Ketidakpastian

435 53 5
                                    

"Kamu kalo makan emang gitu ya?"

"Maksudnya?"

"Sikunya di meja gitu? Kan jorok"

"Ya emang gini sih"

"Terus ren, tolong biasain kalo makan itu sendokmu yang nyamperin mulut bukan sebaliknya. Ga enak diliat"

"...."

"Terus juga... Aku tau kamu berusaha buat ngga ngecap, tapi bisa ga abisin dulu yang ada di mulut baru nyuap lagi?"

'TAK!'

Kesabaran renjun yang sudah berada di ujung tanduk itupun akhirnya tak terbendung lagi, membuat penghuni lain di kedai makan itu menoleh padanya dengan tatapan heran. Termasuk lelaki suci di sebelahnya ini, yang nampak menaikkan sebelah alisnya dengan mata penuh tanda tanya, atau justru penilaian?

Karena nyatanya manusia menjengkelkan ini seringkali mengomentari bagaimana cara dia melakukan kegiatan sehari hari. Yang kalian lihat itu belum seberapa, di sore nan penat ini saja lelaki gila aturan itu dengan mulut licinnya berkomentar bagaimana cara ia duduk di kursi penumpang, meminta dirinya untuk duduk tegap disana dengan pandangan lurus. Tak sekalian menyuruhnya memakai helm sajakah?

Kini nafsu makannya sudah hilang entah kemana. Membuat ia mendongakkan kepalanya sambil mengela nafas muak, lengkap dengan hentakkan sendok di meja kayu yang bergetar itu. Renjun tak dapat berkata apa apa lagi, jika cara makan aristokrat eropa yang lelaki di sampingnya ini inginkan, mengapa ia mengajak dirinya menyantap makan "sore" nya di kedai sempit pinggir jalan yang berbau asap kendaraan itu?

Ia menghela nafas lagi. Harusnya ia tau, bahwa dari awal lelaki ini memang tak waras.

"Kak younghoon... Coba kamu cari putri keraton aja, atau mungkin sekalian anaknya raja belanda?"

"Huh?"

Sekuat mungkin ia berusaha meredam amarahnya. Oleh karena itu ia hanya bisa mengeluarkan nada jengahnya, nampak tenang namun penuh kalimat sarkas. Jika saja ia sedang tak berada di tempat umum, sudah pasti caci maki keluar dari mulutnya.

"Apa keliatannya... Kalo makan di pinggir jalan itu aku harus makan ala ala eropa gitu?"

"Itu bukan ala eropa. Tapi itu emang etika makan, kamu gapunya ya pengetahuan tentang etika dasar?"

"Bisa ya kamu ngomongin tentang etika. Emang etikamu sampe mana? Sampe nyebarin polusi asep rokokmu di depan lawan bicaramu?"

"Apasih??"

"Siapa yang pantes ngomong etika disini? Orang yang hobi ngeremehin lawan bicaranya atau orang yang makan di pinggir jalan dengan gaya informal?"

"Tch. Kamu emang pantes diremehin sih"

Cukup sudah, ia tak mau berlama lama lagi berinteraksi dengan manusia arogan seperti lelaki pilihan ibunya ini. Tenang saja, ia sama sekali tak merasa tersinggung dengan ucapan itu. Justru kalimat itu meyakinkan dia bahwa lelaki gila itu memang makhluk rendahan, tercermin dari perkataannya.

Ponselnya ia keluarkan dari saku luaran rajutnya setelah tanpa kata kata ia meninggalkan laki laki itu dan melangkahkan kakinya entah kemana. Sore hari kota sangatlah padat, jujur saja ia benar benar tak ada ide untuk sekedar singgah ke salah satu toko kelontong di sana atau berjalan ke gang sempit itu. Namun tangannya dengan cekatan mengetikkan sesuatu di ponselnya yang kemudian bergetar setelahnya, membuat ia menempelkan ponselnya segera di telinga.

"Jen... Kamu dimana?"

"...."

"Tolong jemput aku jen, aku lagi di deket jualan martabak, gerobaknya warna kuning. Kalo ke pasar pasti lewat situ, kamu pasti tau"

MIGNONETTE (KEMBANG DESA) || NOREN [END]Where stories live. Discover now