Cermin (3)

663 79 12
                                    

Langit sudah menampakkan meganya dan akan segera kembali ke peraduannya dalam beberapa menit saja. Jalanan nampak sepi sebab orang orang memilih untuk menghentikan aktifitasnya sejenak di kala rintik air langit- yang turun kian lebat menyapa bumi, membentuk genangan air yang memantulkan siluet dua anak adam tengah berjalan dengan tergesa. Yang kecil sedikit terpontang panting akibat langkah panjang yang lebih besar menuntun mereka di jalanan yang basah itu, sampai sampai riak air pada genangan coklat itu terkadang menampar kaki mereka.

"jeno, jangan diseret seret. Lepasin! Aku bisa jalan sendiri! Lagian ngapain sih ke rumah hyunjin?"

"kamu mau liat hubungan felix sama hyunjin kan? Ayo ke rumah mereka sekarang"











Rumah dengan pekarangan luas kini sudah berada di depan mata, nampak kontras dengan rumah rumah sederhana di sekitarnya. Kedua remaja itu pun melangkah ke arah hunian yang diyakini milik rumah kekasih teman mereka itu, yang lebih kecil mengekor dengan langkah ragu-sedikit melirik sekitar karena rungunya mendengar suara kayu berdecit dan entahlah, seperti tangisan sendu yang mengiringinya.

Namun semakin dekat langkah kakinya dengan rumah tersebut suara itu semakin kentara masuk ke rungunya, ia pun dapat memastikan bahwa telinganya memang mendengar suara tersebut yang memang berasal dari rumah kekasih sahabatnya itu.

"jeno, kamu denger sesuatu ga?"

"iya, kamu tau itu siapa"

Kepalanya sedikit menunduk berusaha untuk tidak berpikir yang macam macam. Rintik hujan yang telah melembabkan bajunya itu tak begitu ia hiraukan ketika ia berkonsentrasi dengan suara suara yang ia dengar dari rumah itu. Ia hanya butuh waktu untuk memastikan bahwa suara itu memang bukan berasal dari orang yang sangat ia kenal.

Namun bunyi pintu yang dibanting keras dan diiringi teriakan setelahnya itu membuat ia melebarkan mata seketika dan menolehkan pandangannya ke arah yang lebih tua, yang ternyata tengah memandang pintu tinggi itu penuh was was. Dengan alis yang berkerut dan tangan yang sudah maju selangkah untuk menggapai engsel pintu rumah itu jeno memunculkan raut serius dan sedikit panik.

"j jeno"

Jeno menoleh ke arah renjun yang bersuara pelan, menoleh ke arahnya takut dengan raut wajah khawatir sambil berucap lirih. Renjun panik, kilat matanya terlihat resah begitu ia mendengar lonjakan amarah atau suara tangisan dari balik pintu itu. Ia tidak mau temannya celaka di dalam sana. Jantungnya ikut berpacu ketika rungunya menangkap suara gebrakan meja ataupun sedu tangis temannya itu, membuat ia meremat baju jeno dari belakang sambil sesekali menutup mata mendengar suara menggelegar yang berasal dari sana.

"jen, felix"

Langkah kaki kecilnya terhenti di ujung lantai teras itu begitu ia mendengar suara debuman keras yang sepertinya berasal dari sesuatu yang terjatuh. Seumur umur ia belum pernah mendengar suara semencekam itu. Dengan kaki yang gemetar renjun tersadar bahwa ia baru saja menghadapi kengerian yang kentara dengan menerka nerka apa yang sedang temannya alami di dalam sana.

Sungguh, renjun tak mampu melanjutkan langkah kakinya yang kepalang lemas itu. Betisnya seperti mati rasa begitu suara bentakkan saling bersahut sahutan dari balik pintu itu. Ia ingin pemilik rumah segera menampakkan dirinya dan pergi meninggalkan temannya secepat mungkin.

Dan doanya dikabulkan di beberapa menit setelah tangis kencang sang teman yang meminta kekasihnya untuk tidak pergi meninggalkannya muncul dari balik pintu itu.

'ceklek'








'BUAGHHH'







Renjun melihat tubuh besar itu tersungkur begitu jeno melayangkan kepalan tangannya kepada wajah itu, ia yang masih terpaku di tempat semula mendadak tak dapat mengatur nafasnya begitu temannya dengan segera mencengkeram kaus sosok itu, mendudukinya lalu memukulnya tanpa ampun seolah kesempatan itu hanya berlaku pada hari ini.

MIGNONETTE (KEMBANG DESA) || NOREN [END]Where stories live. Discover now