Keraguan

510 68 11
                                    

Renjun membuang ponselnya sembarang setelah menonaktifkannya ketika benda pipih itu sibuk berdering sedaritadi, kembali menenggelamkan wajah bengkaknya pada bantal empuk miliknya. Selimut panas itu ia biarkan membungkus seluruh tubuhnya yang lelah, membentuk buntalan yang jika dilihat dari jauh bergerak tidak beraturan karena nyatanya seseorang di dalamnya itu tengah sibuk menyeka air matanya yang tak kunjung mengering.

Bagai kaset kusut otaknya kembali memutar kejadian kejadian yang sangat ia sesali, sangat ia inginkan untuk tak terjadi. Dalam 24 jam terakhir hidupnya seakan mendapatkan ledakan dari orang orang terkasihnya. Namun apa boleh dikata, dirinya yang bodoh dan ceroboh ini memang sasaran empuk bagi sesuatu bernama "penyesalan". Menangis pun tak merubah keadaan, semuanya terlanjur hancur dan ia tak tau bagaimana cara menatanya kembali.

Masih terngiang di benaknya bagaimana sang ayah terdengar sangat kecewa pada dirinya yang memang akui bertindak di luar batas itu. Ia mampu membuat ayahnya, orang terdekatnya, orang yang menopang penuh kehidupannya itu melayukan bahunya yang tegap sebab dirinya. Air mata itu kembali turun mengingat semua kejadian itu, bagaimana ia mengkhianati kepercayaan mereka kepada dirinya.

Dan ibunya, ibu manisnya itu bahkan tak mau repot repot membela dirinya di hadapan sang ayah. Atau mengusap pundaknya untuk sekedar menenangkannya. Tak perlu berandai jauh, bahkan ibunya tak menampakkan batang hidungnya barang sedikitpun ketika suara menggelegar sang ayah memenuhi rumah pada hari itu. Bahkan di hari hari sebelum kejadian pun ia pergi sekolah dengan perut kelaparan, tanpa sesuap makanan pun masuk ke perutnya. Jangankan itu, bahkan ia tak mendapatkan sapaan sedikitpun ketika ia beranjak untuk pergi sekolah.

"maafin aku hikss.. Bapak... Ibu hiks"

Ia kembali menyusupkan kepalanya pada bantalnya yang sudah lembab itu, meredam tangis pilunya. Meluapkan semua emosinya di sana hingga suaranya menjadi serak, dan buku buku tangannya yang mencengkeram bantal itu memutih. Sudah dua hari sejak meledaknya amarah sang ayah dan sudah dua hari ini juga ia terbaring di ranjangnya dengan suhu badan tinggi, tanpa seseorang pun yang memperdulikannya. Tak apalah, mereka hanya membalas ketidakpeduliannya.

Ketidakpeduliannya kepada sang ibu yang berulangkali menasihatinya untuk tak pulang larut malam yang tentu saja itu semua karena sang ibu yang peduli pada keselamatannya. Begitu juga ia tak mengindahkan kepedulian sang ayah pada dirinya yang ingin mengajak anak semata wayangnya ini untuk membelikan sesuatu padanya dengan hati gembira, hingga mengorbankan waktu kerjanya, uangnya, hanya untuk mengetahui dirinya tengah bolos sekolah.

Semua itu ia lakukan hanya untuk satu orang yang bahkan tak menampakkan batang hidungnya hingga hari ini.

Ia lebih memilih untuk menjadi pelacur pribadi jeno, mengangkang dan mendesah untuknya daripada harus menggembirakan hati kedua orangtuanya. Si bodoh ini justru dengan tanggap bertandang ke rumah jeno hanya karena ia mengeluh tak enak badan, dengan senang hati dirinya justru rela mangkir dari sekolahnya di saat orangtuanya banting tulang untuk menyekolahkannya.

Lalu di saat ia seperti ini kemanakah gerangan lelaki itu?

Lelaki yang sudah meninggalkan banyak jejak di tubuhnya yang memang sengaja ia jajakan untuk lelaki itu. Bahkan ia tak segan menelanjangi dirinya di depan lelaki itu agar tubuhnya dapat dicicipi segera, lalu menggelinjang penuh peluh seakan memberikan pertunjukan erotis padanya.

Singkatnya, murahan.

Nyatanya kata itulah yang cocok untuk dirinya, sebab ia tak mendapatkan kata lain yang bisa mewakili tingkah murahannya, yang dengan mudahnya memberikan tubuhnya pada seseorang yang bahkan tak memiliki ikatan jelas dengan dirinya. Renjun terkekeh begitu ia sadar bahwa lelaki itu bahkan tak membiarkan seinchi kulit tubuhnya pun untuk dilihat olehnya, ia tak pernah tau bagaimana bentuk tubuh lelaki itu sementara ia dengan mudahnya menunjukkan seluruh lekuk tubuhnya, tidak.. Bahkan ia menawarkan lubangnya untuk dijamah oleh lelaki itu berkali kali bagai pelacur jalanan.

Ck, benar benar murahan. Tidak, bahkan ia tak mematok harga "murah" pada lelaki itu melainkan gratis.

Sial, tak terasa air matanya kembali menetes di wajahnya yang kusut itu, benaknya kembali pada pikiran dangkalnya waktu itu. Ia terkekeh dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata ketika otaknya mengingat bagaimana ia memandang felix sebelah mata sebab memberikan tubuhnya pada sang kekasih dengan mudahnya. Mengatainya memiliki gaya berpacaran yang vulgar, tak beretika, dan tak pantas untuk dilihat.

Si bodoh ini lupa, setidaknya karibnya itu melakukannya dengan sang kekasih bukan dengan temannya.

Ia pun menangis dengan kencang sesudahnya, meluapkan semua hal yang berkecamuk di kepalanya. Tangisan itu terdengar seperti lolongan yang sangat menyayat hati, namun ia pun tak begitu peduli. Toh orangtuanya tak akan repot repot muncul dari balik pintu kamarnya yang ia tatapi sedaritadi.

Ia tak peduli dengan suhu tubuhnya yang kian meninggi pun ia tak memperdulikan rasa sakit di perutnya sebab tak makan seharian penuh sejak kemarin. Ia sibuk mengurung dirinya sejak saat itu tanpa menemui siapapun yang diam diam ia harap -setidaknya mengetuk pintu coklat itu. Dan juga bolehkah ia berharap ada seseorang di balik pintu itu tengah menunggunya menampakkan batang hidungnya?

Ibunya...

Ayahnya....

Atau.... Felix?

Temannya yang selalu bisa ia andalkan ketika dirinya dilanda rasa malas untuk bangun pagi -bersekolah, memintanya untuk memberikan surat izin tidak masuk sekolah pada sang guru yang akan diangguki oleh karibnya itu tanpa rasa enggan, bahkan sahabatnya itu dengan senang hati menuliskan surat itu langsung dengan tulisan tangannya.

Kemanakah perginya sang sahabat yang baik hati itu? yang ia sia siakan hanya karena keegoisannya.

Yang ia paksakan untuk menuruti tindakan tidak tau aturannya? Padahal sahabatnya itu sudah mengusahakan sesuai yang ia bisa untuk membantunya, yang ternyata tak terlihat cukup di matanya. Ia terus terusan menuntut felix untuk melakukan yang ia mau tanpa mau membuka mata bahwa temannya itu juga mendapatkan imbas dari orangtuanya.

Yang lagi lagi hanya karena satu nama.

Karena dengan satu nama itulah ia sudi untuk memutar otak, menghalalkan semua cara agar keduanya bisa bertemu dan melepas rindu sesering mungkin. Sementara lelaki itu selalu menolak kehadirannya dan terkesan tak mau ambil resiko disaat dirinya bahkan -pada akhirnya menerima murka kedua orangtuanya dan mengorbankan tali pertemanannya dengan sang karib.



Jika demikian, pantaskah ia mengorbankan semua yang ia punya untuk lelaki yang tak mau mengikatnya dalam hubungan yang pasti itu?

MIGNONETTE (KEMBANG DESA) || NOREN [END]Onde histórias criam vida. Descubra agora