Andai Aku Besar Nanti

764 90 15
                                    

"yaudah ayo sama bapak aja"

"gamau.. Bapak sering jailin aku"

"emang kamu dapet peran jadi siapa?"

"jadi sadam"

"hiii jadi anak mami"

"aku bukan anak mami!"

"nah iya bener tuh, dialog asli filmnya gitu"

"haaaa aku bukan anak mami bapak!"

"iya bukan anak mami. Tapi anak ibu, hobi ngompol, nangis, takut tidur sendiri"

"huaaaa ibuuuu bapak nakallll"

"LEE JENOOOOOO"


Lengkingan suara jisung yang disusul suara ibunya yang berang terhadap ayahnya itu menggema di seluruh rumah mereka. Tak usah ditanya lagi, suara itu juga sudah seperti alunan lagu yang mengiringi kegiatan tetangga tiga beranak itu setiap harinya. Bagaimana tidak, lengkingan tersebut diambil dari diafragma terdalam dan hirupan nafas yang tak main main. Pantas saja tetangganya sudah paham betul dengan sesi adu vokal yang sering duo anak dan ibu ini sering suarakan itu.

Yang kali ini disebabkan oleh sang kepala keluarga -seperti biasa, menjahili satu satunya bocah yang ada di rumah itu. Anak bermata ayahnya itu kemarin mengadu kepada ibunya bahwa ia memiliki perhelatan akbar di sekolahnya. Maklum, bocah itu memang sebentar lagi akan melaksanakan acara perpisahan sekolah di taman kanak kanaknya, dimana kali ini perhelatan yang dimaksud adalah mini opera dan sang anak diminta menjadi pemeran utama laki laki.

Cukup menggembirakan bagi kedua orang tua itu namun tidak bagi sang anak. Nyatanya bocah itu sedari semalam bergerak gusar dan mendengus, wajahnya pun seperti orang yang tak sengaja menelan biji alpukat. Sangat kontras dengan raut antusias orangtuanya, terlebih sang ayah yang secara naluriah memiliki berjuta rencana "nakal" mengalir di kepalanya melihat raut tak enak sang anak.



"aduhh ibu, gimana ini. Aku ga ngerti jadi sadam gimana"

"kan kamu udah belajar dialognya gimana, kemarin juga udah nonton filmnya"


Renjun berjalan dari arah dapur dengan wajah prihatin karena menangkap bocah itu tengah mondar mandir sambil membawa gulungan kertas. Tingkahnya itu persis dirinya dikala panik, ditambah lagi ia pun tau bahwa anaknya itu tengah berpikiran buruk tentang apa yang terjadi ke depannya. Tapi lihatlah ayahnya yang sedang duduk di kursi ruang tamu itu, tersenyum cerah sambil memamerkan lengkungan matanya, anaknya ini memang sebuah pertunjukan sirkus bagi dirinya.


"aku kemarin udah belajar juga sama giselle bu, dia jadi sherina. Tapi nanti aku takut lupa di panggung mau ngomong apa"

Ibu muda itu menyamakan tingginya dengan sang anak, dengan lutut yang menumpu berat badannya itu ia berkata lembut sambil tersenyum tenang melihat wajah berkerut itu. Tangannya pun ikut mengusak surai legam milik sang anak untuk menyampaikan kasih sayangnya dan doa kepada sang Tuhan agar sang anak tak terbebani dengan peran tersebut.

"jisung anak ibu.. Kan acaranya masih lamaaaa banget, masih sebulan lebih lagi. Gapapa kok belum hafal, yang penting jisung udah berusaha buat hafalin dialognya. Nanti kan lama lama jadi hafal"

Dan di usapan kesekian jemari lembut sang ibu di kepalanya, perlahan kegundahannya pun sirna dan rautnya mulai melunak. Ayahnya yang sedaritadi hanya menyimak percakapan antara ia dan ibunya pun mulai membuka suaranya.

"yaudah.. Bapak yang jadi sherinanya"

"tapikan sherina cewe, bapak cowo"

"gapapa.. Biar jengkelnya dapet"

MIGNONETTE (KEMBANG DESA) || NOREN [END]Where stories live. Discover now