Di Pernikahan Haechan

363 31 2
                                    

Jeno ikut melengkungkan mata sabitnya ketika melihat kedua temannya yang sedang berjalan di hamparan rumput segar dengan senyum yang tak lepas dari bibir keduanya. Haechan nampak begitu manis dengan balutan tuxedo putih dan rambut berwarna karamelnya yang sedikit tersapu angin taman yang dipenuhi sorak sorai di sore hari yang damai ini. Felix pun tak luput dari mata jeno yang tengah merangkul lengan teman beruangnya mengiringi langkah pelan haechan ke arah altar dengan mata bulatnya yang memancarkan kebahagiaan.

Iya, akhirnya teman tannya itu melepas masa lajangnya dengan lelaki bernama mark lee yang tengah menunggu haechan di altar dengan matanya yang tak henti hentinya menatap mempelainya itu.

Dan ia disini hanya diminta haechan untuk menonton momen sakral mereka sambil sesekali bertepuk tangan. Sialan sekali memang temannya itu, bukan dirinya melainkan felix yang beruang itu pintai untuk menjadi pendampingnya menuju altar.

"Buset haechan ga inget mertua didepannya apa ngokop bibir lakinya sebrutal itu"

"Jen..."

"Hm?"

"Hiksss"

"Napadah cas?"

"Gatau, aku terharu aja haechan nikah. Gila temen sebobrokan aku udah nikah aja"

"Hmmm"

"Kamu ga sedih jen?"

"Ngga. Es puter alpukat requestan aku dibikinin haechan ternyata"

"Sinting, ga nyambung. Minimal keluar air mata kek, apa kek"

Jeno mengendikkan bahunya merespon ucapan kekasih temannya itu, jelas saja ia turut berbahagia ketika teman sepermainannya sejak kecil kini memulai lembaran baru sebagai istri orang, meninggalkan dirinya yang sedang patah hati ini. Bukannya apa, kemampuannya untuk menangis di depan umum memang seburuk itu, salahkan saja air matanya yang seperti gurun sahara. Namun, tetap saja di dalam hatinya ada perasaan haru yang membuncah hingga ia selalu mendoakan atas kebahagiaan haechan teman sehidup sematinya itu.

"Doain aku sama felix nyusul ya jen, hiksss"

"Hmmm... Yadah yadahh"

"Sirik aja yang jomblo, hikss"

"Serah"

"Makan yok jen"

"Makan mulu yang kamu pikirin tuh cas"

"Ngga kok. Yang selalu aku pikirin itu ayang felix bukan makan"

"Serah deh cas ah, aku cari angin dulu ya"

Pantofel mengkilap jeno akhirnya melangkahkan kakinya keluar dari area taman tempat pernikahan temannya itu berlangsung, sepatu hitamnya itu dihiasi noda begitu saja ketika ia turun melalui tanah landai di hadapannya. Dengan sedikit tertatih ia melangkah sebab langit yang sudah menampakkan meganya itu mengurangi jarak pandangnya, menenggelamkan matahari di ufuk barat sana.

Dan setelahnya, kaki jenjangnya yang dibalut dengan celana bahan itu mulai tersapu angin pantai dengan kencang, yang turut menerbangkan rambut legamnya yang tadinya tertata rapih itu. Matanya pun sedikit menyipit untuk menghalau deburan pasir yang seakan menyapa wajahnya. Namun, kaki jenjangnya justru melangkah lebih dekat ke arah bibir pantai yang dipenuhi deburan ombak.

Jeno menghirup dalam aroma laut di sekitarnya, matahari kemerahan itu masih bisa menggambarkan wajahnya yang muram. Mata sabitnya menatap lamat lautan di hadapannya, nampak berkilauan sebab mentari yang sebentar lagi kembali ke peraduannya. Entah mengapa deburan ombak di hadapannya ini seakan memanggilnya untuk mendekat, air asin yang sedaritadi menyapa pantofelnya itu kini bergantian menenggelamkan celana bahannya hingga selutut.

MIGNONETTE (KEMBANG DESA) || NOREN [END]Where stories live. Discover now