Pada Hari Itu

525 44 8
                                    

Chapter ini mostly isinya intermezzo ya, main cast tidak begitu dilibatkan disini. Cuma kalo mau baca ya silahkan, itung" buat hiburan karena tingkah konyol seseorang disini.








Jeno termenung menatap hujan di balik jendela tempat ia bernaung sekarang. Rintik  hujan yang berlomba lomba menghujam tanah seperti tengah menggambarkan pikiran pikiran negatif yang sibuk menghujam kepalanya hingga ia merasa pening. Tekadnya tadi pagi untuk berbicara dari hati ke hati dengan renjun pupus sudah, padahal kantung mata yang menghitam ini menjadi saksi bisu betapa kerasnya ia memutar otak untuk mencari kata kata yang pantas untuk berbicara empat mata kepada renjun, agar sosok yang disayanginya itu tak lagi salah paham dengan ucapannya.

Namun tuduhan tuduhan tak berdasar remaja cantik itu yang mencurigainya memiliki hubungan serius dengan temannya membuat ia tak dapat lagi mengontrol emosinya. Setidak percaya itukah renjun dengannya? Serendah itukah dirinya dimata renjun? Selalu ia katakan kepada sosok cantik itu bahwa tak ada yang bisa memikat dirinya sefatal ia, bahwa sejak awal hatinya hanya untuk sosok itu. Yang tak disangkanya lagi, ia justru melemparkan kekesalannya pada seseorang yang tak seharusnya.

Felix seharusnya tak mendapatkan tuduhan yang merendahkan seperti itu. Ia harap renjun tau dan ia yakin sosok itupun tau, interaksi yang dibangun oleh dirinya dan felix murni sebagai teman seperti yang renjun lihat sehari hari. Lantas bagaimana bisa dengan lantangnya renjun mengatai felix dengan kalimat yang tidak pantas? Sungguh ia merasa bersalah kepada temannya saat ini.

"Ini pesenanmu"

"Makasih lix"

"Ish kenapa ada togenya sih?"

"Sini taro di aku aja"

Lalu selanjutnya mereka makan dengan khidmat, hanya bunyi hujan di luar sana yang mengalun di telinga mereka. Sambil mengaduk aduk makanan yang tersaji di hadapan jeno, ia memberanikan diri untuk membuka suara. Membuat sosok di sampingnya ini menoleh padanya, nampak mengerti maksud dari kata katanya, terlihat dari tangannya yang berhenti memegang sendok lalu menaruhnya di piring begitu saja.

"Maaf ya"

"Maaf kenapa?"

"Gara gara aku kamu dikata katain renjun"

"Oh... Bukan kamu yang salah, ga perlu minta maaf"

Dari nada bicara yang dikeluarkan felix, nampaknya anak ini sangat tidak berkenan dengan kejadian yang menimpanya sepulang sekolah tadi. Dan ia pun tak bisa berbuat lebih selain merasa bersalah, karena ia sadari bahwa dirinya yang menjadi biang dari pertengkaran renjun dan felix.

"Aku datang ke dia cuma mau minta maaf perkara aku yang ogah ogahan nemenin dia main ke rumah kamu, tapi aku malah digituin sama dia"

Jeno memandang mata bundar felix yang mengawang pada jendela di depannya, ia tau anak ini terlihat kesal dari air mukanya yang masam. Helaan nafas itu memperkuat dugaannya, dan ia pun hanya bisa maklum menyikapi hal itu.

"Aku tuh cuma pengen idup tenang jen. Aku tau itu ga semuanya salah aku tapi aku ngalah, aku yang minta maaf"

"...."

"Ga enak tau ga musuhan sama temen sendiri"

"...."

"Tiap hari aku sama dia, kemana mana bareng, main bareng, pergi ke mana bareng. Sekarang udah ga bisa gitu lagi"

"...."

"Aku aja kalo ditanya ibu mana renjun aja bingung jawabnya"

Dan kilatan amarah mulai nampak pada netra bundarnya, mata itu nampak berkaca kaca sementara dirinya tak berniat untuk merespon ucapan sang lawan bicara melainkan menyimaknya, mendengar semua keluh kesah itu sembari menatap prihatin.

MIGNONETTE (KEMBANG DESA) || NOREN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang