kaya. Dan semesta pun bakal turut andil kalo kamu cari jalan itu"

"masa sih? Aku sering tuh bilang aku bakal kaya. Ga kaya kaya juga"

"berarti keinginanmu belum sekuat itu. Berarti kamu belum seyakin itu sama omonganmu"

"berarti aku harus yakin dulu sama omonganku?"

"iyalah. Kaya gini lho nak, semuanya itu ga langsung instan.  Pasti ada yang memicu kamu buat ngomong gitu"

"semisal?"

"semisal pas kamu kecil dulu tuh, kamu sering banget naik naik rak tv.  Bapak sama ibu takut kamu jatuh. Bapak sama ibu kan ngomong gitu karena ada pemicunya ya, karena kamu hobi naik naik rak tv tadi akhirnya bapak ibu bilang awas nanti jatuh"

"...."

"dan kamu beneran jatuh kan kali itu"

"...."

"karena bapak sama ibu yakin kamu bakal jatuh karena pemicunya itu kamu sering pecicilan manjatin barang. Gitu nak"

Berarti apa yang selama ini ia pikirkan bukanlah hal yang salah kan? Ia tak mungkin mengatakan hal itu jika tak ada pemicunya bukan? Ia tak mungkin memiliki prasangka buruk terhadap jeno dan felix jika kedua manusia sialan itu tidak menunjukkan kedekatan tak masuk akal di hadapannya bukan? Berarti ia berhak untuk menilai keduanya bermain api di belakangnya bukan?

MIGNONETTE (KEMBANG DESA) || NOREN [END]Where stories live. Discover now