Jengah

492 56 4
                                    

Jeno menghela nafas jengah sembari memalingkan wajah, air mukanya jelaslah tak enak dilihat oleh orang orang di sekeliling kedai langganannya ini. Mulutnya terkatup rapat menahan semua kalimatnya yang mungkin menyakitkan terlontar pada sosok di hadapannya yang nampaknya sama sekali tak berniat setidaknya meminta maaf padanya.

Niat hati ingin menghabiskan akhir pekan dengan penuh suka cita menikmati hidangan nikmat bersama sang terkasih, kini justru berakhir tak sesuai ekspektasi. Ia malah terjebak dalam atmosfer menjengkelkan yang diciptakan oleh renjun, yang sedaritadi sibuk dengan ponselnya tanpa memperdulikan wajahnya.

"Serius kamu ga mau ngomong apa apa sama aku ren?"

"...."

"Ren??"

"Mau ngomong apa aku emangnya?"

"Kamu ga cape apa gini terus??"

Jeno semakin menajamkan matanya ketika telinganya mendengar dengusan remeh dari lawan bicara di depannya ini. Gelas yang ia pegang kini sedikit ia cengkeram, berharap semua rasa jengkel di dadanya dapat tersalurkan pada kaca itu.

"Harusnya aku ga sih yang marah sama kamu? Keputusan segede itu aja kamu gabisa diskusiin lagi sama aku. Kamu justru diskusiinnya sama orang lain, lah terus aku ini kamu anggep apa?"

"...."

"Belum jadi istri aja kamu udah remeh sama aku apalagi ntar pas berumah tangga? Bisa bisa apa apa kamu mutusin sendiri. Atau bahkan minta pendapat orang lain"

"Ren... Denger ya. Kamu tuh mikirnya kejauhan. Aku sebenernya capek banget ngejelasin hal hal remeh kaya gini doa-"

"Tuhkan kamu anggep remeh. Sebenernya aku ini siapa sih buat kamu??"

"Ga gitu ren. Kamu tuh-"

"Kamu tuh apa?? Pikir aja sendiri tiba tiba kamu daftar kuliah tanpa ngomong apa apa sama aku. Tiba tiba aja aku telpon kamu lagi di kota lagi daftar berkas. Sama felix pula"

"Ren-"

"Masa dia duluan tau daripada aku! Masa keputusanmu bisa berubah gitu doang, kamu rombak abis abisan gara gara dia. Sehebat apa dia ngehasut kamu??"

"Serah"

"Yaudah serah. Aku mau balik"

Jeno menggenggam pergelangan tangan renjun yang hendak beranjak. Selalu seperti ini, jujur saja ia sudah sangat jengah dengan semua spekulasi spekulasi liar yang selama ini renjun tanamkan dalam benaknya tentang hubungannya dengan felix. Sejujurnya ia sudah tak memiliki tenaga lagi untuk menjelaskan semua hal remeh temeh yang dipermasalahkan oleh renjun yang kini tengah duduk kembali.

"Sebenernya aku capek ya jelasin ini. Tapi oke aku jelasin"

"...."

"Kamu inget hari senin aku ajak ketemuan kan, mumpung kita ada waktu? Kamu lama bales chat aku, yaudah aku nekat mampir ke rumah kamu. Kamunya ga ada, kamu bales chat aku ternyata kamu lagi pergi"

"...."

"Karena aku pengen cari angin hari itu, aku akhirnya ke rumah felix. Kebetulan yang ada cuma ibunya doang, yaudah aku cerita cerita sama ibunya. Aku cerita ini sama ibunya ya ren. Felixnya ga ada"

"Terus?"

"Ya kamu bayangin. Aku dikasih saran sama orangtua yang juga kaya orangtua aku sendiri. Kamu pun pasti gitu sama tante luhan. Aku mempertimbangkan pendapat dia dari sudut pandang orangtua, yang mungkin aja orangtua aku punya pemikiran yang sama sama tante luhan"

"...."

"Kata tante luhan, kalo aku ngehargain orangtua aku harusnya aku terima semua pengorbanan mereka, termasuk nguliahin aku. Lagian, aku bisa juga kerja partime sambil kuliah kaya kak jihyo, makanya aku mikir mikir lagi dan hari itu juga aku mulai ngumpulin berkas buat daftar kuliah dan itu ribet banget ren. Aku ga megang hp lagi, kamu taulah abis itu aku susah dihubungi"

MIGNONETTE (KEMBANG DESA) || NOREN [END]Where stories live. Discover now